Jebakan Motivator

Seandainya saya jadi motivator, barangkali sayalah motivator terburuk di dunia. Pertama, saya tidak suka “nggambleh” berbicara tentang manisnya hidup. Saya lebih suka bercerita (atau menulis) tentang hidup secara apa adanya—ya sisi manisnya, tapi juga lebih sering sisi pahitnya. Kedua, kalau saya kasih motivasi kepada Anda, “ceumungudh kakaaa..” misalnya, kok kesannya malah garing.

Kawan saya pernah berujar dengan nada yang lebih ekstrim, “Ngapain bayar mahal cuma untuk dibohongin dengan cerita manis?” Saya pun cuma membalas ringan, “Orang memang suka dengerin yang seger daripada dengerin yang bener.”.

Saya bukannya anti atau benci terhadap motivator. Saya hanya tidak menyukai hal-hal yang membuat hidup makin susah dan miserable. Dan keberadaan motivator, karena satu dan lain hal, masuk dalam kategori tersebut.

Tumbuhnya kelas menengah di Indonesia sedikit banyak memang berpengaruh dalam melahirkan profesi motivator. Mereka yang sudah nyaman di tengah piramida, berusaha untuk mempertahankan posisinya, atau malah berusaha naik kelas. Sementara mereka yang masih ada di bawah, the bottom of the pyramid, juga tergiur ingin naik jadi anggota kelas menengah. Semua ingin merubah hidup. Solusi mudahnya: motivator!

Berkembangnya industri motivator (self-help) ini juga diamini oleh editor saya. Beliau bercerita bahwa kebanyakan buku best-seller saat ini memang bertema motivasi dan pengembangan diri.

Lucunya, mereka (para motivator tersebut) menulis buku, menerbitkannya lewat penerbit, lalu membeli sendiri buku-buku tersebut untuk dijual lagi di seminar—tak heran jika buku-buku mereka selalu jadi best-seller. Kebanyakan motivator memang kaya raya bukan dari jualan buku, melainkan dari up-selling lewat seminar, training, dan workshop privat.

Masalahnya adalah motivator mengajari kita untuk “mengabaikan” realita dan membuat positive illusion dalam diri kita sendiri. Positive illusion adalah kecenderungan untuk terlalu optimis dalam menghadapi situasi dan kondisi di hadapan kita. Karena mengabaikan realita, akibatnya kita jadi terlalu lebay mengukur kemampuan diri kita sendiri. We overestimate our ability to control outcomes that have some element of chance and overestimate the extent to which good things are going to happen, especially to us.

Entah mengapa, kebanyakan motivator-motivator yang saya teliti mengajari kita untuk “membohongi” diri sendiri. Pretend bad things won’t happen. Silver linings will save us every time.

Padahal, hidup selalu punya dua sisi yang berbeda. Tak selalu hal baik akan terjadi pada diri kita. Satu kejadian mungkin terlihat buruk, tetapi bisa menjadi blessing in disguise bila dilihat di sisi yang lain—begitu juga sebaliknya. Kemampuan untuk melihat suatu kejadian secara lebih komprehensif (helicopter view) inilah yang membuat kita bisa lebih bijaksana.

Kebanyakan motivator yang saya teliti juga menceritakan tentang apa yang audiens ingin dengarkan, bukan apa yang “seharusnya” audiens dengarkan. Cerita-cerita manis (tapi tidak komprehensif) tentang mereka, membuat kita terjebak pada efek reality distortion field.

Efek ini membuat kita meyakini bahwa diri kita sama hebatnya dengan mereka. Efek ini juga membuat kita mempercayai bahwa kesuksesan akan diperoleh kita seperti apa yang kita bayangkan—tetapi tidak akan diperoleh pada orang lain.

Indeed, it’s easy to create a dream life for yourself and NOT take any steps towards achieving it. Saya bermimpi akan bisa mendirikan perusahaan teknologi yang hebat, lalu membawanya ke publik (IPO), dan saya akan jadi trilyuner dalam semalam. Saya bermimpi akan menghabiskan hari-hari saya traveling keliling dunia, bermain golf setiap hari, dan menikahi Raisa lalu hidup bahagia selamanya. Terdengar indah, bukan? Maka tak heran bila sekali kita “dibuai” motivasi, kita akan cenderung ketagihan untuk “dibuai” lagi.

Lebih parah lagi, cerita-cerita manis tadi membuat kita justru tak lagi fokus dalam mengusahakan mimpi-mimpi kita. They will pretend that they can give you a life of no pain or suffering. They will try to make everything sound way easier than it its. This will trick your brain into thinking you’ve actually done something. Kita merasa seolah-olah kita sudah mencapai mimpi-mimpi kita.

We like to feel like we’re making progress—even when we aren’t. Dengan membaca buku tentang fitness, seolah-olah kita sudah langsing dan sehat. Dengan membaca biografi Steve Jobs, seolah-olah kita sama hebatnya dengan dia. Dengan melihat video Tiger Woods di YouTube, kita merasa seolah pukulan kita sama bagusnya.

Faktanya, semua mimpi-mimpi itu bukanlah sesuatu yang gampang dilakukan. Mendirikan perusahaan butuh kerja keras. Membawanya go public perlu perhitungan matang. Bahkan untuk bisa memukul bola golf dengan tepat saja butuh latihan. Belum lagi menikahi Raisa (eh!).

Bermimpi besar adalah sesuatu yang bagus dan memotivasi, tapi mawas diri dan penuh perhitungan juga tak kalah penting. Stretch what you think is possible and expand what you believe is possible BUT don’t pretend to believe what you don’t.

Dreams and motivations is good, but nothing beats the action needed. If you want to be a billionaire, then find a way to erect a value-creating organisation that provides an absurd amount of value to people—that takes amazing focus and drive. If it’s your dream, then you got to move towards it. If it’s not, then don’t chase it.

Jujurlah pada diri sendiri. Barangkali saya tidak perlu memiliki sebuah perusahaan besar yang go public. Mungkin saya sudah cukup happy and content dengan sawah dan perkebunan kecil di kampung. Barangkali saya tak butuh keliling dunia, cukup bisa umrah dan naik haji saja. Dan mungkin perempuan yang membuat saya bahagia bukan Raisa, melainkan Alyssa Soebandono (haiyah).

Terakhir, saya percaya akan kemampuan inner-self seorang manusia, siapapun Anda. Tuhan menciptakan manusia dengan kondisi yang sangat sempurna.

Percayalah, Anda tak butuh dimotivasi siapapun. Anda sudah hebat. Kalau Anda butuh disemangati, sungkem saja ke ibu atau ayah Anda. Atau curhat dan minta dukungan dari pasangan Anda. Dan tak lupa berdoa kepada Yang Maha Menguasai Segalanya. Itu sudah lebih dari cukup.

Dan by the way, Anda tak perlu membayar Rp 2,500,000 untuk motivasi ini. 🙂


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”