Ada yang masih ingat dengan Kodak? Bagi Anda yang lahir sebelum tahun 1990, pasti tahu dengan merek ini. Perusahaan fotografi ini merupakan salah satu yang terbesar dan paling menguntungkan di jamannya.
Pada abad ke 20, Kodak merupakan salah satu kekuatan utama dalam industri fotografi. Kesuksesannya dimulai dari meledaknya permintaan pasar untuk kamera Brownie di tahun 1900. Saat itu, kamera masih merupakan barang mewah. Namun Kodak, dengan kamera Brownie-nya menawarkan harga yang jauh lebih terjangkau. Lalu membuka gerai cuci-cetak dimana-mana.
Pada dekade berikutnya, posisi Kodak sudah jauh melampaui para pesaingnya. Mereka membuat slogan pemasaran “you push a button, we do the rest”. Untuk menunjukkan komitmen mereka, bahwa fotografi dapat digunakan oleh siapapun.
Namun, dunia selalu berubah. Teknologi digital saat ini sudah sedemikian majunya. Orang, saat ini tak perlu lagi melakukan cuci-cetak foto. Tinggal pencet tombol, lalu share di Facebook. Bahkan handphone saja, sudah lazim berkamera. Rasanya sudah tidak ada handphone keluaran terbaru yang tanpa dilengkapi kamera. Sudah lazim pula mengkoleksi foto keluarga, sahabat, atau bahkan tetangga di handphone yang kita tenteng sehari-hari.
Apakah Kodak tidak menyadari adanya pergeseran teknologi ini?
Kodak sangat sadar dengan pergeseran ini. Buktinya, di tahun 1975 mereka telah memiliki prototype kamera digital. Bayangkan, tahun 1975 sudah memiliki kamera digital! Akan tetapi, manajemen tidak melihat urgensi dari kamera digital.
Steve Sasson, salah seorang insinyur yang menangani kamera digital tersebut pernah mengungkapkan kepada New York Times di tahun 2008, bahwa saat itu manajemen Kodak menganggap temuannya sebagai sesuatu yang lucu. Lalu, berakhirlah pengembangan kamera digital tersebut.
Tahun 2001, saat dunia digital sudah mulai menampakkan taringnya, Kodak mengakuisisi situs berbagi foto, Ofoto. Mereka juga membuat produk kamera digital yang disebut EasyShare. Dinamakan demikian, karena pada kamera tersebut ada tombol untuk berbagi foto melalui internet. Namun, siapa yang butuh berbagi foto, bila foto tersebut tidak bisa dikomentari?
Padahal, antara tahun 1994-1999, saat Kodak masih dipimpin oleh George Fisher. R&D Kodak sudah membuat aplikasi berbagi foto melalui internet, dan bisa dikomentari. Mirip Facebook sekarang ini. Saat itu, para insinyur R&D menyebutnya sebagai Photo Chat. Bahkan, pada tahun tersebut, R&D Kodak sudah berhasil menggabungkan kamera kedalam handphone (bayangkan handphone sebesar batu bata dengan kamera di dalamnya). Namun, kita semua tahu bagaimana nasib prototype-prototype tersebut. Mati sebelum lahir.
Perjuangan Kodak dalam bertransformasi mengikuti perubahan teknologi menunjukkan, betapa brutal dan sulitnya bertransformasi secara tepat. Kodak sebenarnya telah mampu melihat arah perubahan yang terjadi. Namun, melihat saja tidak cukup.
Dibutuhkan keberanian untuk memulai perubahan, dan memasarkan produk baru. Meskipun saat itu, produk tersebut tidak nampak urgent. Dengan laba menggunung yang dahulu dimiliki Kodak, seharusnya cukup mudah bagi mereka untuk mendahului perubahan pasar dengan bertaruh pada beberapa produk temuan divisi R&D mereka. Namun toh, mereka tidak melakukannya.
Semoga kisah Kodak dan transformasi brutalnya jadi pengingat bagi kita semua untuk berani terjun dalam pusaran perubahan, sebelum pusaran itu terlalu besar dan melumat kita.
By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.
DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI
Perbesar Peluang Karir dan Kerja
“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”
Pingback: Keluar dari Zona Nyaman II | Blog eTraining Indonesia