Artikel ini ditulis pada hari Minggu, 28 Juli 2019. Konten artikel ini relevan pada saat artikel ini ditulis.
Salah satu sifat saya yang paling saya syukuri adalah gak mudah ikut-ikutan sesuatu yang lagi viral atau lagi heboh.
Biasanya kalo ada sesuatu yang lagi rame dibicarakan sama publik, ya saya santai aja, malah kadang gak ngikutin. Ngapain? Nambah angka rekening saya juga kagak kan?
Saya malah jauh lebih tertarik buat mengikuti hal-hal yang terjadi di belakang layar, jauh-sunyi sedang terjadi, dan nyaris gak kita monitor selama ini… yaitu:
Rencana Revisi UU Ketenagakerjaan (UUTK) Republik Indonesia No. 13/2003
Begitu saya dapet kisi-kisi / bocoran rencana revisinya dari kalangan komunitas para HR, saya jadi merenung sendiri & memikirkan berbagai kemungkinan baru di masa depan.
Saya bukanlah lulusan Hukum & spesialisasi HR saya bukanlah Hubungan Industrial, tapi ijinkanlah saya tuangkan pemikiran & kegelisahan saya itu; tanpa bermaksud sotoy.
Permisi & salam hormat saya pada para praktisi HR yang lain, khususnya spesialisasi Hubungan Industrial / Legal. Mohon koreksinya jika saya ada salah.
Kenapa demikian?
Memang benar, bahwa ini baru rencana revisi. Semua dinamika masih mungkin terjadi. Tapi satu hal yang pasti adalah:
Apa pun perubahan yang terjadi pada pasal-pasal UUTK versi baru di masa depan, itu akan memberikan kekuatan legal-formal lebih besar pada perusahaan & HR, untuk “mengelola” karyawannya. Karena selama ini UUTK versi lama merupakan UUTK yang dirasakan lebih berpihak pada karyawan.
Contoh: pengusaha & HR sering kesulitan mengambil langkah tegas pada karyawan “orang lama” yang merugikan perusahaan tapi belum masuk ke ranah pidana, hanya karena jika mereka lakukan itu, akan lebih rempong & beresiko terkena masalah hukum yang akan menghabiskan banyak uang.
Akhirnya, karyawan tersebut terpaksa dibiarkan eksis di perusahaan, dan akhirnya merusak kultur organisasi. Produktivitas mandeg, dan tingkat keluar-masuk karyawan (turnover) menjadi tinggi. Perusahaan jadi sulit merekrut karyawan berkualitas terbaik, karena karyawan terbaik gak akan mau kerja bareng ama karyawan julid yang terpaksa dibiarkan eksis oleh perusahaan.
Nah, kembali lagi… maksudnya kata “mengelola” ini apa?
Sepemahaman & sepengalaman saya, dan berdasarkan atas kisi-kisi rencana revisi yang beredar; termasuk di dalam definisi “mengelola” adalah:
- Menyusun Struktur & Skala Upah benar2 hanya berdasarkan variabel yang lebih sederhana, sesuai dengan kemampuan & kebijakan internal perusahaan; tanpa perlu memperhitungkan masa kerja, kompetensi, latarbelakang akademik, atau atribut profesional apa pun. Bahasa gaulnya: “Ini perusahaan gw, suka-suka gw dong. Loe take it or leave it.”
- Memecat karyawan yang melanggar Peraturan Perusahaan, tanpa harus memberikan Surat Peringatan berjenjang & tanpa harus memberikan pesangon atau uang penghargaan dalam bentuk apa pun.
- Tidak ada lagi kewajiban perusahaan untuk menjadikan karyawannya berstatus PKWTT / Karyawan Tetap. Kelak, semua status karyawan adalah PKWT / Kontrak selamanya, dan itu legal.
- Tidak ada lagi kebijakan Uang Pensiun dan semua bentuk “kenyamanan ketenagakerjaan” yang dulu dilindungi oleh UUTK versi lama.
- Posisi HR Manager / HR Head yang dulu diproteksi UUTK untuk hanya boleh dijabat oleh WNI, kini sedang “digoyang” untuk bisa dijabat oleh WNA.
Cukup lima poin dulu ya gaes, kuatir pada gak bisa tidur semua, ha ha ha… Sekali lagi, ini baru kemungkinan-kemungkinan revisi.
Jadi, kesimpulan awalnya adalah:
- Bisa jadi di masa depan, mencari kerja terasa lebih mudah, lapangan kerja lebih banyak tersedia, karena industri & investasi baru bertumbuhan. Tapi… kondisi ketenagakerjaan & kekaryawanannya akan seperti pemaparan di atas. Marilah kita terima realitas ini dan beradaptasilah.
- Saat ini RI selalu kalah saing dengan negara-negara ASEAN lainnya, karena pengusaha manufaktur di RI paling puyeng tujuh keliling kalo udah harus nanganin soal buruh. UUTK versi baru akan menghilangkan mayoritas kepuyengan itu, sehingga daya saing industrial diharapkan bisa meningkat.
- Sepintas, posisi HR akan lebih enak, karena UUTK versi baru akan memberikan kekuatan legal pada HR untuk bertindak dengan “tangan besi” pada karyawan yang udah gak bisa & gak mau lagi diatur sesuai dengan Peraturan Perusahaan. Masalahnya, kata siapa posisi HR aman-sentosa? Kalo Owner atau Direksi lebih suka sama HR Manager bercitarasa WNA, dia bisa kapan pun menggantinya tanpa harus kuatir dijatuhi sanksi oleh Disnaker.
- Kelak, karyawan yang ngarep gaji sekian juta hanya karena mereka dari kampus tertentu, atau yang ngarep dapet status Karyawan Tetap karena merasa udah lama bekerja, atau yang ngarep di-PHK duluan sama perusahaan karena tau ada pesangon yang besar… hanya akan jadi kenangan & bahan candaan.
- Suka gak suka, HR lokal harus meningkatkan daya saingnya. Itulah sebabnya di kalangan HR, sekarang lagi rame dibahas soal sertifikasi wajib profesi BNSP bagi semua pemegang jabatan / fungsi HR. Biayanya gak murah. Jadi kelak, profesi HR diharapkan akan dipandang setara dengan profesi lainnya semisal dokter, pilot, akuntan, pengacara, psikolog, engineer, dan sejumlah profesi lainnya. Di satu sisi ini positif sebagai standarisasi kompetensi. Tapi di sisi lainnya, ini akan “menyapu” para praktisi HR yang gak sanggup beradaptasi.
Nah… sekarang, mari kita renungkan beberapa hal faktual:
- Sekarang ngerti kan, kenapa semua pihak yang kemaren berseteru tajem di Pilpres 2019, sekarang jadi rame-rame ketawa-ketiwi bareng & bikin koalisi gemuk di satu perahu?
- Sekarang ngerti kan, kenapa ada sejumlah narasi publik yang bisa bikin emosional & menyulut perdebatan publik, dihembuskan baru-baru ini? Termasuk narasi soal Fresh Graduate yang nuntut gaji 8 juta. Makanya… banyak baca referensi bermutu, jangan nonton sinetron & infotainment mulu… supaya gak gampang kegiring sama narasi-narasi halus tingkat tinggi…
- Sekarang ngerti kan, kenapa selama ini saya selalu membicarakan perihal Personal Brand, jati diri, pengembangan diri sendiri secara mandiri (Self Development), menggunakan media sosial untuk berkegiatan & berjejaring (networking) secara positif, dan peningkatan kompetensi utama maupun kompetensi pendukung?
- Saya pribadi saat ini sedang dalam posisi gak nyaman, karena harus memecut diri saya sendiri untuk mahir berbahasa Inggris di level percakapan & presentasi. Ini gak nyaman banget buat saya, tapi harus saya lakukan dengan segenap kesadaran akan tanggungjawab saya demi menyongsong masa depan yang semakin gak menentu. Plus gak nyaman juga dari segi kantong, karena harus nabung buat ngikutin sertifikasi profesi HR.
- Berusaha mendebat atau menghindari realitas, mengkambinghitamkan umur tua sebagai hambatan karir, ngomelin rekruter tanpa landasan jelas, baper di media sosial, maki-maki pemerintah soal Tenaga Kerja Asing (TKA) & investasi asing, dan sejumlah penyangkalan maupun bentuk depresi lainnya… gak akan menolong siapa pun. Malah bikin kita semakin terperosok. Serius deh…
Sebagai tambahan sekaligus penutup…
Saat artikel ini ditulis, saya sedang berkarya bersama perusahaan yang bergerak di bidang instalasi solusi robotik & otomatisasi bagi pabrik-pabrik di Tanah Air. Kliennya semakin banyak, dan bahkan kalangan HR manufaktur pun mengakui betapa lebih ringannya pekerjaan mereka setelah pabriknya memasang solusi robotik & otomatisasi.
Dari obrolan saya bareng para engineer yang terbiasa melakukan instalasinya, mereka mengatakan bahwa satu sistem solusi robotik & otomatisasi dapat menggantikan minimal 9 orang pekerja.
Misalnya pabriknya terdiri dari 3 shift non-stop, maka tinggal kalikan saja 9 dengan 3. Hasilnya, secara nyata, satu solusi robotik & otomatisasi bisa menggantikan lebih dari 20 orang pekerja manusia.
Balik modalnya investasi robotik itu bisa diprediksi. Paling tidak, pengusaha sudah dapat menikmati titik impas (BEP) pada tahun ke-3 atau ke-4 setelah instalasi sistem. Tingkat kepastiannya tinggi & dapat digaspol 365 hari 24 jam 7 hari seminggu; tanpa rempong soal demo, cuti, sakit, pemogokan, dan urusan-urusan ribets lainnya.
Udah begitu, hasilnya lebih presisi pula, tingkat kesalahan produksi bisa sangat minim. Pun dari sisi Keselamatan & Kesehatan Kerja (K3), isu-isu negatif & resiko kecelakaan kerja bisa menjadi sangat minim.
Masih kurang? Ada robot yang bisa berjalan seluwes manusia. Ada robot yang bisa membuka-tutup pintu dengan halus. Ada robot yang bisa melakukan pekerjaan konstruksi dengan halus & presisi. Tesla Corporation udah berhasil membuat mobil otonom tanpa pengemudi, bahkan Volvo telah berhasil menguji-coba truk raksasa yang bisa menyeberang ke perbatasan negara lain, tanpa pengemudi.
Di masa depan bukannya mustahil semakin banyak bertebaran mobil yang tidak lagi memiliki roda kemudi di dashboard. Semua penumpangnya bisa tertidur lelap dan hanya tau beres sudah sampai di lokasi.
Bahkan ada sistem hologram yang bisa mereplikasi diri kita, untuk berpidato dengan suara, aksen dan tata-bahasa kita – tapi dalam beberapa bahasa negara lain. Ini gilak…
Jadi, misalnya suatu saat saya diundang buat ngasih seminar di Jepang, santai aja… Gak perlu mati-matian belajar Bahasa Jepang dulu, dan gak perlu membawa penerjemah Bahasa Jepang. Cukup saya berikan speech dalam B. Indonesia, dan hologram dengan wujud diri saya itu yang akan ngomong materi identik, dalam Bahasa Jepang, dengan halus & presisi.
Teknologi itu sudah tersedia sekarang. Iya, sekarang. Bukan beberapa tahun lagi.
Jadi, rekan-rekan sekalian…
Wind of Change, alias angin perubahan, sedang kencang bertiup di pekarangan depan rumah kita semua, dan sedang berusaha menggedor pintu pekarangan belakang kita…
Masihkah kita tertarik buat ngomentarin narasi-narasi gak jelas di luar sana, lalu ceroboh mengantisipasi adaptasi diri kita sendiri di era yang semakin kompetitif & gak menentu ini?
Marilah kita cek, apakah pekerjaan kita bersifat:
- Repetitif (sudah tergantikan oleh robot).
- Administratif (sudah tergantikan oleh aplikasi di ponsel).
- Kuantitatif (sudah tergantikan oleh software).
Jika jawaban dari ketiga pertanyaan tersebut adalah “Ya”, maka siap-siaplah pekerjaan kita yang paling duluan tersapu oleh sistem otomatisasi, robotik, software, aplikasi, dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence / AI).
Kira-kira, apa saja hal-hal yang perlu kita tingkatkan di masa depan?
- Kewaspadaan sosial (Social Awareness) & kewaspadaan pribadi (Self Awareness), dengan terus melahap informasi & pengetahuan bermutu tinggi dari sumber2 yang kredibel.
- Kemampuan bahasa asing, minimal Bahasa Inggris. Minimal sekali bisa buat baca referensi berbahasa Inggris dulu aja, sebagai tahap pertama. Nanti berangsur mahir hingga tahap percakapan.
- Akan banyak petuah karir gaya lama yang gak berlaku lagi di masa depan. Yakinkanlah bahwa kita mendapatkan bimbingan karir dari mentor yang tepat, bukan mentor yang bisanya hanya membangga-banggakan pencapaian karir pribadinya di masa lalu.
- Targetkanlah minimal penguasaan satu keahlian baru per bulannya. Kita akan terkejut sendiri dengan betapa mahirnya kita akan satu atau beberapa hal, di akhir tahun. Ini jauh lebih berharga daripada Tunjangan Hari Raya (THR) atau bonus performa.
- Fokuslah untuk terus membangun jati diri (Personal Brand), kompetensi utama, kompetensi pendukung, jejaring sosial & hubungan baik yang solid dengan banyak orang, kemampuan wirausaha & bisnis, dan kemampuan kita untuk lincah beradaptasi dengan berbagai perubahan.
Akhir kata… marilah kita terus berdoa, agar kehidupan ini bisa kita jalani dengan sebaik-baiknya; betapa pun sulitnya kondisi kehidupan pribadi yang kita hadapi saat ini.
Setelah berdoa, saya yakin rekan-rekan akan lebih siap menghadapi betapa gak menentunya realitas masa depan…
Bahwa suatu saat… mana tau, di kantor kalian akan duduk HR Manager, GM HR, atau HR Director bercitarasa Steak, Kari, CapCay, Teriyaki, Kimchi, atau Nasi Lemak…
By Peter Febian > https://www.linkedin.com/in/peter-febian-183a6b52/
By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.
DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI
Perbesar Peluang Karir dan Kerja
“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”