Bayangkan anda seorang Manajer HRD. Mendapat tugas untuk merekrut 10 orang fresh graduates.
Pak CEO berpesan,
“Pilih yang bagus ya. Yang rajin, pinter, bisa kerja, jujur, tidak mudah menyerah, pandai bergaul, cepat belajar, jangan suka bolos, tidak gampang sakit, dan bukan kutu loncat!”
Hari pertama job fair. Sore ketika Anda tutup booth, ternyata sudah ada 1.000 orang yang drop CV. Di website kantor ada 1.000 lagi yang mengantri untuk direspon.
Anda garuk-garuk kepala, berfikir gimana cara menyeleksi….
Merekrut pegawai, apalagi fresh graduate, itu seperti beli lotere. Bisa untung, tapi bisa juga buntung. Kita tidak mungkin bisa tahu performa si pelamar sampai nanti dia direkrut, dilatih dan ditempatkan dalam pekerjaan yang sebenarnya.
Seperti beli kucing dalam karung. Tidak bisa dilihat isinya, hanya bisa ditebak dari bentuk dan baunya.
Maka Anda berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang bisa digunakan sebagai “predictor” kemampuan si pelamar.
Di sinilah label universitas berperan besar.
Merek seperti “UI” dan “ITB” menjadi semacam sinyal bahwa si pelamar adalah pekerja yang baik. Memiliki kualitas seperti yang diinginkan Pak CEO.
Apakah benar seperti itu? Ya belum tentu. Tapi Anda percaya bahwa UI dan ITB paling tidak telah menjadi saringan yang ketat sehingga yang berhasil menjadi mahasiswa di sana adalah orang-orang berkualitas.
Singkatnya, UI dan ITB telah membantu sebagian pekerjaan Anda untuk menyaring 2.000 nama agar bisa mengerucut menjadi 10 saja.
Kalau gitu caranya, ngga adil dong bagi lulusan universitas yang ‘tidak bermerek’.
Well, saya selalu bilang bahwa hidup itu memang tidak adil. Dari jaman Adam dan Hawa ya seperti itu. So get used to it!
Makanya banyak orangtua yang bersedia melakukan apa saja agar anak-anaknya masuk ‘universitas bermerek’. Mulai dari bayar bimbingan belajar, panggil private tutor, sampai menyogok pihak kampus.
Soal sogok menyogok, ini benar terjadi di Harvard[1], Yale[2], Stanford[3], UCLA[4], USC[5].
Update:
Tulisan saya di atas ada dasar teori dan bukti ilmiahnya. Di kalangan ekonom yang meneliti job market, fenomena ini disebut sebagai ‘signalling theory’[6] dan dipelopori oleh Prof. Michael Spence (Nobel Ekonomi 2001).
Adalagi Prof. Bryan Caplan yang sampai menulis buku yang bilang bahwa kuliah itu percuma saja. Mahasiswa itu bukan cari ilmu, tapi cari merek.[7] Perusahaan mau rekrut lulusan ITB bukan karena apa yang dipelajari di ITB (Kewiraan? Agama? Olahraga? Kimia Dasar?). Seminggu setelah ujian aja pasti udah pada lupa isi kuliah. Lagipula banyak sarjana teknik ITB kerja di bank, yang jelas tidak butuh ilmu teknik. Maka bukan ilmu yang menjadi alasan perusahaan merekrut alumni ITB.
Yang paling menarik adalah sebuah penelitian di Italia[8]. Peneliti mengumpulkan data tentang pelamar suatu universitas elit di sana (mungkin seperti UI-nya Italia). Ia secara khusus meneliti mereka yang persis di atas dan persis di bawah batas kelulusan. Jadi misalnya passing grade masuk UI itu 800. Nah, dia kumpulkan data tentang mereka yang berhasil masuk UI karena skornya 801 dan 802 untuk dibandingkan dengan mereka yang gagal masuk UI karena skornya hanya 799 dan 798.
Lalu hasilnya apa?
Mereka yang persis di atas passing grade memiliki penghasilan 50% lebih tinggi dibandingkan mereka yang persis di bawah. Kalau diakumulasi selama 15 tahun bekerja, selisih gaji ini mencapai $120,000.
Kesimpulannya, kuliah di universitas elit itu berdampak signifikan pada pendapatan. Padahal dua kelompok ini memiliki kecerdasan yang mirip (hanya selisih 2–3 poin skor) dan latar belakang sosial-ekonomi yang juga mirip (ceteris paribus, all other things equal). Inilah bukti nyata ‘signaling theory’.
Update 2:
Terima kasih banyak atas semua komentar, maaf tidak bisa saya respon satu per satu.
Saya mau menegaskan bahwa dunia belum berakhir untuk mereka yang bukan lulusan ‘universitas bermerek’. Tapi Anda harus bekerja lebih keras. Untuk mendapat perhatian. Mungkin harus memoles kemampuan public speaking, rajin membangun jejaring, atau menambah bukti kompetensi dengan sertifikat.
Mereka yang lulus dari ‘universitas bermerek’ diuntungkan karena sudah di-notice bahkan sebelum membuka mulut. Tugas Anda berpindah dari mendapatkan perhatian menjadi membuktikan kemampuan.
Akhir kata, fenomena ini ada dimana-mana. Di Inggris ada Oxbridge LSE, di Amerika ada Ivy League, dst. Memang dunia tidak adil. Jadi pastikan kita kerja keras untuk menaklukkan ketidakadilan tsb.
Catatan Kaki
[1] https://www.usnews.com/news/education-news/articles/2019-04-05/harvard-is-investigating-its-own-college-admission-scandal
[2] Ex-Yale soccer coach, Greenwich businessman charged in college admissions scandal
[3] Expelled student’s family paid $6.5 million in scandal to secure her admission to Stanford | The Stanford Daily
[4] Former UCLA soccer coach to plead guilty in college admissions scandal
[5] How USC Became the Most Scandal-Plagued Campus in America[6] Job Market Signaling
[7] Op-Ed: What students know that experts don’t: School is all about signaling, not skill-building
[8] http://ftp.iza.org/dp10192.pdf
Artikel asli dapat di baca di : https://id.quora.com/Apakah-label-lulusan-dari-universitas-favorit-UI-ITB-UGM-IPB-masih-berpengaruh-saat-melamar-pekerjaan/answer/Nurkholisoh-Ibnu-Aman
Penulis : Nurkholisoh Ibnu Aman
By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.
DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI
Perbesar Peluang Karir dan Kerja
“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”