Baru yang Baru

Semua yang baru adalah obsesi kita. Dan sesuatu yang baru seringkali menjadi bagian dari ritual kehidupan kita. Baru seringkali di-kedepan-kan. Baru adalah prioritas bagi kebanyakan orang. Karena baru ibarat jamu yang manjur, maka baru seringkali dijadikan jampi-jampi ilmu pemasaran.

Ketika saya kuliah ilmu pemasaran-pun, topik “BARU” menjadi sebuah kuliah yang super menarik. Malah dosen saya mengatakan bahwa inilah salah satu jurus pemasaran yang mesti dikuasai tuntas. Beliau punya teori yang menarik bahwa sebuah strategi pemasaran harus dimulai dari sesuatu yang baru, dan diakhiri dengan sesuatu yang baru pula. Begitu nasehat beliau.

Konsumen memang selalu tertarik kepada yang baru. Kita selalu mencari restoran baru. Cafe baru. Dan tempat hiburan yang selalu baru. Kalau kita mengunjungi sebuah boutique, kita juga mencari produk terbaru. Fenomena ini begitu mendarah daging, sampai misalnya membuat para produsen mobil, ikut menampilkan model terbaru setiap tahun.

Seorang wartawan pernah bercerita bahwa ia juga tertarik sama seorang artis kalau dia punya sesuatu yang baru. Entah itu lagu baru ataupun pacar yang terbaru. Kelihatan konyol, tetapi itulah yang terjadi. Kita hanya tertarik kepada sesuatu yang baru.

Konon diperlukan rata-rata hampir 3 tahun lamanya , untuk sebuah produsen produk konsumen menciptakan sesuatu yang baru. Tetapi statistik keberhasilan-nya sangat rendah. Kemungkinan hanya mendekati 10%. Padahal jumlah produk baru yang dilempar ke pasar bisa mendekati diatas puluhan ribu tiap tahun-nya.

Dengan statistik ini anda mungkin mengira dan menebak bahwa jurus baru ini, sama dengan inovasi. Menurut dosen saya memang sebagian ditentukan oleh inovasi. Tetapi sisanya sama sekali tidak ditentukan oleh inovasi.

Dalam salah satu kasus klasik yang melibatkan Nokia barangkali benar juga. Nokia meluncurkan ke pasar Nokia Communicator 9000 pada tahun 1996. Saat itu langsung sukses besar. Karena konsumen langsung merespon positif. Nokia memulai sebuah era baru. Era telepon seluler yang pintar. Alias SmartPhone. Nokia Communicator langsung menjadi simbol status. Dan juga mainan baru bagi para sosialita.

Sayangnya setelah itu Nokia gagal menerapkan jurus baru berikutnya. Terutama ketika konsumen dunia mulai malas berbicara di telepon.

Bicara di telepon cenderung bertele-tele. Juga menguras emosi. Maka konsumen mengirim SMS alias texting.

Pada tahun 2003, Blackberry meluncurkan RIM 850 and 857, yang memulai era ngobrol ala “chatting” di telepon seluler. Dan cara komunikasi baru ini ternyata populer di seluruh dunia. Anak muda di Amerika yang berusia 18-29 tahun cenderung hanya berbicara di telepon seluler sebanyak 17 kali sehari dibanding dengan 88 SMS yang dikirimnya tiap hari.

Telepon seluler secara emosional menjadi selimut dan sekaligus kepompong yang melindungi kita. Kita cenderung berlindung didalamnya dan menjadi kurang vokal tetapi lebih visual.

Lalu tahun 2000, telepon seluler pertama dengan kamera di jual di Jepang. Dan tahun 2004, Facebook lahir. Maka muncul-lah gelombang fenomena yang sangat baru.

Begitu baru dan hebatnya boleh dikatakan sebagai sebuah revolusi. Yaitu munculnya budaya “share”. Dimana setiap orang membagi pengalaman-nya, dengan memotret apapun yang dilihatnya, mulai dari makanan, pemandangan, hingga kemacetan lalu lintas. Lalu di-”upload” ke internet dan “social media”.

Revolusi baru yang kedua adalah era baru “selfie”. Semua orang tergila-gila untuk memotret dirinya sendiri. Budaya narsis yang melanda dunia bagaikan banjir bandang. Peristiwa yang terjadi dalam 2 tahun itu, mengubah segalanya.

Dan tahun 2007, akhirnya Apple sebuah perusahaan komputer meluncurkan iPhone. Hanya satu model, namun membuat konsumen tergila-gila. Nokia dalam hitungan 10 tahun pudar sinarnya karena gagal menyerap pembaharuan yang melanda dunia.

Apple sendiri saat ini dihantui oleh kompetitor Samsung yang sudah menguasai pasar lebih dari 40%. Pertempuran belum selesai dan konsumen menunggu yang terbaru.

Kesimpulan pertama, adu baru itu sama dengan sebuah perlombaan. Siapa terdepan dia yang akan menang. Resep utamanya barangkali inovasi. Bukan sembarang inovasi, melainkan sesuatu yang bisa mempengaruhi konsumen. Sesuatu yang revolusioner menggugah konsumen untuk ikut berpartisipasi membeli dan mempromosikan produk anda.

Baru memang menarik. Kalau sudah tidak baru, maka konsumen akan memberikan label bermacam-macam, mulai dari kuno hingga ketinggalan jaman. Kalau sudah demikian, kita bagaikan barang rongsokan yang tidak lagi menarik dan punya pesona. Kita terancam ditinggalkan konsumen.

Tapi apa jadinya kalau produk kita tidak memungkinkan untuk berinovasi. Misalnya, karena produk kita unik dan satu-satunya yang sangat istimewa?

Contoh paling mudah adalah celana jeans Levi’s atau Coca Cola. Maka kata dosen saya, ada jurus kedua yaitu menjadi pilihan klasik atau baru yang selalu abadi!

Itu sebabnya Levi’s dengan produk klasiknya 501 memilih slogan – “The Original”. Alias yang asli. Dan Coca Cola juga punya strategi yang rada mirip, ketika menggunakan slogan – “The Real Thing”.

Strategi sederhana ini diadopsi pedagang soto kaki kambing, yang melabeli mereknya dengan sebutan ”Pak Kumis”. Bakpia di Djogdjakarta juga menggunakan merek yang berupa nomer. Karena kalau bukan nomer dianggap tidak asli.

Pedagang Durian dari kota Medan juga menggunakan merek dan label “Ucok” untuk menunjukkan keaslian-nya. Kalau produk anda dianggap yang asli, maka anda akan memiliki baru yang abadi.

Kalau anda tidak sanggup melakukan dan membuat yang baru sama sekali, maka anda bisa mendaur ulang yang ada, dan membuatnya baru atau melakukan yang ekstrim, dan justru memilih yang lama.

Tidak semua konsumen tergila-gila dengan yang paling baru. Ada juga konsumen yang tertarik dengan yang sangat lama. Konsumen yang mau ber-nostalgia.

Maka sesuatu yang sudah lama sekali, malah bakal menjadi menarik. Apalagi kalau hampir punah. Langka. Dan sudah sangat jarang sekali.

Kesimpulannya, langka adalah sesuatu yang baru juga. Ketika konsumen sudah bosan dengan musik digital, dan CD, maka mereka balik menyukai piringan hitam.

Kini banyak penggemar musik yang balik membeli piringan hitam. Musik dengan piringan hitam yang langka adalah musik baru. Hal yang sama dengan dunia fotografi digital. Ketika semuanya sudah digital, sebagian mahasiswa di Vienna, pada tahun 1992 menemukan kamera LOMO buatan Rusia, dan memulai gerakan baru yaitu foto analog yang disebut Lomography.

Kini Lomography sudah menjadi komunitas dunia. Sesuatu yang lama dan tidak sempurna adalah sesuatu yang baru juga sebenarnya. Terutama ketika kita bosan dengan semuanya yang serba sempurna.

Yang harus kita mengerti bahwa baru adalah sebuah ikatan emosi dengan konsumen. Produknya bisa saja tidak baru dalam pengertian yang sesungguhnya. Tetapi cara kita berkomunikasi, cara kita menyampaikan, dan cara kita menghadirkan persepi, bisa saja memang baru.

Rumusnya: baru yang baru !


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”