Marilah kita berhenti sejenak mengagung-agungkan jargon “inovasi.” Leonardo Da Vinci, Henry Ford, Albert Einstein, atau Thomas Alva Edison adalah segelintir tokoh yang bisa dibilang inovator di bidangnya masing-masing. Namun, mereka sendiri sangat jarang menyebut kata tersebut.
Kajian literatur yang dilakukan oleh Berkun (2008) dari memoar, biografi, maupun catatan hidup dari tokoh-tokoh tadi malah menunjukkan banyak kosakata seperti “problem”, “experiment”, “solve”, “exploration”, “change”, “risk”, dan “prototype”. Jadi buat apa kita menyebut kata “inovasi” secara berlebihan?
Maka tak heran bila inovasi akhirnya hanya menjadi sesuatu yang dilebih-lebihkan (overrated). Akademisi, praktisi industri, bahkan pemerintah tak jarang memaknai inovasi secara salah kaprah. Inovasi yang memiliki makna sakral akhirnya hanya menjadi jargon (buzz word) yang lemah kesaktiannya.
Memang benar, kita mungkin telah merasa mengadopsi slogan dan sikap mental (attitude) inovasi namun tidak benar-benar memaknai kedalamannya. Memang benar, kita fasih menguasai literatur terkini tentang inovasi, tapi kita tidak pernah menyelami infrastruktur di balik paradigma tersebut.
Sikap yang boleh dibilang arogan ini bisa membuat kita semua terjebak (stuck) pada jejak langkah (trajectory) yang salah. Celakanya, sekali kita memilih langkah yang salah, kita akan terus tersesat dalam labirin yang kian menjauhkan kita dari pintu keluar.
Kita sangat fasih mengadopsi teknologi-teknologi terbaru—sebut saja BlackBerry, iPad, kamera DSLR, dan piranti-piranti canggih lainnya. Tapi apakah adopsi tersebut bisa meningkatkan kapasitas kita sebagai manusia?
Piawai mengoperasikan iPad bukan berarti lantas membuktikan bahwa kita lebih pintar. Menenteng kamera DSLR terkini juga tidak otomatis membuktikan bahwa kita adalah fotografer profesional. Lebih celaka lagi bila adopsi tersebut didorong oleh alasan gengsi semata dan hanya dimanfaatkan untuk keperluan yang remeh (trivial).
Kita juga begitu terobsesi untuk meningkatkan daya saing dan mengejar ketertinggalan lewat inovasi—tapi dengan ceroboh melompati tahap-tahap yang semestinya harus dilalui. Kita ingin mengadopsi teknologi wireless (WiMAX), tapi lupa bahwa infrastruktur kabel telekomunikasi kita masih berantakan. Kita ingin segera beralih pada masyarakat berbasis virtual money (e-money), tapi lupa bahwa infrastruktur keuangan kita belum benar-benar solid. Kita ingin lolos ke Piala Dunia dengan menaturalisasi pemain asing, tapi mengabaikan proses pembinaan dan kompetisi usia dini.
Jejak langkah (trajectory) yang salah tersebut tercermin pada corak masyarakat kita yang aneh dan tergagap-gagap. Di jalan Thamrin-Sudirman kita dengan mudah menemukan mobil Ferrari atau Porsche terkini, tapi tak jauh masuk ke dalam, ada permukiman kaum proletar yang termarjinalkan.
Tak sedikit dari kita yang menenteng BlackBerry, iPad dengan bangga, tapi ada sekolah yang tak memiliki papan tulis dan atapnya bocor. Televisi menayangkan sinetron yang tokohnya terlihat kaya dan mapan, padahal mayoritas penduduk kita masih berada di level menengah bawah.
Kita juga rajin mengadopsi teknologi komputer dan audio video terkini yang mahal harganya, tapi CD dan DVD bajakan tersebar dimana-mana. Pasar saham tumbuh signifikan, tapi petani dan pengrajin di daerah masih kesulitan memasarkan hasil kerjanya.
Dalam karya klasiknya, The Innovator’s Dilemma, Christensen (1997) mengatakan bahwa perubahan teknologi adalah penggerak dalam inovasi. Tapi tanpa ruh yang jelas, inovasi akan kehilangan arah.
Inovasi seharusnya berangkat dari realita yang berkembang di sekitar kita. Inovasi seharusnya bukan semata-mata mengadopsi apa yang sudah dilakukan orang (bangsa) lain tanpa memikirkan konteks lokal pengadopsinya. Teknologi hanyalah alat bantu yang membuka pintu masuk menuju kehidupan yang lebih baik. Terbaru dan tercanggih tidak selalu berarti terbaik.
Meminjam istilah Herry-Priyono (2010), inovasi seharusnya merupakan kapasitas untuk memperbarui daya-hidup (viability) suatu masyarakat. Inovasi selayaknya dimaknai sebagai aktivitas yang kita lakukan bersama-sama agar kehidupan kita bisa berlanjut, bertahan, dan berkembang menjadi lebih baik. Seharusnya kita justru merasa malu apabila inovasi-inovasi yang telah kita lakukan selama ini tidak menjadikan daya-hidup kita sebagai manusia menjadi lebih baik.
Mungkin kita tidak membutuhkan inovasi mobil pribadi yang nyaman dan irit bahan bakar. Mungkin yang kita butuhkan hanyalah sarana transportasi massal yang murah, handal, dan bisa memindahkan ribuan (atau bahkan jutaan) manusia dengan cepat dan aman.
Mungkin kita tidak membutuhkan inovasi di pasar modal (capital market) dan pasar uang (money market) kita. Mungkin yang kita butuhkan hanyalah program pendampingan bagi petani, nelayan, dan pengrajin di daerah agar mereka bisa memasarkan hasil jerih payahnya tanpa perlu terlibat dengan rentenir, pengijon, dan tengkulak.
Mungkin kita tidak membutuhkan inovasi pembangkit listrik bertenaga nuklir terbaru. Mungkin yang kita butuhkan hanyalah pembangkit listrik bertenaga air ukuran mini yang bisa diproduksi dengan murah dan dipasang di sungai-sungai pedalaman Papua dan Kalimantan.
Mungkin kita tidak membutuhkan inovasi tayangan yang futuristik dan penuh efek 3D. Mungkin yang kita butuhkan hanyalah tayangan seperti “Keluarga Cemara” atau “Si Doel Anak Sekolahan” yang memuat kebijakan lokal (local wisdom) seperti kebanyakan masyarakat kita.
Jadi, marilah kita berhenti berinovasi. Sebaliknya, mari kita sama-sama memperbaiki etos dan cara berpikir kita. Berangkatlah dari problematika riil yang kita hadapi di lingkungan sekitar kita. Temukan solusi yang benar-benar bernilai untuk memecahkan masalah itu. Dan terakhir, gunakanlah amunisi tersebut untuk meningkatkan daya-hidup kita sebagai umat manusia.
Referensi:
- Berkun, S. (2008) Why Innovation is Overrated. Harvard Business Review Blogs.
- Christensen, C. M. (1997), The innovator’s dilemma: when new technologies cause great firms to fail, Boston, Massachusetts, USA: Harvard Business School Press.
- Herry-Priyono, B. (2010) Menanam Kembali Inovasi. Outline diskusi “Membumikan Inovasi,” Centre for Innovation Policy & Governance, Jakarta, 8 Desember 2010.
By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.
DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI
Perbesar Peluang Karir dan Kerja
“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”