Hire for Attitude, not Skills… Really..?

Ini merupakan salah satu ujaran populer yang sering digaungkan oleh para influencer populis. Tentunya, ujaran-ujaran populis akan banyak mendapatkan ‘Like’ dari pembaca, thus meningkatkan popularitas. Namun sayangnya, banyak yang menelan bulat-bulat ujaran tersebut, tanpa menyadari makna sesungguhnya dari ujaran tersebut.

Ujaran ini sebenarnya berawal dari perusahan penerbangan di US, Southwest Airlines. Kala itu di thn 1978, Herb Kelleher selaku CEO memberi tugas kepada HR nya untuk merekrut karyawan yang mempunyai sense of humor. Kala itu, norma yang berlaku adalah humor merupakan sesuatu yang bodoh dan tidak professional bila dilakukan di lingkungan kerja, sehingga permintaan tersebut dianggap cukup nyeleneh.

Kelleher merasa proses rekrutmen yang ada saat itu membuat perusahaannya tidak berbeda dengan yang lain. Jadi, dia berusaha membuat perbedaan dan mematahkan mitos yang ada, sesuai misi nya dalam memberikan pelayanan kepada para penumpang : ” I want flying to be a helluva lot of fun

Kelleher terbukti berhasil mematahkan mitos tersebut dan membuktikan bahwa bekerja secara “fun” dengan customer malah meningkatkan kepuasan pelanggan, engagement, retensi, dan pada akhirnya meningkatkan profit; yang membuat nama Southwest menjadi harum di dunia penerbangan. Kebijakan Kelleher inilah yang kemudian dikenal sebagai ‘hire for attitude, train for skills

Sayangnya, kesuksesan menerapkan ‘hire for attitude‘ tersebut kemudian digaungkan secara luas tanpa melihat relevansinya dengan industri atau situasi yang dihadapi.

Sebagai manusia, tentunya kita cenderung beranggapan bahwa diri kita mempunyai attitude yang baik, hence ujaran “hire for attitude” tentunya akan sangat kita sukai. Namun, sayangnya perusahaan adalah entitas yang realistis.

Bitter truth, hiring unskilled person berarti perusahaan harus siap untuk mengeluarkan cost lebih atas hal tersebut, baik berupa pelatihan .. maupun cost atas resiko dalam pekerjaan.. Sesuatu yang tentunya unfavorable bagi perusahaan.

Realitas, bila dihadapkan pada pilihan antara skills dan attitude most likely perusahaan akan lebih memilih yang mempunyai skills sesuai yang dibutuhkan. NAMUN, bila pilihan yang ada sama-sama mempunyai skills yang mumpuni, tentunya yang mempunyai attitude lebih baik yang akan terpilih.

So, skills tetap yang utama, attitude sebagai pelengkap. Jangan dibalik, dengan berbagai argumentasi. Beberapa industri jasa tertentu mungkin akan menerapkan yang sebaliknya, namun industri yang seperti itu tidaklah banyak.

So, terutama bagi para peniti karir pemula, pintar-pintarlah mencerna ujaran-ujaran populis dari para influencer, jangan telan bulat-bulat semua ujaran. Memang, sesuatu yang manis itu lebih enak dinikmati daripada yang pahit.

Sayangnya, kehidupan dan karir itu tidaklah selalu manis. Sesekali cobalah minum jamu nasehat dari Pak Bambang Haryanto, supaya siap menghadapi realitas dunia karir.

Happy Friday y’all !

Penulis : Iman Subekti, Ak, C.A., C.M.A., C.B.V. > https://www.linkedin.com/in/imansubekti/


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”