Renungan

Ada apa dengan HRD?

Saya nggak pernah kerja di divisi HR tapi saya suka ikut heran kenapa ya tiap kali ada issue soal recruitment itu yang disalahin netizen pada umumnya langsung mengarah ke recruiter atau ke tim HR? Padahal kan dalam proses recruitment itu bukan hanya melibatkan HR saja. Masih ada user atau hiring manager dan masih ada juga keterlibatan top management yang bisa kapan saja mengintervensi sebuah recruitment process.

Contohnya nih saat perusahaan membatalkan recruitment untuk sebuah posisi yang sudah terlanjur sampai tahap interview. Itu tuh belum tentu salah tim HR-nya lho. Yang lebih sering saya jumpai keputusan seperti itu justru diambil oleh user-nya atau bisa juga faktor budget yang ditiadakan oleh higher management.

Atau issue soal requirements yang terlalu sulit. Selama saya kerja jadi karyawan di beberapa perusahaan itu prosedurnya requirements selalu dibuat oleh user lalu HR yang akan bantu buatkan lowongan pekerjaannya. Entah apakah di perusahaan lain ada yang berbeda tapi kalau saya lihat dari detailed technical requirements-nya most likely perusahaan lain pada umumnya pun sama saja mengingat memang user yang paling memahami seluk beluk pekerjaan timnya.

Lalu yang paling aneh saat ada kandidat menyalahkan HR soal dia yang gagal diterima kerja padahal dia gagal setelah users interview. Berbagai fitnah tanpa dasar mulai dari ditolak karena tidak punya orang dalam hingga ditolak karena tidak good looking langsung disematkan kepada recruiter yang bersangkutan di saat bisa saja dia gagal karena user-nya tidak menganggap dia cukup kompeten untuk lowongan tersebut.

Menariknya lagi saya pernah beberapa kali melihat praktisi HR yang langsung comment bawa-bawa kata HR di sebuah konten yang membahas tentang job interview di saat sebetulnya konten itu tidak menyebutkan apakah interviewer yang dibahas itu betulan dari divisi HR.

Makanya saja jadi heran… kenapa demikian? Tapi lalu saya jadi ingat kutipan yang menyebutkan, “Don’t shoot the messengers.”

Mungkin kah itu penyebabnya? HR jadi sasaran tembak karena mereka yang mewakili perusahaan untuk mengantarkan pesan kepada kandidat?

Whatever the reason is, well now you know. Dan daripada sibuk menyalahkan HR atau siapapun itu, kenapa tidak sibuk mengecek apa yang masih kurang dan apa yang masih harus dilakukan untuk mendapatkan pekerjaan? That will definitely help you better.

Penulis : Riffa Sancati > https://www.linkedin.com/in/riffa-sancati-60527b9a/


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Ah, Kamu Kan Masih Muda!

Pernah dapat ucapan seperti itu?
For me: I really hate that statement!

Orang yang ucapkan kalimat itu di saat kita gagal, mungkin niatnya baik untuk menyemangati bahwa jalan/usia kita masih panjang, masih ada harapan; namun dalam banyak hal, yang jadi masalah adalah pada si penerima pesan yaitu kita masing-masing individu.

Dalam banyak hal justru kita lebih banyak terlena bahwa jalan ke depan masih panjang, kesempatan masih ada; kita lupa bahwa waktu sangat cepat & seharusnya kita mencoba kembali, bangkit lagi, memperbaiki diri & meningkatkan kualitas diri. Yang dalam bahasa saya: cenderung self pitty di dalam kegagalan.

Saat ini iya, usia masih belasan tahun.
Wanginya ijasah & gelar akademik membuai karena lamar di sini, di sana, di sono masih diterima, masih segar lah ibaratnya.

2 – 3 tahun lagi usia masuk 20an.
Terus terlena. Bangga sama status akademik yang kelihatannya masih kepake dalam melamar kerja. Skill ya segitu-segitu saja. Cukup sama ilmu sendiri & ironisnya lagi merasa ilmunya terbaik.

Tapi orang lain berhasil malah julid sama pencapaian orang. Sirik sama prestasi orang lain. Dikasih saran untuk upgrade diri selalu ada beribu alasan yang mengasihani diri. Ntar sok; ntar & besok.

Tak terasa waktu berlalu, usia masuk 30an.
Terlena sama gelar sarjana usang yang sudah gak bisa banyak membantu. Leveling jabatan yang mulai tertinggal jauh tapi terus mengasihani diri: saya kan gak sama dengan orang lain. Minta rekomendasi & cari lokomotif yang mau dicantolin gerbong ini. Sayangnya video & kata-kata motivasi di fase ini hanya tinggal jadi penghibur.

Absolutely, value proposition is nothing! Unique self selling point zero! Masuklah pada bursa karyawan yang umum & kebanyakan orang berada.

Awalnya terlena dengan kalimat: “ah…kamu kan masih muda!”; tak terasa batin menangis, meringis & berkata dengan lirih: “ah…andai waktu bisa ku putar kembali.”

Orang bijak bilang: jangan salahkan lantai jika tak bisa berdansa & jangan salahkan air jika tak bisa berenang.

Selama seseorang yang gagal mau berubah, upgrade diri & menambah masa otak; tidak ada kata terlambat dalam mengejar ketertinggalan.

Saya selalu percaya 1 hal dalam iman saya: mukjizat itu adalah hasil inisiasi manusia yang diberkati dengan belas kasih Allah!

Tidak ada nasi padang yang bakal turun dari langit secara gratis. Tidak ada minuman dingin yang bimsalabim muncul dari tanah. Semua perlu usaha!

Ibu saya selalu pesan sama saya: jika orang lain bisa, kenapa kamu gak bisa?! Kamu makan nasi & dia juga makan nasi. Kamu ciptaan Tuhan & dia juga diciptakan Tuhan. Yang gak boleh adalah iri & dengki sama perolehan orang lain!
Pesan ini saya pegang terus dalam perjalanan hidup saya & saya punya motto diri sendiri: if everyone can’t,Chris CAN!

Ubahlah mindset dari sekarang, kawan-kawan.
Tidak ada kata terlambat.
Yang membuat menjadi terlambat adalah kita yang melambat saat waktu terus berjalan cepat.

Kesempatan itu ada untuk mereka yang mau berubah & berbuah.

Penulis : Christian Aditya > https://www.linkedin.com/in/christian-aditya/


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Contoh Fixed Mindset

Semalam ada tulisan di LinkedIn yang mengingatkan saya pada percakapan dengan seorang fresh graduates yang meminta advice terkait job hunting melalui TikTok platform.

Awalnya saya menyarankan untuk kerja magang dulu supaya lebih gampang dapat permanent job. Dia lalu menjawab, “Tapi masalahnya di kota saya jarang ada posisi magang.”

Saya jawab lagi, “Coba di kota lain. Atau cari yang remote.” Dia kembali menjawab, “Tapi masalahnya magang di hospitality juga butuh pengalaman kerja.”

Saya mulai bingung sampai di situ. Saya baru dengar ada internship program yang butuh pengalaman kerja. Kalaupun benar ada harusnya sih nggak sebegitu banyaknya ya.

Tapi saya tetap mencoba lagi, “Coba bangun network dengan orang-orang di industri hospitality. Adik ipar saya lulusan SMA dengan pengalaman dagang online di GoFood baru saja dapat kerja jadi cook trainee di restaurant chain punya salah satu famous chef setelah ikut kursus di tempat chef itu. Atau bisa juga connect lagi dengan kating atau dosen.” Dia jawab lagi, “Saya kepikiran mau nongkrong di cafe buat networking tapi nggak punya uang.”

Dia juga cerita panjang-lebar betapa dia sudah menganggur berbulan-bulan sampai ditegur oleh orang tuanya karena kelamaan menganggur. Akhirnya saya sadar sejak awal dia tidak betulan minta advice. Dia hanya ingin curhat sambil minta pembenaran bahwa memang cari kerja sedang susah-susahnya. Dia tidak sedang berusaha mencari solusi atas masalahnya dan dia malah sibuk mencari masalah atas solusi yang ada.

Saya pun berhenti membalasnya karena toh itu cuma wasting times. Dari jawabannya saja sudah kelihatan kemungkinan besar dia bahkan belum mencoba tips yang saya berikan. If she thinks she knows better, then so be it.

Penulis : Riffa Sancati > https://www.linkedin.com/in/riffa-sancati-60527b9a/


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Belum juga keterima kerja? Sudah coba 5 cara berikut?

“Saya sudah berubah, tapi belum ada PERUSAHAAN yang menerima saya?”

Sebentar, saya bedah satu persatu penyebabnya.

1 Kalo ingin cepat diterima kerja, yang perlu dilakukan adalah MENJADI UNGGUL diantara pesaing anda.

Ini sangat sepele sebenernya.

Misalnya saya sadar diri dari Universitas yang bukan top 3.
Terus IPK tidak CUMLAUDE juga.
Lalu NOL pengalaman kerja.
Ya udah cari lowongan dari Perusahaan-Perusahaan yang kecil dulu.

Di Perusahaan kecil biasanya tidak se-KETAT seperti persaingan di Perusahaan yang besar.
Lagian merintis di Perusahaan kecil juga tidak buruk kok, yang penting RODA PEREKONOMIAN anda berjalan dengan baik.
Cari pengalaman dulu sebanyak-banyaknya.

2 Cara melamar pekerjaan yang tepat melalui KONEKSI

Jangan terfokus hanya SEBAR CV sebanyak-banyaknya.
Masih ada lho cara lain untuk mendapat pekerjaan selain POSTING CV di linkedin.

Misalnya personal branding-lah yang bagus di linkedin.

  • Pasang foto secara profesional
  • Posting dan berinteraksi secara profesional
  • Lengkapi profil dengan selengkap-lengkapnya.
  • Bangun koneksi seluas-luasnya.

Jangan mendengarkan motivasi yang justru memberikan pengaruh negatif, seperti :
“Skill atau attitude sebagus apapun, tetap kalah sama ORANG DALAM.”

Banyak sekali posisi DIREKSI yang justru didapat karena KONEKSI orang dalam.
Itu fakta lho, karena koneksi itu kunci untuk mengenal ATTITUDE dan SKILL yang valid.
Apalagi kalo udah terkoneksi bertahun-tahun, pasti kita udah kenal karakternya satu sama lain.

Kalo suatu hari anda pengen jadi DIREKTUR, anda harus menciptakan koneksi “orang dalam” versinya anda sendiri.

3 Cara melamar pekerjaan melalui CV.

CV itu seperti jendela untuk mengetahui tentang diri anda.
Yang paling penting adalah CV sebaiknya berisi fakta dan skill yang terfokus sesuai posisi yang anda lamar.
Dunia kerja itu simpel kok, skill anda harus SIAP PAKAI untuk posisi yang anda lamar.

Skill yang siap pakai itu biasanya dominan pada HARD SKILL.
Soft skill bisa dipelajari sambil jalan.
Jadi sebaiknya, CV lebih menggambarkan Hard Skill anda, seperti :

  • Jobdesk di pengalaman kerja sebelumnya
  • Jobdesk di pengalaman freelance/magang anda
  • Skill yang anda dapat dari training/sertifikasi
  • dll

4 Update ilmu dengan webinar/training gratis/berbayar.

Sehingga anda mendapat komunitas baru yang bisa menambah wawasan baru dalam karir anda.

5 Jangan lupa BERDOA.

Berdoa kepada Tuhan kan nggak perlu bawa-bawa kompetensi, sertifikat, atau hal hal duniawi yang lain.

Cara berdoa yang paling makbul adalah seperti berdoanya Nabi Yunus yang berisi :

  • Menyadari kesalahan, dan pengakuan bahwa manusia kerap LALAI
  • Memohon ampunan
  • Mentauhid-kan Tuhan

Semoga membantu ya..

Penulis : Alviana Noor > https://www.linkedin.com/in/alviana-noor-526344179/


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Dari Sopir ke Assessor BNSP

Dodi Surahman namanya. Sejak bertemu saat kami mengadakan TruckMagz School untuk para pengemudi truk di beberapa kota di Indonesia, saya tahu dia driver yang berbeda. Niat belajarnya tinggi. Saat itu dia jadi Juara I TruckMagz School Defensive Driving Provinsi Banten.

Sejak awal, dia menunjukkan minat maju yang tinggi. Ketika aku mengadakan TruckMagz School di JIEXpo Jakarta, dia datang dari Jepara. “Bu, saya sudah sampai di Jakarta, nanti siangan ke lokasi,” katanya saat baru tiba di stasiun bus. Dia atur jadwalnya, sempatkan belajar di sela-sela nunggu muatan, dan sisihkan uangnya untuk ikut pelatihan.

Aku bercita-cita ada trainer dan asesor pengemudi angkutan barang bersertifikasi BNSP yang berasal dari pengemudi. Selama ini kebanyakan dari non-driver, yang dari sisi pengalaman di jalan, jika mengajar, mereka tak tahu banyak. Bertemu Dodi, asaku seperti akan tercapai.

Dodi adalah “program” uji cobaku. Uji coba menjadikan pengemudi truk naik kelas jadi pelatih dan asesor. Setelah November lalu kompeten menjadi asesor bersertifikasi BNSP, kemarin Dodi berhasil menguji driver di tempat kerjanya, disaksikan Komite Manajemen Mutu dan Standardisasi LSP Ekosistem Multimoda Indonesia tempatnya bernaung.

Pagi ini dia kirim foto dan berterima kasih padaku. “Dodi ingin belajar public speaking sama Ibu biar percaya diri dan ga grogian, bisa dibantu ya Bu?” Siaapp!!


Masalahnya sekarang, tidak semua orang berusaha maju. Maju itu perlu usaha, bukan sekadar keinginan. Dodi adalah sosok driver yang berhasil mengatasi hambatan dalam dirinya.

Ketika training jadi asesor, dia belajar lebih lama dibandingkan peserta lainnya. Sudah selesai training, malam hari dia minta diajarin lagi sehingga menguasai materi harian dengan baik.

Dia juga mau menyisihkan uangnya untuk belajar. Sebagian orang berfokus pada jangka pendek, yaitu mencukupi kebutuhan pangan dan sandang saat duit pas-pasan. Tapi dia mau berpikir jangka panjang, investasi belajar. Ini cara berpikir kalau ingin maju.

Dodi bisa naik kelas, dari pengemudi truk jadi asesor. Masak kalian ga bisa?

Penulis : Ratna Hidayati > https://www.linkedin.com/in/ratna-hidayati-rh140676/


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Hire for Attitude, not Skills… Really..?

Ini merupakan salah satu ujaran populer yang sering digaungkan oleh para influencer populis. Tentunya, ujaran-ujaran populis akan banyak mendapatkan ‘Like’ dari pembaca, thus meningkatkan popularitas. Namun sayangnya, banyak yang menelan bulat-bulat ujaran tersebut, tanpa menyadari makna sesungguhnya dari ujaran tersebut.

Ujaran ini sebenarnya berawal dari perusahan penerbangan di US, Southwest Airlines. Kala itu di thn 1978, Herb Kelleher selaku CEO memberi tugas kepada HR nya untuk merekrut karyawan yang mempunyai sense of humor. Kala itu, norma yang berlaku adalah humor merupakan sesuatu yang bodoh dan tidak professional bila dilakukan di lingkungan kerja, sehingga permintaan tersebut dianggap cukup nyeleneh.

Kelleher merasa proses rekrutmen yang ada saat itu membuat perusahaannya tidak berbeda dengan yang lain. Jadi, dia berusaha membuat perbedaan dan mematahkan mitos yang ada, sesuai misi nya dalam memberikan pelayanan kepada para penumpang : ” I want flying to be a helluva lot of fun

Kelleher terbukti berhasil mematahkan mitos tersebut dan membuktikan bahwa bekerja secara “fun” dengan customer malah meningkatkan kepuasan pelanggan, engagement, retensi, dan pada akhirnya meningkatkan profit; yang membuat nama Southwest menjadi harum di dunia penerbangan. Kebijakan Kelleher inilah yang kemudian dikenal sebagai ‘hire for attitude, train for skills

Sayangnya, kesuksesan menerapkan ‘hire for attitude‘ tersebut kemudian digaungkan secara luas tanpa melihat relevansinya dengan industri atau situasi yang dihadapi.

Sebagai manusia, tentunya kita cenderung beranggapan bahwa diri kita mempunyai attitude yang baik, hence ujaran “hire for attitude” tentunya akan sangat kita sukai. Namun, sayangnya perusahaan adalah entitas yang realistis.

Bitter truth, hiring unskilled person berarti perusahaan harus siap untuk mengeluarkan cost lebih atas hal tersebut, baik berupa pelatihan .. maupun cost atas resiko dalam pekerjaan.. Sesuatu yang tentunya unfavorable bagi perusahaan.

Realitas, bila dihadapkan pada pilihan antara skills dan attitude most likely perusahaan akan lebih memilih yang mempunyai skills sesuai yang dibutuhkan. NAMUN, bila pilihan yang ada sama-sama mempunyai skills yang mumpuni, tentunya yang mempunyai attitude lebih baik yang akan terpilih.

So, skills tetap yang utama, attitude sebagai pelengkap. Jangan dibalik, dengan berbagai argumentasi. Beberapa industri jasa tertentu mungkin akan menerapkan yang sebaliknya, namun industri yang seperti itu tidaklah banyak.

So, terutama bagi para peniti karir pemula, pintar-pintarlah mencerna ujaran-ujaran populis dari para influencer, jangan telan bulat-bulat semua ujaran. Memang, sesuatu yang manis itu lebih enak dinikmati daripada yang pahit.

Sayangnya, kehidupan dan karir itu tidaklah selalu manis. Sesekali cobalah minum jamu nasehat dari Pak Bambang Haryanto, supaya siap menghadapi realitas dunia karir.

Happy Friday y’all !

Penulis : Iman Subekti, Ak, C.A., C.M.A., C.B.V. > https://www.linkedin.com/in/imansubekti/


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Cara Sukses Meski Bukan Alumni Universitas Top

Sayangnya, aku juga ga berasal dari universitas top. S-1 di PTS, itu pun aku kerja sambil kuliah setelah lima tahun tamat SMA. Aku ga punya uang untuk kuliah usai tamat SMA. Aku kuliah S-2 di PTN. Jika dibandingkan lulusan yang disebut top ten kampus negeri di Indonesia, kampusku ga tahu nomor berapa. Aku tak terlalu memperhatikan soal rating kampus.

Kalau kamu mau maju, kamu hanya perlu fokus pada dirimu sendiri. Kamu tahu tujuan hidupmu dan tak pernah menyalahkan keadaan atau orang lain atas hidupmu. Keberhasilanmu adalah tanggung jawab dirimu sendiri, terlepas dari kalangan keluarga mana kamu berasal, almamatermu, status sosialmu, apa pun itu. Keberhasilanmu ditentukan dirimu sendiri.

Saat interview, selalu ada pertanyaan wajib dariku: apa masalah terberat dalam hidupmu, bagaimana kamu menghadapinya dan bagaimana kamu berhasil melaluinya? Aku ingin tahu, seberapa susahnya hidupmu dan keberhasilanmu dalam menghadapi masalah itu.

Tahu kenapa? Seorang rekan HR bank beberapa tahun yang lalu bilang padaku, “Lulusan 2010 ke atas manja-manja. Ga ada daya juang samasekali. Ga mau hidup sedikit susah.” Kawanku sesama staf marketing perusahaan outsourcing Bank Niaga tahun 2001 juga bilang, “Ga ada yang mau susah-susah kayak kita dulu. Susah cari tim setangguh kita.” Apa benar? Aku belum survei.

Tetapi aku melihat beberapa orang yang baru dapat kerjaan, mengeluh kerjaannya berat. Keponakanku, aku ajak bicara panjang. Setelah tiga tahun tamat kuliah dan ga dapat kerjaan sesuai jurusannya, ia akhirnya kerja sebagai staf marketing. Sebulan, ingin resign.

Ia mencapai target. Malah disuruh bertahan dan kinerja dipertahankan agar bisa diangkat segera. Ia mengeluh capek kerja marketing. Apa pun kerjaannya pasti capek Dik. Kalian kaum rebahan mendadak kerja, apalagi. Capek berlipat-lipat.

Kawan anakku pun sama. Setelah dapat kerja mengeluh ingin resign karena kerjaannya berat. Staf HRD, input data 4.000 karyawan buat bayaran mingguan. Mataku capek, katanya.

Beberapa orang juga curhat via DM, kasus serupa. Macam-macam alasannya. Kalau memang cari kerja itu susah, kenapa pada saat sudah dapat ga mau belajar dulu? Anggap aja kuliah lanjutan tapi dalam praktik. Belajar sungguh-sungguh.

Nanti kalau udah ada ilmunya, pindah lagi. Kalau bisa sejurusan. Karena kalau kita terus di satu bidang, lama-lama kompetensi meningkat. Kita jadi ahli. Tapi kalau tiga bulan pindah A, tiga bulan pindah B, tiga bulan pindah C, dst. Aku ga bisa bayangin dalam jangka panjang. Ingat ya, jangan kebanyakan alasan kalau mau maju.

Oiya, kalau masih ada lowongan kayak gitu, tetap aja melamar. Pastikan kompetensimu memadai. Jangan berhenti belajar. Terus doain pas melamar, “Allah mohon bantu bolak-balik hati HR yang membaca surat lamaranku agar aku diterima di perusahaan ini.” Meski bukan universitas ternama, jika Allah berkehendak masuk di perusahaan ternama, siapa yang bisa menghalangi?

Penulis : Ratna Hidayati > https://www.linkedin.com/in/ratna-hidayati-rh140676/


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Siklus Emosional (umumnya) Pegawai

Sebelum keterima: ‘Saya ingin bekerja di Perusahaan itu’

Saat interview: ‘Saya akan memberikan daya dan waktu saya sepenuhnya untuk Perusahaan ini’

Awal bekerja: ‘Terimakasih sudah menerima saya, saya akan memberikan kinerja terbaik untuk pimpinan dan Departemen tempat saya ditempatkan’

Lama bekerja: ‘Kurang, semua kurang. Saya bekerja lebih dari 7 jam sehari sehingga keseimbangan hidup saya terganggu, gaji saya kurang, karir saya kurang lancar, asuransi kesehatan dari kantor kurang, training saya kurang, bonus kurang, dll’

Siklus diatas adalah tipikal yang dilalui oleh kita, bukan sesuatu yg harus malu untuk diakui. Sangat manusiawi. Kenapa bisa? Secara umum ada 3 jenis kebutuhan manusia, kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.

Kebutuhan primer sendiri adalah kebutuhan pertama yang harus dipenuhi agar manusia dapat hidup layak seperti makan minum, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan dan lainnya untuk melangsungkan kehidupannya yang kalau tidak terpenuhi maka sulit untuk melangsungkan kehidupan dan mewujudkan jati dirinya

Kebutuhan sekunder sendiri muncul setelah kebutuhan primernya aman. Misal orang yang telah dapat memiliki tempat tinggal secara otomatis akan membutuhkan perabotan untuk melengkapi rumahnya, sehingga perabotan rumah tangga bisa dikatakan sebagai kebutuhan sekunder

Kebutuhan tersier terakhir muncul setelah terpenuhinya kebutuhan primer dan sekunder. Bisa berupa hal-hal yg agak mewah seperti Iphone/Macbook, liburan/healing. Semua hanya dapat dipenuhi oleh sebagian kecil masyarakat yg memiliki kondisi ekonomi tertentu

Saat kamu awal mencari kerja, fokus kamu adalah kebutuhan primer kamu, maka dari itu kamu akan sangat merasa bersyukur saat diterima. Seiring waktu bekerja bertambah, kebutuhan primer terpenuhi, sekunder juga mulai terpenuhi pelan-pelan, maka muncul juga kebutuhan tersier yang kemudian kita gunakan untuk menilai kelayakan pekerjaan kita sekarang. Buat saya, dari situlah muncul cikal bakal perasaan tidak puas pada Perusahaan kita sekarang

Kadang, bukan Perusahaan kita yang sepenuhnya salah, tapi kemauan kita yang berubah, kemauan kita yg berkembang, kita yang jadi ‘banyak mau’.

Jika itu sudah terjadi, tolong, janganlah menjelek-jelekkan Perusahaan tempat kita bekerja, seberapa tidak bagus nya dia. Bagaimanapun, dia adalah ekosistem kita berkarya dan kita mendapatkan gaji dari perusahaan tersebut. Jika memang kita sudah tidak cocok, alih-alih menjelek-jelekkan tapi masih bekerja disana, lebih elok kita segera resign saja dan pindah ke tempat kerja yang lebih ‘layak’ buat kita. Yang bisa memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier kita yang baru. Sudah pinter, kan?

Resign nya kita juga akan memberikan peluang baru kepada orang-orang yang masih mencari pemenuhan akan kebutuhan primernya. Perusahaan juga akan mendapatkan pegawai baru yang termotivasi 100 persen dan semangat baru. Win-Win-Win solution (kamu, perusahaan, dan penggantimu)

Stop the hate toward your employer!

Penulis : Kemas Adrian > https://www.linkedin.com/in/kemas-adrian-a12b3444/


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Pemecah Masalah Itu Penting Bagi Organisasi

Pagi ini saya menyempatkan mampir disebuah toko oleh-oleh di bilangan kota Makassar.

Karena faktor usia, saya lupa membawa dompet dan kesulitan melakukan pembayaran. Untungnya saya masih membawa HP yang bisa saya gunakan.

Karena toko tidak menerima pembayaran menggunakan QR code, saya menawarkan untuk membayar menggunakan transfer dari M-Banking kepada pemilik toko atau manajer toko. Namun tidak ada seorangpun yang berkenan membantu.

Padahal saya beli dengan jumlah yang lumayan besar untuk transaksi di pagi hari. Manajer pun sampai mempersilahkan saya untuk belanja di tempat lain karena dia tidak bisa memberikan solusi atas permasalahan pembeli. Mungkin juga karena tampang saya yang acak-acakan kelihatan kurang meyakinkan.

Sampai salah seorang pegawai yang bertugas mengepak barang ke dalam kardus bernama Alya memberikan solusi. Dia menawarkan untuk transfer ke rekening dia dan dia nanti bayarkan ke toko.

Nah..ini. Pemecah masalah!

Saya paling suka dengan karyawan dengan perilaku seperti ini. Bisa berfikir cepat dan mampu membantu memecahkan permasalahan.

Tentu saja Saya menyambut solusinya dengan senyum kegembiraan, ucapan terima kasih dan sedikit apresiasi atas solusinya secara verbal dan dengan melebihkan pembayaran dengan jumlah yang membuat si Manajer tersenyum kecut.

Karyawan seperti ini harus mendapatkan apresiasi dan saya bertekad memastikan pemilik toko mengetahui kejadian ini dan ikut serta memberikan apresiasinya.

Pembuat masalah di organisasi banyak. Pemecah masalah sedikit sekali jumlahnya, dan seringkali kita sebagai pemilik organisasi luput mengidentifikasi mereka.

Yuk, jadi pemecah masalah.

Penulis : DS Adi Pratomo > https://www.linkedin.com/in/ds-adi-pratomo/


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Bahayanya Rasa Minder Yang Berlebihan

Saya pernah dengar cerita tentang freelance editor yang memarahi kliennya hanya karena si klien meminta dia mengirimkan file dengan format docx dan bukan doc. Kalimatnya sopan tapi reaksi si editor sangat berlebihan.

Editor itu membalas via WhatsApp, “Saya tahu saya ini miskin, laptop-nya laptop lama yang bisa dipakai buat nimpuk maling.”

Sebagai sesama penulis, saya tahu banget perbedaan file format itu bisa bikin isi file jadi berantakan. Wajar jika si penulis meminta hal itu dari editor-nya. Jadi kenapa tidak berusaha berpikiran positif dulu? Jika memang ada kendala teknis kenapa tidak dijelaskan baik-baik?

Akhirnya si penulis nekad mencari editor baru di tengah jalan. Berawal dari satu masalah terkait file format merembet ke isu-isu lain yang tidak kalah menyebalkannya hingga akhirnya si penulis memutuskan untuk kerja bareng editor lain saja. Uangnya jadi terbuang karena harus membayar editor baru tapi dia tetap melakukannya agar bukunya bisa lebih cepat selesai tanpa harus dihiasi drama ini-itu.

Saya pernah beberapa kali menjumpai orang dengan sifat mirip-mirip mantan editornya teman saya itu dan biasanya mereka bersikap seperti itu karena terlalu minder dengan keadaannya. Akhirnya orang lain salah ngomong sedikit saja mereka langsung panas karena merasa direndahkan.

Saya tahu merintis karier dari nol itu memang berat. Melawan rasa minder atas keadaan juga berat. Tapi mau seberat apapun tetap harus bisa mengendalikan diri sendiri. Hal itu adalah modal penting untuk memperbaiki keadaan. Jangan sampai kehilangan good opportunities hanya karena bad attitude yang terus menerus kita pertahankan.

Do better to live a better life!

Penulis : Riffa Sancati > https://www.linkedin.com/in/riffa-sancati-60527b9a/


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”