Media Sosial Pembawa Sengsara?

Tak bisa dipungkiri, media sosial adalah teknologi yang mampu mengakumulasi beragam informasi yang pernah ada sepanjang sejarah umat manusia dalam format yang begitu ringkas dan sederhana. Media sosial membuat kita bisa mengakses informasi tentang kehidupan dan masalah orang lain hingga membuat kita seolah ikut merasakan langsung pengalaman itu. Siapapun orang itu—kerabat, teman kerja, selebritis, politisi, hingga presiden—they’re just one click away.

Akibatnya, konsep “life streaming” dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Kegiatan memonitor aktivitas orang lain menjadi hal yang wajar. Kita mengikuti aktivitas orang itu lewat Facebook, Twitter, Path, Instagram, dan sebagainya. Monitoring of oneself and others thus becomes an expected normative part of this social interaction. Sampai-sampai, ketika seseorang yang kita “follow” di media sosial keluar dari pola aktivitas normalnya, kita bisa protes.

Kebiasaan “voyeurism” semacam ini sebenarnya bukan barang baru. Majalah dan tabloid gosip sudah beredar sejak puluhan tahun lalu. Acara-acara “reality show” di televisi juga sudah banyak menghiasi layar kaca. Begitu pula dengan tayangan infotainment yang makin banyak ragamnya. Ratingnya juga selalu tinggi. Kalau acara yang satu sudah mulai terlihat saturated, acara yang lain sudah siap menggantikan. Barangkali mengintip itu memang perbuatan yang menyenangkan.

Media sosial sangat membantu kita memfasilitasi kegiatan mengintip ini. Sebelum adanya media sosial, mengintip seseorang cuma bisa dilakukan dengan mengendap-endap masuk ke kamar pribadinya. Makin “direct” perbuatan mengintip itu dilakukan, biasanya makin dianggap ilegal. Media sosial kini membuat seseorang terbuka untuk diintip—mari kita sebut saja kegiatan ini dengan istilah “voluntary voyeurism” atau “permitted voyeurism”. Media sosial membuat perbuatan mengintip menjadi sesuatu yang tak hanya lebih mudah dan lebih cepat, tetapi juga legal.

Berapa kali Anda mengintip profil mantan pacar di Facebook? Berapa kali Anda melihat Twitter hanya untuk mengetahui apa yang sedang ia lakukan? Berapa kali Anda membuka-buka koleksi foto Instagram-nya? Pernahkah Anda berkenalan dengan seseorang yang menarik menurut Anda, lalu Anda search di Google untuk menemukan profil lebih detil tentangnya? Sebelum adanya media sosial, mungkinkah semua itu terjadi?

Dari kacamata si pengintip, media sosial memang bisa membawa sengsara. Pengintip akan selalu merasa takut ketinggalan berita, fear being left out. Tak peduli berapa banyak waktu yang sudah si pengintip habiskan di media sosial, akan selalu ada satu video baru yang mengundang untuk dilihat, satu artikel baru yang rasanya perlu dibaca, satu akun baru yang wajib di-follow, satu foto yang nampaknya harus di-like, dan seterusnya. Dalam tahap yang akut, bahkan smartphone yang berada dalam kondisi nonaktif pun punya kekuatan untuk “mengundang.”

Dalam konteks ini, media sosial akan selalu menang. Sebagai pengintip, Anda tak bisa terus menerus melakukan itu semua karena hal itu justru akan membuat hidup Anda tidak produktif dan tidak sustainable. Yang bisa Anda lakukan hanyalah membuat kontrol diri. If the content doesn’t feel rewarding in the long run, don’t consume it. Media sosial sudah menghabiskan banyak waktu dan pikiran Anda. Kalau Anda bisa mengendalikan diri, Anda akan punya sense of self-accomplishment yang membuat kontrol diri Anda makin kuat.

Tapi dari kacamata orang yang diintip, media sosial sesungguhnya bisa memberi banyak keuntungan. Titik balik Raditya Dika, misalnya, berawal ketika ia menulis kehidupan pribadinya semasa kuliah di Australia dengan gaya bahasa yang jenaka. Blog pribadinya yang berjudul “Kambing Jantan” itu kemudian ia bukukan, and the rest is history. Sama juga dengan Raisa Andriana. Empat tahun lalu, Raisa tak beda dengan remaja kebanyakan yang menyanyikan lagu-lagu orang lain lalu mengunggahnya di Youtube. Tahun 2011 major label menariknya dan 2012 ia sudah meraih banyak nominasi award.

Kuncinya sederhana: be an exhibitionist and build something that is entertaining. Menjadi exhibitionist bukan berarti Anda berlari di jalanan dengan telanjang. Menjadi exhibitionist adalah membelah diri Anda menjadi kepingan-kepingan kecil, lalu mengemasnya dalam boks dengan kertas kado dan pita yang menarik. Menjadi entertaining juga tak harus pandai menulis dan punya selera humor yang tinggi seperti Raditya Dika atau punya paras cantik dan suara indah seperti Raisa. Agus Mulyadi menjadi entertaining hanya karena piawai menertawakan dirinya sendiri.

Ambil sebagian dari diri Anda: bagian paling baik, bagian paling hebat, bagian paling konyol, atau bagian yang paling memalukan. Bagilah kepada orang banyak dan biarkan orang lain mengintip kehidupan Anda. Ijinkan mereka melihat masa lalu Anda, mengambil foto Anda, membaca pemikiran Anda, menonton video Anda, menyimak perjalanan hidup Anda. Karena pada akhirnya, media sosial adalah tentang diri Anda sendiri, bukan tentang orang lain. Mengutip Katy Perry, “You just gotta ignite the light and let it shine”.

Biarkan diri Anda bersinar supaya semua orang ingin mengintip Anda.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”