General Management

Customer Engagement

Didekat kantor saya barangkali ada lebih dari selusin penjual gado-gado. Tapi favorit saya selalu adalah punya-nya Mas Heru. Awalnya saya tidak peduli dengan pilihan gado-gado di kantor saya. Karena hampir semuanya terasa sangat mirip. Kalaupun berbeda -seringkali perbedaan-nya terlewatkan begitu saja tanpa kita sadari. Sampai suatu hari, staff saya dikantor mulai mendongeng soal Mas Heru.

Cerita staff saya – gado-gado mas Heru paling laris. Seringkali harus ngantri, karena yang beli banyak. Penasaran, sayapun bertanya apa sebabnya. Staff saya lalu mulai promosi. Dengan lugas ia mengatakan Mas Heru orangnya resik. Gerobak gado-gadonya paling bersih. Dan lebih asli, karena ada campuran sayur pare. Juga jagungnya lebih manis. Dan kalau mau beli setengah porsi juga dibolehkan.

Dari cerita diatas – saya analisa ada lebih dari 5 hal yang pokok. Pertama – Mas Heru langganan-nya banyak. Kedua – Mas Heru paham akan nilai kualitas, seperti menjaga kebersihan. Ketiga – Mas Heru cukup inovatif dengan menyajikan sayur pare dan jagung paling manis. Sehingga gado-gadonya diklaim lebih asli alias otentik. Ke-empat Mas Heru pelayanan-nya lebih baik karena membolehkan langganan membeli 1/2 porsi. Tapi yang paling luar biasa, adalah yang ke lima – dimana Mas Heru bisa memotivasi staff saya untuk menjadi duta besar produk gado-gadonya, dan mempromosikan gado-gadonya ke siapa saja, termasuk saya.

Dalam ilmu pemasaran jaman kini, kita boleh menyimpulkan bahwa Mas Heru telah berhasil menciptakan sebuah proses Customer Engagement yang sangat berhasil dan efektif.

Usaha Mas Heru boleh saja sederhana. Hanya menjual gado-gado. Tapi prestasinya menjadi yang paling laris dan paling banyak langganan di antara selusin penjual gado-gado, merupakan sebuah prestasi tersendiri. Kelihatan mudah, tapi butuh ketekunan yang luar biasa. Disinilah rahasia Customer Engagement yang sesungguhnya. Sebuah strategi yang sangat sederhana namun ampuh untuk memenangkan persaingan.

Setiap kali saya ke Djogdjakarta, kalau ada waktu saya selalu sarapan soto daging di tempat Bu Cip, didekat Jalan S. Parman di dekat Taman Sari. Warung soto daging Bu Cip sangat kecil. Tidak seperti pesaingnya yang lebih terkenal yang menyediakan tempat makan lebih besar. Tetapi buat saya tetap warung soto daging Bu Cip yang paling favorit. Bu Cip punya tradisi unik. Ia hampir selalu ingat langganan-nya.

Jadi setiap kali kita berkunjung ke warungnya, beliau selalu saja menyapa kita dengan intim dan selalu ingat dengan kita. Entah itu bakat yang luar biasa dengan Bu Cip atau karena beliau punya kedisplinan untuk mengingat para langganannya.

Yang saya rasakan adalah tradisi Bu Cip menyapa saya dengan akrab dan intim membuat saya merasa penting. Seolah saya adalah langganan penting Bu Cip. Hal ini rasanya membanggakan sekali. Ini sebuah sentuhan tersendiri. Sebuah Customer Engagement yang berhasil dan manjur. Karena membuat saya setia menjadi langganan. Customer Engagement yang berhasil memang biasanya menciptakan loyalitas.

Hampir 20 tahun yang lalu para pemasar melihat bahwa pelayanan yang baik menjadi senjata persaingan. Kenyataannya memang demikian. Perusahaan yang mampu menciptakan pelayanan terbaik biasanya unggul menjadi pesaing. Hal ini bisa kita lihat hampir disemua usaha atau bisnis. Mulai dari rumah makan, hotel, toko hingga bengkel. Pelayanan atau service menjadi sedemikian penting hingga para pemasar mendefinisikan ulang konsep pelayanan yang baik. Dan konsep yang populer saat ini adalah Customer Engagement.

Kalau 20 tahun yang lalu pelayanan adalah salah satu komponen terpenting, kini pendapat itu bergeser. Komponen terpenting adalah pelanggan. Dan bagaimana kita bisa menciptakan sebuah bisnis atau usaha dengan pelanggan sebagai fokusnya.

Itu sebabnya tantangan kita tidak lagi hanya melayani, tetapi menciptakan sebuah sistim interaksi yang disebut “engagement”. Mulai dari mengenali konsumen, membuat konsumen menjadi langganan, menciptakan sistim pelayanan terbaik, dan memotivasi langganan anda untuk ikut menjadi duta besar yang mempromosikan bisnis anda. Sistim terpadu ini kita sebut Customer Enggagement.

Saya pernah punya bengkel favorit. Sebenarnya lebih tepat bengkel favorit supir saya. Kebetulan anak pemilik bengkel adalah teman saya juga. Harga dan ongkos bengkel itu tidak murah. Biasanya lebih mahal. Tapi tetap saja bengkel itu ramai dan laris. Suatu hari saya berkesempatan main ke bengkel ini. Didepan bengkel terpajang sebuah mobil Toyota Corolla tua. Namun terlihat kokoh dan mulus. Itu adalah mobil kebanggaan ayah teman saya.

Hampir sejam saya mengamati bagaimana teman ayah saya menyapa para supir yang datang dengan sangat akrab. Mereka ngobrol seperti teman lama dengan sangat intim. Mulai dari soal mesin hingga pelumas dan 1001 topik yang berbeda. Terlihat betul ayah teman saya tidak canggung ngobrol dengan para supir. Malah terlihat sekali bagaimana para supir mengagumi ayah teman saya itu. Dan dimata para supir – ayah teman saya adalah seorang “suhu” yang paham semua masalah mobil.

Sore hari ketika bengkel mulai sepi, saya berkesempatan ngobrol dengan ayah teman saya. Ia punya filosofi yang sangat unik. Ia bercerita bahwa biarpun langganan sesungguhnya adalah pemilik mobil, tetapi 80% yang datang ke bengkelnya adalah para supir. Jadi dia harus bisa bergaul dengan para supir-supir ini. Tanpa dukungan para supir – bisnisnya amblas tidak memiliki arti.

Mobil Toyota Corolla tua yang dipajangnya didepan bengkel, adalah simbol kesaktian ilmunya. Bahwa ia terbukti jago dalam merawat mobil. Simbol ini penting. Para supir mengakui kesaktiannya lewat simbol ini.

Itu sebabnya para supir gemar dan suka ngobrol dengan ayah teman saya. Dan ayah teman saya tidak pernah pelit membagi ilmunya. Ayah teman saya punya pandangan yang unik. Beliau mengatakan semakin banyak supir belajar dari dirinya semakin baik. Dan itu sama sekali tidak mengurangi bisnisnya. Orang lain mungkin takut. Semakin jago supirnya semakin pintar merawat mobil dan semakin jarang ke bengkel.

Ayah teman saya berpendapat berbeda. Menurutnya supir yang pintar dan berpengetahuan luas soal mobil, rata-rata mampu mengenali masalah mobilnya jauh-jauh hari. Sehingga sebelum mobilnya bermasalah besar, biasanya supir sudah kebengkel terlebih dahulu. Akibatnya bisnis bengkel itu lebih laris dan ramai.

Tetapi yang paling penting, para supir lebih percaya diri dalam merawat mobilnya. Para supir juga semakin percaya dengan keampuhan dan kesaktian ayah teman saya. Pokoknya kalau ada masalah – datang ke bengkel ayah teman saya, pasti sembuh dan manjur.

Dahulu, saya berpikir ayah teman saya ini unik. Namun sekarang saya mengerti 100%. Bahwa yg dijalankan oleh ayah teman saya semata-mata adalah sebuah konsep Customer Engagement terpadu. Ia lebih awal menerapkan-nya dibanding orang-orang lain. Nyatanya memang menjadi kunci suksesnya.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Membeli Kebahagiaan dengan Uang

Money has never made man happy, nor will it, there is nothing in its nature to produce happiness. The more of it one has the more one wants.

Ben Franklin

Penelitian memang membuktikan bahwa uang bisa membeli kebahagiaan, tapi pengaruhnya ternyata tidak sebesar itu. Banyak studi psikologi membuktikan bahwa peningkatan jumlah gaji, pada level tertentu, hanya memberikan sedikit (atau bahkan nol) kepuasan. Pada akhirnya, orang akan cenderung menghabiskan berapapun penghasilan yang mereka peroleh.

Sebagai contoh, misalkan gaji Anda naik Rp 5 juta. Anda mulai menambahkan audio set mutakhir di mobil Anda. Anda senang membeli baju-baju bermerk ekslusif. Anda mengambil cicilan rumah yang lebih besar. Begitu seterusnya. Pada akhirnya Anda akan bertanya-tanya, “Gaji saya naik Rp 5 juta per bulan, tapi kemana perginya uang itu?”

Apa kata para pakar tentang fenomena ini? Bagaimana cara kita mengatasi “jebakan” ini?

Prinsip 1: Lebih baik membeli pengalaman daripada membeli barang

Eksperimen yang dilakukan Carter dan Gilovich (2010) menunjukkan bahwa responden yang membeli pengalaman (experiential purchases) cenderung lebih bahagia daripada mereka yang membeli barang (material purchases). Manusia punya kemampuan adaptasi secara cepat. Setelah membeli sepeda baru dan melewati masa honeymoon period, sepeda baru itu pada akhirnya tak beda dengan sepeda lainnya. Sebaliknya, pengalaman membeli perjalanan ke Raja Ampat akan melekat dalam memori dari waktu ke waktu.

Penelitian dari Van Boven dan Gilovich (2003) juga menunjukkan bahwa manusia lebih cenderung mengingat kembali pengalaman-pengalaman yang sudah mereka beli di masa lalu daripada barang-barang yang pernah mereka beli. Sebagai contoh, Anda pasti bisa menceritakan setiap detil perjalanan Anda mendaki Gunung Semeru atau liburan honeymoon Anda bersama pasangan Anda. Tapi bisakah Anda menceritakan dengan sama detilnya ketika Anda pertama kali membeli motor atau mobil baru?

Prinsip 2: Lebih baik membeli untuk orang lain daripada untuk diri sendiri

Manusia adalah makhluk paling sosial di muka bumi ini. Hanya ada tiga makhluk hidup yang punya jejaring sosial lebih kompleks dari manusia. Tapi jejaring sosial manusia melibatkan lebih banyak individu yang acak dan tak terkait langsung (unrelated). Maka tak heran bila jejaring sosial memegang peranan penting dalam kebahagiaan manusia. Apapun yang kita belanjakan untuk meningkatkan koneksi kita kepada orang lain (prosocial spending) akan membuat kita lebih bahagia.

Riset membuktikan bahwa memberikan hadiah kepada pasangan bisa meningkatkan mood secara instan. Menyumbangkan sebagian uang kepada yayasan sosial/agama, menurut Schervish dan Szanto (2006), juga terbukti memengaruhi self-presentation kita secara positif. Sayangnya, meski konsep prosocial spending ini sudah diteliti di beragam kultur dan metodologi yang berbeda, tak banyak orang yang menjalankannya.

Sebaliknya, masih banyak orang beranggapan bahwa membelanjakan uang untuk diri sendiri akan membuat mereka lebih bahagia daripada mereka membaginya bersama-sama orang lain.

Prinsip 3: Lebih baik membeli banyak hal kecil daripada satu hal besar

Berjalan-jalan ke taman bersama pasangan seminggu sekali akan jadi lebih menyenangkan daripada perjalanan ke Disneyland yang dilakukan setahun sekali. Membeli satu cone eskrim di dua hari yang berbeda lebih menyenangkan daripada membeli dua cone eskrim dan menyantapnya sekaligus. Mengapa bisa demikian?

Wilson dan Gilbert (2008) menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang cepat beradaptasi terhadap novelty, surprise, dan uncertainty. Ketika melahap eskrim yang kedua di hari yang sama, kita sudah mulai beradaptasi dengan efek novelty, surprise, dan uncertainty tersebut.

Konsep segregasi ini juga menghindarkan kita dari efek diminishing marginal utility. Melahap dua mangkok bakso sekaligus tidak sama tingkat kesenangannya daripada menikmati semangkok bakso dalam dua hari yang berbeda. Riset yang dilakukan Nelson dan Meyvis (2008) menunjukkan bahwa responden lebih memilih dua kali pijatan selama 80 detik diselingi jeda 20 detik daripada pijatan kontinu selama 180 detik.

Prinsip 4: Bayar sekarang, gunakan belakangan

Konsep cicilan dan kartu kredit (gunakan sekarang, bayarnya belakangan) sebenarnya merusak kebahagiaan kita karena menjebak kita dalam shortsighted behavior. Kebiasaan ini mendorong kita untuk menumpuk utang dan malas menyisihkan uang untuk tabungan di masa depan. Padahal, tagihan cicilan dan kartu kredit akan berdatangan, dan ketika tagihan itu datang memaksa kita untuk melunasi hutang, pada saat itulah kesenangan kita buyar.

Sudah banyak penelitian membuktikan bahwa orang-orang yang mempunyai motivasi intrinsik dalam dirinya untuk menunda kesenangan sesaat dan menjadi lebih sabar dalam mengkonsumsi sesuatu, cenderung akan menjalani hidup yang lebih baik dan berumur panjang (Berns et al., 2007; McCLure et al., 2004).

Selain itu, konsep gunakan sekarang-bayar belakangan akan memupus efek antisipasi. Padahal, antisipasi adalah salah satu “sumber” kebahagiaan—bayangkan bila Anda menonton sebuah film tapi sudah tahu hasil akhirnya.

Prinsip 5: Hindari membandingkan pilihan yang ada

Belakangan ini banyak bermunculan situs-situs web yang menawarkan kita kesempatan untuk membandingkan harga suatu barang secara praktis dan mudah. Di satu sisi, fasilitas semacam itu membantu kita menentukan pilihan terbaik. Namun, secara tidak sadar fasilitas itu justru menggeser fokus kita dari mencari produk yang penting dan membahagiakan kita, menjadi pada atribut yang membedakan pilihan yang ada (Dunn et al., 2003).

Misalkan Anda sedang melihat-lihat rumah untuk dibeli. Pada awalnya Anda hendak membandingkan fitur penting, seperti: jumlah kamar, luas ruangan, atau kelengkapan fasilitas. Tapi faktor utama tersebut kemudian akan berganti fokus pada misalnya rumah A punya kanopi yang bagus atau di rumah B ada pohon mangga yang rindang. Anda tak lagi memilih rumah berdasar perbandingan faktor yang relevan. Selain itu, opsi yang tidak Anda pilih akan pelan-pelan menghilang dan tak lagi menjadi standar untuk perbandingan (Hsee & Zhang, 2004).

Akibatnya, membandingkan pilihan yang ada hanya akan membuat lebih subyektif, bukannya membantu Anda membuat pilihan yang rasional.

Selamat berbelanja!


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Keluar dari Zona Nyaman

Mungkin inilah yang tidak banyak dimiliki SDM kita: kemampuan untuk keluar dari zona nyaman. Tanpa keterampilan itu, perusahaan-perusahaan Indonesia akan “stuck in the middle,” birokrasi kita sulit “diajak berdansa” menjelajahi dunia baru yang penuh perubahan, dan kaum muda sulit memimpin pembaharuan.

Tidak hanya itu, orang-orang tua juga kesulitan mendidik anak-anaknya agar tabah menghadapi kesulitan. Dengan memberikan pendidikan formal yang cukup atau kehidupan yang nyaman tak berarti mereka menjadi manusia yang terlatih menghadapi perubahan. Apa artinya bergelar S2 kalau penakut, jaringannya terbatas, “lembek”, cepat menyerah dan gemar menyangkal.

Tetapi maaf, ketidakmampuan keluar dari zona nyaman ini bukanlah monopoli kaum muda. Orang-orang tua yang hidupnya mapan dan merasa sudah pandai pun terperangkap di sana. Seperti apakah gejala-gejalanya?

“Saya Pikir…”

“Saya pikir hidup yang nyaman, terlindungi, tercukupi adalah hidup yang aman”, begitu pemikiran banyak orang.

Kita berpikir, apa-apa yang kita kerjakan dan membuat kita mahir sehari-hari sudah final. Dengan cara seperti itu maka kita akan melakukan hal yang sama berulang-ulang sepanjang hari, melewati jalan atau cara-cara yang sama sepanjang tahun.

Padahal segala sesuatu selalu berubah. Ilmu pengetahuan baru selalu bermunculan dan saling menghancurkan. Teknologi baru berdatangan menuntut ketrampilan baru. Demikian juga peraturan dan undang-undang. Pemimpin dan generasi baru juga mengubah kebiasaan dan cara pandang. Ketika satu elemen berubah, semua kebiasaan, struktur, pola, budaya kerja dan cara pengambilan keputusan ikut berubah. Ilmu, keterampilan dan kebiasaan kita pun menjadi cepat usang.

Jalan-jalan yang nyaman kita lewati juga cepat berubah menjadi amat crowded dan macet, sementara selalu saja ada jalan-jalan baru.

Orang-orang yang terperangkap dalam zona nyaman biasanya takut mencari jalan, tersasar atau tersesat di jalan buntu. Padahal solusinya mudah sekali: putar arah saja, bedakan a dead end dengan detour.

Kalau bisa dikoreksi, mengapa konsep yang bagus dan sudah besar sunk cost-nya harus diberangus dan dikutuk habis-habisan? Bukankah kita bisa mengoreksi bagian-bagian yang salah? Orang-orang yang tak terbiasa keluar-masuk dari zona nyaman punya kecenderungan mengutuk jalan buntu karena ia merasa tersesat di sana. Ilmuwan saja, kalau kurang up to date sering melakukan hal itu, padahal orang biasa yang terlatih keluar dari zona nyaman bisa melihat jalan keluar.

Ada rangkaian sirkuit dalam otak kita yang membentuk jalur tetap, sehingga program diri dikuasa autopilot. Akibatnya, tanpa berpikir pun kita akan sampai di tempat tujuan yang sama dengan yang kemarin kita tempuh. Dan ketika kita keluar dari jalur itu, ada semacam inersia yang menarik kita kembali pada jalur yang sudah kita kenal.

Kata orang bijak, keajaiban jarang terjadi pada mereka yang tak pernah keluar dari “selimut rasa nyamannya.” Keajaiban itu hanya ada di luar zona nyaman yang kita sebut sebagai zona berbahaya (a danger zone). Zona berbahaya ini seringkali juga dinamakan sebagai zona kepanikan (panic zone). Tetapi untuk menghindari kepanikan, para penjelajah kehidupan telah menunjukkan adanya zona antara, yaitu zona belajar (learning zone atau challenge zone).

Karena itulah, belajar tak boleh ada tamatnya. Sekolah pada lembaga formal bisa menyesatkan kalau beranggapan selesai begitu gelar dan ijazah didapat. Apalagi bila kemudian memunculkan sikap arogansi “saya sudah tahu” atau “mahatahu” tentang sesuatu hal.

Saya sering membaca tulisan para ilmuwan yang memberikan tekanan pada ijazahnya (yang memberi gelar) saat menggugat sebuah pendapat atau konsep. Tentang hal ini saya hanya bergumam, mereka kurang terbuka, kurang mampu melihat perspektif, tak kurang mau belajar lagi. Learning itu gabungan dari relearn dan unlearn. Orang yang terbelenggu dalam zona nyaman kesulitan untuk belajar lagi dan membuang pandangan-pandangan lamanya. Ia menjadi amat resisten dan keras kepala.

Manusia belajar sepanjang masa melewati ujian demi ujian. Dan itu meletihkan, bahkan kadang menakutkan, melewati proses kesalahan dan kegagalan, menemui jalan buntu dan aneka krisis, kurang tidur.

Kadang kita menemukan guru yang baik dan pandai, tapi kadang bertemu guru yang menjerumuskan dan menyesatkan. Tetapi mereka semua memberikan pembelajaran.

Jadi bagaimana gejala orang yang kesulitan “keluar-masuk” zona nyaman? Saya kira Anda sudah bisa melakukan introspeksi.

Hidup itu memang terdiri dari proses keluar-masuk. Kalau sudah nyaman, ingatlah jalan ini akan crowded dan kelak menjadi kurang nyaman. Jangankan melewati jalan raya, karier kita pun akan menjadi usang kalau tak berubah haluan memperbaharui diri. Perusahaan lebih senang mendapatkan kaum muda yang masih bisa dibentuk ketimbang kita yang lebih tua tapi sudah tak mau belajar lagi, keras kepala pula.

Kalau kita berani melewati jalan tak nyaman, lambat laun kita pun bisa meraih kemahiran. Kalau sudah mahir dan nyaman, jangan lupa cari jalan baru lagi. Seorang climber, kata Paul Stoltz terus mencari tantangan baru. Ia bukanlah a quiter atau a camper.

Siapa yang tak ingin hidup mapan dan nyaman? Kita bekerja keras untuk meraih kenyamanan dan ketenangan hidup, tetapi para ahli mengingatkan itu semua hanyalah ilusi. Dalam zona nyaman tak ada kenyamanan, tak ada mukjizat selain mereka yang berani keluar dari selimut tidurnya.

Bagaimana Melatihnya?

Saya ingin mengatakan pada Anda, jangan terburu-buru mengatakan bahwa manusia dewasa tak bisa berubah. Pengalaman saya menemukan banyak orang dewasa yang bisa berubah. Yang tidak bisa berubah itu adalah manusia yang sudah final.

Manusia yang sudah final itu biasanya pikirannya kaku seperti orang mati dan merasa paling tahu. Tentang manusia yang arogan ini bukanlah tugas manusia untuk mengubahnya, biarkan saja Tuhan yang memberikan solusinya. Hanya lewat ujian beratlah mukjizat itu baru terjadi pada mereka.

Di Rumah Perubahan, kami biasa mendampingi dan memberikan pelatihan untuk keluar dari zona nyaman ini. Biasanya setelah dilatih mereka malah justru menjadi pembaharu yang progresif. Bahkan mereka menjadi teman para CEO yang sedang memimpin transformasi untuk menghadapi para pemimpin pemberontakan yang resisten terhadap perubahan, atau orang-orang arogan dan miskin perspektif, termasuk para senior yang sudah final karena gelarnya sudah panjang.

Lain kali saya akan jelaskan apa yang harus dilakukan orangtua dan guru untuk melatih anak-anaknya keluar dari zona nyaman.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Dicicil, bikin You lebih Happy

Banyak perusahaan yang menggunakan jasa konsultan manajemen untuk meningkatkan produktifitasnya. Umumnya, para konsultan tersebut “bermain” di area proses dan prosedur. Tak ada yang salah dengan hal ini. Kami pun, juga sering diminta klien untuk fokus pada kedua area itu saja.

Hanya saja, ada satu lagi area potensial yang jarang di lirik maupun dikelola sepenuh hati untuk mendongkrak produktifitas. Area potensial tersebut adalah : happiness(kebahagiaan).

Karena profesi kami adalah konsultan manajemen, maka tentu saja kebahagiaan yang dimaksud adalah “kebahagiaan di tempat kerja”. Orang Denmark punya istilah tersendiri mengenai hal ini, yaitu: arbejdsglæde. Namun, bila Anda tetap ingin happy, saya sarankan untuk tidak melafalkan kata tersebut.

Ketika seorang pekerja/karyawan telah arbejdsglæde, maka produktifitasnya meningkat. Dia lebih peduli dengan kualitas, lebih peduli dengan pelanggan, dan lebih rendah tingkat absensi-nya. Bagi orang yang arbejdsglæde, kantor/pabrik ibarat rumah kedua. Mereka tak sabar untuk menanti hari kerja berikutnya.

Terdengar indah bukan? Padahal, yang sering saya temui, banyak yang segera me-nonaktif-kan HP-nya begitu jam pulang berdentang. Bekerja akhirnya lebih mirip sebuah beban dan sekedar kewajiban yang harus ditunaikan karena pekerja sudah terima gaji. Bekerja tak lagi menyenangkan. Gejala ini mengindikasikan adanya “something wrong with the company”.

Jika banyak karyawan arbejdsglæde, maka bisa dipastikan bahwa perusahaan tempatnya bernaung juga meningkat produktifitas-nya. Jika produktifitas meningkat, biasanya di ikuti dengan meningkatnya profit. Profit dalam arti luas lho, tidak melulu soal duit.

Saya yakin, banyak yang sudah tahu mengenai hal ini. Cukup banyak pula direktur/owner yang membuat program-program internal supaya karyawan mereka arbejdsglæde.

Tapi, saya juga yakin, bahwa diantara para direktur/owner yang peduli dengan arbejdsglæde karyawan-nya, tak sedikit pula yang membatin “waktu dan biaya untuk membahagiakan mereka kok tidak sebanding dengan arbejdsglæde yang tercipta?”. Biaya-nya gede, waktu banyak terbuang, tapi hasilnya tak se-gede yang diharapkan. Apa yang keliru?

Nah, untungnya Nelson dan Meyvis di tahun 2008 telah bertanya hal yang sama. Malah mereka juga menemukan, bahwa manusia ternyata tidak hanya beradaptasi dengan kesulitan-kesulitan. Namun, manusia ternyata juga bisa beradaptasi dengan kesenangan. Mereka menyebutnya dengan Hedonic Adaptation.

Hedonic Adaptation adalah proses adaptasi terhadap kesenangan, di mana kita jadi terbiasa dengan kesenangan itu hingga perasaan nikmatnya berkurang dan terus berkurang. Penelitian mereka dimuat dalam Journal of Marketing Research. Judulnya: Interrupted Consumption: Adaptation and the Disruption of Hedonic Experience.

Metode penelitian ini sebenarnya sederhana saja. Nelson meminta para partisipan untuk dipijat selama tiga menit. Grup pertama dipijat secara non-stop, full tiga menit. Sedangkan grup kedua diberi break selama 20 detik di antara tiga menit itu. Menurut Anda, manakah yang lebih nikmat?

Jika Anda menduga yang non-stop dipijat lebih nikmat, itu salah! Dipijat dengan jeda, membuat pengalaman dipijat terasa lebih menyenangkan. Karena, jeda tersebut mencegah munculnya perasaan “terbiasa” dengan pijatan itu.

Intinya adalah : “Kesenangan bertaraf kecil dalam jumlah banyak, mengalahkan kesenangan bertaraf besar yang berjumlah sedikit.”

Mencicil kesenangan-kesenangan akan membuat lebih bahagia, ketimbang menggelontor-kan secara total kesenangan-kesenangan tersebut dalam satu waktu. Jadi, jika perusahaan Anda sudah mengakomodir arbejdsglæde, pastikan bahwa kesenangan-kesenangan yang tercipta muncul secara berkala.

Namun, jika tempat kerja Anda masih belum mengakomodir arbejdsglæde, (dan bahkan Anda pun termasuk salah satu yang mematikan HP begitu keluar kantor) maka saya yakin, Anda sudah mengerti siapa yang harus di hubungi untuk menyelesaikan persoalan tersebut.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Ngotot Management Style

Tiap pemimpin memiliki gaya manajemen tersendiri, yang umumnya sesuai dengan karakter pribadinya. Gaya manajemen seorang pemimpin, memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perusahaan atau organisasi yang dipimpinnya. Gaya manajemen tersebut, juga sangat mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam menciptakan serta mempertahankan budaya organisasi yang produktif.

Tantangan dalam dunia bisnis selalu berubah, dan perubahan ini menuntut orientasi manajemen yang juga berbeda seiring dengan perubahan yang ada. Para owner, CEO, maupun para top eksekutif lainnya, secara umum diwajibkan memiliki kemampuan analisa yang baik dalam memutuskan waktu yang tepat untuk beradaptasi dengan perubahan yang ada. Namun, bagi David Sarnoff, hal ini nampaknya sebuah pengecualian.

David Sarnoff merupakan pimpinan RCA ( Radio Corporation America), sebuah perusahaan elektronik paling terkemuka di dunia (pada zamannya). Perusahaan ini berdiri tahun 1919 dan ditutup tahun 1986.

Dengan memanfaatkan kekuatan radio dan televisi, David Sarnoff mampu menjadikan RCA salah satu perusahaan paling tangguh dan kompetitif di dunia. David Sarnoff yang ngotot dan sangat percaya dengan kekuatan teknologi, menjadikan RCA juga memiliki fokus yang sama, yaitu teknologi!

Pada awal-awal hadirnya televisi, teknologi memang memegang peranan paling penting. Namun, seiring dengan semakin umumnya televisi dimana-mana, membuat bergesernya kedigdayaan teknologi televisi ke arah keunggulan konten televisi. Dan sangat disayangkan, meski memiliki NBC, RCA di bawah pimpinan Sarnoff tak mau beradaptasi sesuai perubahan yang ada.

Selain itu, ia juga tak mau mengakui keunggulan teknologi dari pihak lain, terutama dari industri elektronik Jepang. Sehingga, daripada bekerjasama dengan pihak lain, ia terus-menerus mengembangkan dan berinvestasi dalam teknologi. Kengototan Sarnoff inilah yang akhirnya menentukan nasib RCA. Dari sebuah perusahaan (dan merek) paling ternama, hingga kini menjadi suatu entitas yang hampir tidak lagi dikenal.

Untuk bisa sukses dan bertahan dalam jangka panjang, seorang CEO dan top eksekutif lainnya perlu memahami dan mengelola setiap perubahan, sehingga selalu seiring dengan tuntutan konsumen maupun tuntutan teknologi.

Jadi, bagaimana gaya manajemen Anda atau pimpinan Anda? Fleksibel dan tanggap terhadap perubahan, ataukah ngotot seperti halnya David Sarnoff?


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Too Big Till Fail

Pernahkah Anda bertanya, kenapa sebuah perusahaan bisa mendapat predikat “Too Big To Fail” (terlalu besar untuk bisa bangkrut)?

Beberapa tahun terakhir, kita di Indonesia sering sekali mendapatkan “informasi” bahwa sebuah perusahaan tertentu yang sangat besar, penting, dan saling terkoneksi secara global dapat mengakibatkan suatu guncangan ekonomi yang berdampak “sistemik”. Dan sudah tentu, untuk mencegah dampak “sistemik” tersebut, dana maupun campur tangan pemerintah sangat diperlukan untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan ini dari kehancurannya.

Cara yang paling umum digunakan adalah melalui bailout (dana talangan), ataupun merger secara paksa. Masih ingat kasus BLBI pasca krisis 98, bagaimana puluhan perusahaan di bailout, lalu di merger? Atau kasus Century, yang hingga kini masih menimbulkan polemik? Semuanya sama, yaitu menggunakan uang rakyat untuk mencegah dampak “sistemik” dari perusahaan yang berpredikat “Too Big To Fail”.

Kalau dipikir-pikir, kemungkinan di tahun-tahun mendatang (bila ada krisis) akan lebih banyak lagi perusahaan yang “wajib” ditolong pemerintah supaya tidak berdampak sistemik. Bagaimana tidak, hampir seluruh sistem ekonomi kita dirancang serta dijalankan untuk menjadi “besar”. Lihat saja bagaimana para investor, pemegang saham, maupun petinggi-petinggi perusahaan selalu mengharapkan “pertumbuhan positif”, laba yang terus membesar, ataupun istilah lainnya yang memiliki kesamaan arti.

Bukankah sebagian besar perusahaan dewasa ini dinilai dari perbandingan pertumbuhannya di kuartal ini, terhadap kuartal sebelumnya. Lalu dibandingkan lagi dengan kuartal yang sama di tahun sebelumnya? Lihat saja, segala macam bonus, remunerasi, hingga harga saham juga dihitung berdasarkan pertumbuhan perusahaan.

Semua perusahaan dipacu untuk membesar, semakin besar, dan terus bertambah besar. Tapi, kita lupa bahwa semakin besar perusahaan, maka dampak kegagalannya juga ikut membesar.

Lihatlah bagaimana para manager di General Motors berfokus pada pertumbuhan semata. Mereka membeli banyak perusahaan, melebarkan area pemasaran, menambah lini produk baru, dan lain sebagainya. Pendek kata, mereka tumbuh dan terus bertumbuh. Besar dan semakin membesar.

Seiring dengan bertumbuhnya General Motors, kompleksitas manajemen perusahaan ini pun juga ikut “bertumbuh”. Karena sangat besarnya, seringkali para top manajemen di kantor pusat, kehilangan kendali atas tindakan ataupun rencana dari manajer-manajer pemegang kendali di pelosok-pelosok kerajaan bisnisnya. Hasil akhirnya, sudah kita ketahui bersama. Pemerintah AS mengucurkan bailout untuk mereka.

Sudah waktunya kita tak lagi hanya memikirkan serta berfokus pada pertumbuhan semata. Namun, kita harus fokus pada “pertumbuhan yang efektif dan terkendali”. Ibarat sebuah pohon, tanpa pengendalian berupa pemangkasan ranting maupun cabang serta bunga, maka hasil berupa buah takkan optimal. Tanpa pemangkasan, pohon tersebut memang cepat bertumbuh, rimbun! Tapi, buahnya belum tentu besar dan manis!

Kita semua setuju bahwa pertumbuhan adalah suatu keharusan. Namun pertumbuhan yang tidak terkendali tanpa pemangkasan dan perampingan terus-menerus justru merupakan potensi bencana.

Jadi, sekarang apakah perusahaan Anda dalam kondisi benar-benar too big to fail atau malah too big (and complicated) till fail?


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Media Sosial Pembawa Sengsara?

Tak bisa dipungkiri, media sosial adalah teknologi yang mampu mengakumulasi beragam informasi yang pernah ada sepanjang sejarah umat manusia dalam format yang begitu ringkas dan sederhana. Media sosial membuat kita bisa mengakses informasi tentang kehidupan dan masalah orang lain hingga membuat kita seolah ikut merasakan langsung pengalaman itu. Siapapun orang itu—kerabat, teman kerja, selebritis, politisi, hingga presiden—they’re just one click away.

Akibatnya, konsep “life streaming” dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Kegiatan memonitor aktivitas orang lain menjadi hal yang wajar. Kita mengikuti aktivitas orang itu lewat Facebook, Twitter, Path, Instagram, dan sebagainya. Monitoring of oneself and others thus becomes an expected normative part of this social interaction. Sampai-sampai, ketika seseorang yang kita “follow” di media sosial keluar dari pola aktivitas normalnya, kita bisa protes.

Kebiasaan “voyeurism” semacam ini sebenarnya bukan barang baru. Majalah dan tabloid gosip sudah beredar sejak puluhan tahun lalu. Acara-acara “reality show” di televisi juga sudah banyak menghiasi layar kaca. Begitu pula dengan tayangan infotainment yang makin banyak ragamnya. Ratingnya juga selalu tinggi. Kalau acara yang satu sudah mulai terlihat saturated, acara yang lain sudah siap menggantikan. Barangkali mengintip itu memang perbuatan yang menyenangkan.

Media sosial sangat membantu kita memfasilitasi kegiatan mengintip ini. Sebelum adanya media sosial, mengintip seseorang cuma bisa dilakukan dengan mengendap-endap masuk ke kamar pribadinya. Makin “direct” perbuatan mengintip itu dilakukan, biasanya makin dianggap ilegal. Media sosial kini membuat seseorang terbuka untuk diintip—mari kita sebut saja kegiatan ini dengan istilah “voluntary voyeurism” atau “permitted voyeurism”. Media sosial membuat perbuatan mengintip menjadi sesuatu yang tak hanya lebih mudah dan lebih cepat, tetapi juga legal.

Berapa kali Anda mengintip profil mantan pacar di Facebook? Berapa kali Anda melihat Twitter hanya untuk mengetahui apa yang sedang ia lakukan? Berapa kali Anda membuka-buka koleksi foto Instagram-nya? Pernahkah Anda berkenalan dengan seseorang yang menarik menurut Anda, lalu Anda search di Google untuk menemukan profil lebih detil tentangnya? Sebelum adanya media sosial, mungkinkah semua itu terjadi?

Dari kacamata si pengintip, media sosial memang bisa membawa sengsara. Pengintip akan selalu merasa takut ketinggalan berita, fear being left out. Tak peduli berapa banyak waktu yang sudah si pengintip habiskan di media sosial, akan selalu ada satu video baru yang mengundang untuk dilihat, satu artikel baru yang rasanya perlu dibaca, satu akun baru yang wajib di-follow, satu foto yang nampaknya harus di-like, dan seterusnya. Dalam tahap yang akut, bahkan smartphone yang berada dalam kondisi nonaktif pun punya kekuatan untuk “mengundang.”

Dalam konteks ini, media sosial akan selalu menang. Sebagai pengintip, Anda tak bisa terus menerus melakukan itu semua karena hal itu justru akan membuat hidup Anda tidak produktif dan tidak sustainable. Yang bisa Anda lakukan hanyalah membuat kontrol diri. If the content doesn’t feel rewarding in the long run, don’t consume it. Media sosial sudah menghabiskan banyak waktu dan pikiran Anda. Kalau Anda bisa mengendalikan diri, Anda akan punya sense of self-accomplishment yang membuat kontrol diri Anda makin kuat.

Tapi dari kacamata orang yang diintip, media sosial sesungguhnya bisa memberi banyak keuntungan. Titik balik Raditya Dika, misalnya, berawal ketika ia menulis kehidupan pribadinya semasa kuliah di Australia dengan gaya bahasa yang jenaka. Blog pribadinya yang berjudul “Kambing Jantan” itu kemudian ia bukukan, and the rest is history. Sama juga dengan Raisa Andriana. Empat tahun lalu, Raisa tak beda dengan remaja kebanyakan yang menyanyikan lagu-lagu orang lain lalu mengunggahnya di Youtube. Tahun 2011 major label menariknya dan 2012 ia sudah meraih banyak nominasi award.

Kuncinya sederhana: be an exhibitionist and build something that is entertaining. Menjadi exhibitionist bukan berarti Anda berlari di jalanan dengan telanjang. Menjadi exhibitionist adalah membelah diri Anda menjadi kepingan-kepingan kecil, lalu mengemasnya dalam boks dengan kertas kado dan pita yang menarik. Menjadi entertaining juga tak harus pandai menulis dan punya selera humor yang tinggi seperti Raditya Dika atau punya paras cantik dan suara indah seperti Raisa. Agus Mulyadi menjadi entertaining hanya karena piawai menertawakan dirinya sendiri.

Ambil sebagian dari diri Anda: bagian paling baik, bagian paling hebat, bagian paling konyol, atau bagian yang paling memalukan. Bagilah kepada orang banyak dan biarkan orang lain mengintip kehidupan Anda. Ijinkan mereka melihat masa lalu Anda, mengambil foto Anda, membaca pemikiran Anda, menonton video Anda, menyimak perjalanan hidup Anda. Karena pada akhirnya, media sosial adalah tentang diri Anda sendiri, bukan tentang orang lain. Mengutip Katy Perry, “You just gotta ignite the light and let it shine”.

Biarkan diri Anda bersinar supaya semua orang ingin mengintip Anda.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


“Follow Your Passion” itu Berbahaya

Banyak pembicara/penulis/motivator yang mengusung jargon “follow your passion”. Anda ingin melanjutkan kuliah tapi bingung memilih jurusan? Follow your passion! Anda ingin berbisnis, tapi masih bingung menentukan bidang bisnis yang ingin digeluti? Follow your passion! Terlihat sederhana dan seolah bisa menyelesaikan masalah bukan? Tapi ada kalanya “follow your passion” itu justru bisa berbahaya. Mengapa begitu?

Pertama, tidak selalu passion kita marketable dan menghasilkan uang. Saya suka menulis, tapi silakan cek daftar orang terkaya di Indonesia. Silakan cek penulis buku-buku best-seller di Indonesia. Saya berani bertaruh bahwa main income mereka yang terbesar bukan dari royalti buku. Saya juga suka bermain golf, tapi populasi pemain golf di dunia hanya 1%. Di Indonesia, para pegolf muda berbakat saja kesulitan mendapatkan sponsorship, apalagi amatiran seperti saya.

Sebagian dari Anda mungkin sama seperti saya—punya passion yang kebetulan tidak seksi dan marketable. Pada awalnya mengikuti passion itu menyenangkan, tapi lama-lama terpaksa gugur juga karena tuntutan keadaan. Akibatnya, passion itu terpaksa harus dipinggirkan dan memilih jalan hidup yang konvensional. Hidup jadi membosankan dan tak punya banyak pilihan. Golf terpaksa ditinggalkan demi melamar jadi PNS. Obsesi menulis novel hanya sebatas mimpi karena terlalu lelah dengan pekerjaan.

Kedua, mengerjakan passion demi kesenangan itu berbeda dengan mengerjakan passion karena tuntutan. Saya enjoy bermain golf karena bisa melepas stres dan penat di pekerjaan. Saya senang menikmati lapangan hijau yang terbuka sekaligus mendapat kenalan baru. Tapi semua itu menjadi berbeda ketika saya dituntut harus membuat skor serendah-rendahnya. Setiap pukulan yang pada awalnya saya nikmati berubah menjadi penderitaan ketika saya harus berlatih serius berjam-jam setiap harinya demi memenangkan pertandingan. Badan pegal-pegal, tangan penuh lecet, nyeri dimana-mana.

Saya juga suka menulis dan menuangkan pikiran saya. Saya senang ketika tulisan saya dinikmati atau bahkan bisa bermanfaat buat orang lain. Saya merasa puas ketika buku saya ada di rak-rak toko buku. Tapi menjadi berbeda ketika saya diminta harus menyerahkan 10.000 kata dalam satu hari atau dituntut untuk mengirimkan draft naskah buku dalam satu bulan. Ide-ide saya mendadak jadi buntu. Tulisan saya menjadi tidak mengalir dan sulit dibaca. Boro-boro menyenangkan hati, passion yang semula begitu saya cintai berubah menjadi sesuatu yang sangat saya benci.

Maybe this mindset works for some and maybe not for others, but bear with me: Bagi saya, “follow your passion” dan “making a living” adalah dua hal yang berbeda dan tak boleh dicampur aduk begitu saja. “Follow your passion” adalah tentang diri sendiri, tentang cinta, dan tentang subjektivitas. Sebaliknya, “making a living” adalah tentang orang banyak (market), tentang realita, dan tentang objektivitas.

Bagaimana “follow your passion” yang benar? Find something you love. Once you feel what passion to follow, don’t think about the outcome. Kalau Anda punya passion bermain golf, bermainlah dengan sepenuh jiwa raga. Seandainya Anda memenangkan turnamen atau mendapat hole-in-one, anggap itu sebagai bonus. Kalau Anda punya passion menulis, maka menulislah tanpa memikirkan berapa royalti buku Anda kelak. Seandainya tulisan Anda terbit dan menjadi best-seller, anggap itu sebagai bonus.

Bagaimana “making a living” yang benar? Find opportunities around you. Find out what skills you have and what value you have to offer the world, and do that. Anda bingung menentukan jurusan kuliah? Lihat sekeliling Anda. Cari jurusan yang sekiranya akan membuka banyak opportunity ke depan. Bingung memilih bidang bisnis? Lihat sekeliling Anda. Apa yang sekiranya bisa dijual? Kalau sudah, bangun skill Anda, add value to others, meet new people, find challenges, and create opportunities supaya bisa menjadi yang terbaik to offer to the world.

Sebagai seorang visioner di masanya, passion Steve Jobs bukanlah bisnis atau teknologi. Passion Steve Jobs adalah Budha. Sebelum mendirikan Apple, ia melakoni perjalanan spiritual ke India. Steve menjadi seorang vegetarian dan tetap menjalani ritual sampai akhir hidupnya. Kalau Steve Jobs hanya mengikuti “follow your passion“, mungkin ia akan kita kenal sebagai seorang biksu.

Justin Timberlake, walaupun berprofesi sebagai artis, ternyata punya passion bermain golf. Justin sering mengikuti turnamen amatir dan punya handicap 4.8. Angka tersebut sangat bagus untuk ukuran non-profesional, apalagi beberapa tahun sebelumnya handicap Justin Timberlake masih di angka 6.

Jimmy Walker, pegolf profesional yang memenangkan AT&T Pebble Beach National Pro-Am, punya passion sebagai seorang astrophotographer. Ia punya teleskop canggih di rumahnya dan suka menghabiskan berjam-jam mengamati bintang-bintang. Foto-foto hasil karyanya juga luar biasa.

Orang-orang tersebut di atas adalah para profesional di bidangnya, sangat mumpuni, and they have something to offer to the world. Mereka juga punya kehidupan yang menarik dengan pencapaian yang hebat di luar bidangnya masing-masing. Kehidupan profesional mereka penuh prestasi, tapi kehidupan personal mereka juga penuh warna.

Kuncinya sederhana, mereka menjalani “follow your passion” dan “making a living” dengan benar.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Derita Para “Creator” di Negeri Transisi

Kisah tentang para kreator (change leader) yang di dzolimi ternyata bukan hanya terjadi di sini, di Indonesia.

Itu terjadi di hampir semua benua, mulai dari Afrika, Amerika, maupun di Asia. Hampir semua tokoh-tokoh besar mengalaminya.

Apakah dia Martin Luther King atau mendiang Munir. Juga dialami Einstein dan Mandela. Bahkan hal itu juga dirasakan oleh musisi-musisi kita dan para seniman besar yang tak dapat menikmati hasil jerih payahnya.

Kisah-kisah heroik para kreator dan change leader itu diceritakan oleh Kevin Ashton dalam bukunya yang berjudul The Secret History of Creation, Invention and Discovery.

Saya kutip saja kisah tentang Edmond yang menghentak penduduk Pulau Reunion, eks jajahan Inggris-Portugis dan Spanyol.

Di pulau itu, tepatnya di kota Sainte-Suzanne, Ashton terhentak menyaksikan sebuah patung bocah Afrika yang terbuat dari perunggu dengan gerakan tangan yang seakan tengah melakukan sesuatu.

Menjadi pertanyaan, siapa Edmond dan mengapa patungnya diabadikan di sana?

Semua ini berawal dari bisnis Vanila, komoditas yang sejak abad 15-18 sudah digemari raja-raja Eropa namun pasokannya amat terbatas.

Menurut Ashton, saat itu tak ada yang tahu bagaimana melakukan penyerbukan agar vanila berbunga dan berbuah.

Jadi sampai awal abad 19, pasokannya hanya sekitar 2 ton per tahun yang datang dari Meksiko. Belakangan, Charles Darwin melaporkan penyerbukan itu dilakukan kumbang Euglossa viridissima yang tidak ditemui di luar Meksiko.

Jadi walaupun tanaman itu sudah dibawa Belanda ke Pulau Jawa, Spanyol ke Filipina dan dibawa penjajah Inggris ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke Reunion, Vanila gagal panen.

Vanila baru menghasilkan buah berkat kerja keras seorang budak berusia 12 tahun yang dipelihara oleh keluarga Perancis, Fereol.

Tanaman yang sudah puluhan tahun dipelihara keluarga itu akhirnya berbuah baik dan keluarga itu di berkahi rejeki berlimpah. Kelak metodenya dikenal di Prancis sebagai Le geste dE’dmond.

Sejak itulah metode Edmond menyebar ke seluruh Pulau Reunion, menjadikan pulau ini kaya raya. Edmond dibebaskan sebagai budak 7 tahun kemudian (1848) dan inovasinya segera menyebar hingga ke berbagai penjuru dunia termasuk ke Hindia Belanda.

Edmond diminta mengajarkan para petani di berbagai negara untuk melakukan penyerbukan buatan.

Tetapi dunia seringkali tak berterima kasih pada para kreator dan change leader yang telah memberikan kemakmuran. Buktinya, beberapa tahun kemudian Edmond dipidanakan. Katanya Edmond terlibat pencurian. Tetapi kesalahannya terus diperbesar.

Seperti yang terjadi pada kebanyakan change leader dan kreator besar, para sejarawan masih sering bertanya mengapa di sini mereka disebut pejuang dan creator sedangkan di sana disamakan dengan penjahat?

Dalam kasus Edmond, Ashton akhirnya menemukan jawabnya, yaitu adanya pihak lain yang menginginkan sebutan sebagai creator pada dirinya. Dan orang itu adalah Jean Michel Claude Richard, Direktur taman botani Reunion.

Richard mengklaim Edmond telah mencuri teknik penyerbukan yang ia ajarkan. Tetapi keluarga Fereol tak mendiamkan peristiwa kriminalisasi tersebut.

Benar, Edmond pernah belajar pada Richard, tetapi itu terjadi bertahun-tahun setelah Edmond menyebarkan ilmunya. Ia pun menyurati Richard, “Anda hanya mengajari orang yang telah lebih dulu menemukannya.”

Sekarang bayangkan bila Fereol hidup hari ini, di era social media, dengan Richard yang amat berambisi, yang bisa membayar konsultan-konsultan media, lalu membayar pasukan penyebar kebencian yang memiliki akun-akun anonim.

Bisa jadi kantor Fereol digrebek aparat, dan Edmond dipenjarakan hanya karena “pengaduan masyarakat” atas suruhan Richard.

Minimal, mungkin, Edmond sudah masuk penjara dan usaha Perkebunan keluarga Fereol pun berpindah tangan.

Fereol akan dituding membela karena mempunyai kepentingan pribadi. Ya, Edmond memang sempat masuk penjara. Entah ia mencuri apa, tak jelas betul. Hidupnya menjadi sengsara.

Namun keluarga Fereol, menurut catatan Kevin Ashton, berhasil meyakinkan penegak hukum, bahwa Edmond-lah pelaku perubahan yang sebenarnya. Dan Edmond pulalah yang telah membuat pulau itu makmur, demikian pula ratusan ribu petani Vanila di mancanegara.

Maka Edmond pun dibebaskan, namanya direhabilitasi, dan patung berbahan perunggu bocah berusia 12 tahun tanpa alas kaki itu menjadi bukti, bahwa warga Pulau Reunion menghargai kreatornya.

Catatan Perubahan

Apa yang dialami Edmond sebenarnya juga dihadapi aktor-aktor perubahan lainnya. Mudah sekali untuk meramalkan nasib para kreator dan pemimpin perubahan, yaitu masa kepemimpinan yang dipenuhi hasil prestasi dan karya-karya baru, namun selalu gaduh dengan serangan aneka kesalahan yang disamarkan menjadi “kejahatan”.

Saya menulis kalimat seperti ini bukan hanya hari ini, melainkan sejak 2005 dan barangkali sebagian Anda masih ingat, itulah yang saya tulis dalam buku Change (2005), Recode Your Change DNA (2006), dan Let’s Change (2014).

Maka kalau BUMN kita gaduh, salah satu penyebabnya di sana sedang berlangsung non-compromizing transformation. Proses transformasi BUMN sudah berlangsung sejak Tanri Abeng membangun kementrian itu dengan konsep value creation.

Bukan hal yang luar biasa, usia kementrian BUMN baru 17 tahun, tapi menterinya sudah berganti 8 kali.

Wajar bila para pegawai yang menyambut menteri baru selalu berujar, “Apakah menteri ini akan lama berada di sini?”

Lantas, bagaimana industri kreatif kita, yang kini sudah punya badan sendiri? Belum gaduh, mungkin masih sibuk menata diri. Tapi begitu bergerak ia pasti akan mengalami hal serupa.

Kalau spektakuler, hampir pasti gaduh seperti ujian yang dialami Gojek. Kalau bangsa ini mau maju, kita hendaknya menghargai kerja keras para creator dan change leader. Sebab perubahan itu selalu pahit dan selalu menghadirkan pihak yang saling berhadapan.

Antara yang sudah jauh di depan, dengan mereka yang masih hidup di masa lalu. Antara yang terjepit, dengan yang memberi harapan baru. Antara yang ingin memacu, dengan yang masih ingin menikmati.

Di antara keduanya, selalu ada yang membuat air didulang semakin keruh. Dan, catatan serupa itu sudah pernah diberikan Sosiolog terkenal Robert King Merton, yang menganalisis tentang Social Change.

Bagi Merton, itu adalah anomie, yang terjadi saat suatu bangsa berevolusi, menjalani transisi dari Organic Structure ke Mechanical Structure. Dari sebuah bentuk perorangan dan guyub, ke sebuah sistem.

Siapkah kita mengawal para pembaharu?


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Jebakan Motivator

Seandainya saya jadi motivator, barangkali sayalah motivator terburuk di dunia. Pertama, saya tidak suka “nggambleh” berbicara tentang manisnya hidup. Saya lebih suka bercerita (atau menulis) tentang hidup secara apa adanya—ya sisi manisnya, tapi juga lebih sering sisi pahitnya. Kedua, kalau saya kasih motivasi kepada Anda, “ceumungudh kakaaa..” misalnya, kok kesannya malah garing.

Kawan saya pernah berujar dengan nada yang lebih ekstrim, “Ngapain bayar mahal cuma untuk dibohongin dengan cerita manis?” Saya pun cuma membalas ringan, “Orang memang suka dengerin yang seger daripada dengerin yang bener.”.

Saya bukannya anti atau benci terhadap motivator. Saya hanya tidak menyukai hal-hal yang membuat hidup makin susah dan miserable. Dan keberadaan motivator, karena satu dan lain hal, masuk dalam kategori tersebut.

Tumbuhnya kelas menengah di Indonesia sedikit banyak memang berpengaruh dalam melahirkan profesi motivator. Mereka yang sudah nyaman di tengah piramida, berusaha untuk mempertahankan posisinya, atau malah berusaha naik kelas. Sementara mereka yang masih ada di bawah, the bottom of the pyramid, juga tergiur ingin naik jadi anggota kelas menengah. Semua ingin merubah hidup. Solusi mudahnya: motivator!

Berkembangnya industri motivator (self-help) ini juga diamini oleh editor saya. Beliau bercerita bahwa kebanyakan buku best-seller saat ini memang bertema motivasi dan pengembangan diri.

Lucunya, mereka (para motivator tersebut) menulis buku, menerbitkannya lewat penerbit, lalu membeli sendiri buku-buku tersebut untuk dijual lagi di seminar—tak heran jika buku-buku mereka selalu jadi best-seller. Kebanyakan motivator memang kaya raya bukan dari jualan buku, melainkan dari up-selling lewat seminar, training, dan workshop privat.

Masalahnya adalah motivator mengajari kita untuk “mengabaikan” realita dan membuat positive illusion dalam diri kita sendiri. Positive illusion adalah kecenderungan untuk terlalu optimis dalam menghadapi situasi dan kondisi di hadapan kita. Karena mengabaikan realita, akibatnya kita jadi terlalu lebay mengukur kemampuan diri kita sendiri. We overestimate our ability to control outcomes that have some element of chance and overestimate the extent to which good things are going to happen, especially to us.

Entah mengapa, kebanyakan motivator-motivator yang saya teliti mengajari kita untuk “membohongi” diri sendiri. Pretend bad things won’t happen. Silver linings will save us every time.

Padahal, hidup selalu punya dua sisi yang berbeda. Tak selalu hal baik akan terjadi pada diri kita. Satu kejadian mungkin terlihat buruk, tetapi bisa menjadi blessing in disguise bila dilihat di sisi yang lain—begitu juga sebaliknya. Kemampuan untuk melihat suatu kejadian secara lebih komprehensif (helicopter view) inilah yang membuat kita bisa lebih bijaksana.

Kebanyakan motivator yang saya teliti juga menceritakan tentang apa yang audiens ingin dengarkan, bukan apa yang “seharusnya” audiens dengarkan. Cerita-cerita manis (tapi tidak komprehensif) tentang mereka, membuat kita terjebak pada efek reality distortion field.

Efek ini membuat kita meyakini bahwa diri kita sama hebatnya dengan mereka. Efek ini juga membuat kita mempercayai bahwa kesuksesan akan diperoleh kita seperti apa yang kita bayangkan—tetapi tidak akan diperoleh pada orang lain.

Indeed, it’s easy to create a dream life for yourself and NOT take any steps towards achieving it. Saya bermimpi akan bisa mendirikan perusahaan teknologi yang hebat, lalu membawanya ke publik (IPO), dan saya akan jadi trilyuner dalam semalam. Saya bermimpi akan menghabiskan hari-hari saya traveling keliling dunia, bermain golf setiap hari, dan menikahi Raisa lalu hidup bahagia selamanya. Terdengar indah, bukan? Maka tak heran bila sekali kita “dibuai” motivasi, kita akan cenderung ketagihan untuk “dibuai” lagi.

Lebih parah lagi, cerita-cerita manis tadi membuat kita justru tak lagi fokus dalam mengusahakan mimpi-mimpi kita. They will pretend that they can give you a life of no pain or suffering. They will try to make everything sound way easier than it its. This will trick your brain into thinking you’ve actually done something. Kita merasa seolah-olah kita sudah mencapai mimpi-mimpi kita.

We like to feel like we’re making progress—even when we aren’t. Dengan membaca buku tentang fitness, seolah-olah kita sudah langsing dan sehat. Dengan membaca biografi Steve Jobs, seolah-olah kita sama hebatnya dengan dia. Dengan melihat video Tiger Woods di YouTube, kita merasa seolah pukulan kita sama bagusnya.

Faktanya, semua mimpi-mimpi itu bukanlah sesuatu yang gampang dilakukan. Mendirikan perusahaan butuh kerja keras. Membawanya go public perlu perhitungan matang. Bahkan untuk bisa memukul bola golf dengan tepat saja butuh latihan. Belum lagi menikahi Raisa (eh!).

Bermimpi besar adalah sesuatu yang bagus dan memotivasi, tapi mawas diri dan penuh perhitungan juga tak kalah penting. Stretch what you think is possible and expand what you believe is possible BUT don’t pretend to believe what you don’t.

Dreams and motivations is good, but nothing beats the action needed. If you want to be a billionaire, then find a way to erect a value-creating organisation that provides an absurd amount of value to people—that takes amazing focus and drive. If it’s your dream, then you got to move towards it. If it’s not, then don’t chase it.

Jujurlah pada diri sendiri. Barangkali saya tidak perlu memiliki sebuah perusahaan besar yang go public. Mungkin saya sudah cukup happy and content dengan sawah dan perkebunan kecil di kampung. Barangkali saya tak butuh keliling dunia, cukup bisa umrah dan naik haji saja. Dan mungkin perempuan yang membuat saya bahagia bukan Raisa, melainkan Alyssa Soebandono (haiyah).

Terakhir, saya percaya akan kemampuan inner-self seorang manusia, siapapun Anda. Tuhan menciptakan manusia dengan kondisi yang sangat sempurna.

Percayalah, Anda tak butuh dimotivasi siapapun. Anda sudah hebat. Kalau Anda butuh disemangati, sungkem saja ke ibu atau ayah Anda. Atau curhat dan minta dukungan dari pasangan Anda. Dan tak lupa berdoa kepada Yang Maha Menguasai Segalanya. Itu sudah lebih dari cukup.

Dan by the way, Anda tak perlu membayar Rp 2,500,000 untuk motivasi ini. 🙂


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”