“Follow Your Passion” itu Berbahaya

Banyak pembicara/penulis/motivator yang mengusung jargon “follow your passion”. Anda ingin melanjutkan kuliah tapi bingung memilih jurusan? Follow your passion! Anda ingin berbisnis, tapi masih bingung menentukan bidang bisnis yang ingin digeluti? Follow your passion! Terlihat sederhana dan seolah bisa menyelesaikan masalah bukan? Tapi ada kalanya “follow your passion” itu justru bisa berbahaya. Mengapa begitu?

Pertama, tidak selalu passion kita marketable dan menghasilkan uang. Saya suka menulis, tapi silakan cek daftar orang terkaya di Indonesia. Silakan cek penulis buku-buku best-seller di Indonesia. Saya berani bertaruh bahwa main income mereka yang terbesar bukan dari royalti buku. Saya juga suka bermain golf, tapi populasi pemain golf di dunia hanya 1%. Di Indonesia, para pegolf muda berbakat saja kesulitan mendapatkan sponsorship, apalagi amatiran seperti saya.

Sebagian dari Anda mungkin sama seperti saya—punya passion yang kebetulan tidak seksi dan marketable. Pada awalnya mengikuti passion itu menyenangkan, tapi lama-lama terpaksa gugur juga karena tuntutan keadaan. Akibatnya, passion itu terpaksa harus dipinggirkan dan memilih jalan hidup yang konvensional. Hidup jadi membosankan dan tak punya banyak pilihan. Golf terpaksa ditinggalkan demi melamar jadi PNS. Obsesi menulis novel hanya sebatas mimpi karena terlalu lelah dengan pekerjaan.

Kedua, mengerjakan passion demi kesenangan itu berbeda dengan mengerjakan passion karena tuntutan. Saya enjoy bermain golf karena bisa melepas stres dan penat di pekerjaan. Saya senang menikmati lapangan hijau yang terbuka sekaligus mendapat kenalan baru. Tapi semua itu menjadi berbeda ketika saya dituntut harus membuat skor serendah-rendahnya. Setiap pukulan yang pada awalnya saya nikmati berubah menjadi penderitaan ketika saya harus berlatih serius berjam-jam setiap harinya demi memenangkan pertandingan. Badan pegal-pegal, tangan penuh lecet, nyeri dimana-mana.

Saya juga suka menulis dan menuangkan pikiran saya. Saya senang ketika tulisan saya dinikmati atau bahkan bisa bermanfaat buat orang lain. Saya merasa puas ketika buku saya ada di rak-rak toko buku. Tapi menjadi berbeda ketika saya diminta harus menyerahkan 10.000 kata dalam satu hari atau dituntut untuk mengirimkan draft naskah buku dalam satu bulan. Ide-ide saya mendadak jadi buntu. Tulisan saya menjadi tidak mengalir dan sulit dibaca. Boro-boro menyenangkan hati, passion yang semula begitu saya cintai berubah menjadi sesuatu yang sangat saya benci.

Maybe this mindset works for some and maybe not for others, but bear with me: Bagi saya, “follow your passion” dan “making a living” adalah dua hal yang berbeda dan tak boleh dicampur aduk begitu saja. “Follow your passion” adalah tentang diri sendiri, tentang cinta, dan tentang subjektivitas. Sebaliknya, “making a living” adalah tentang orang banyak (market), tentang realita, dan tentang objektivitas.

Bagaimana “follow your passion” yang benar? Find something you love. Once you feel what passion to follow, don’t think about the outcome. Kalau Anda punya passion bermain golf, bermainlah dengan sepenuh jiwa raga. Seandainya Anda memenangkan turnamen atau mendapat hole-in-one, anggap itu sebagai bonus. Kalau Anda punya passion menulis, maka menulislah tanpa memikirkan berapa royalti buku Anda kelak. Seandainya tulisan Anda terbit dan menjadi best-seller, anggap itu sebagai bonus.

Bagaimana “making a living” yang benar? Find opportunities around you. Find out what skills you have and what value you have to offer the world, and do that. Anda bingung menentukan jurusan kuliah? Lihat sekeliling Anda. Cari jurusan yang sekiranya akan membuka banyak opportunity ke depan. Bingung memilih bidang bisnis? Lihat sekeliling Anda. Apa yang sekiranya bisa dijual? Kalau sudah, bangun skill Anda, add value to others, meet new people, find challenges, and create opportunities supaya bisa menjadi yang terbaik to offer to the world.

Sebagai seorang visioner di masanya, passion Steve Jobs bukanlah bisnis atau teknologi. Passion Steve Jobs adalah Budha. Sebelum mendirikan Apple, ia melakoni perjalanan spiritual ke India. Steve menjadi seorang vegetarian dan tetap menjalani ritual sampai akhir hidupnya. Kalau Steve Jobs hanya mengikuti “follow your passion“, mungkin ia akan kita kenal sebagai seorang biksu.

Justin Timberlake, walaupun berprofesi sebagai artis, ternyata punya passion bermain golf. Justin sering mengikuti turnamen amatir dan punya handicap 4.8. Angka tersebut sangat bagus untuk ukuran non-profesional, apalagi beberapa tahun sebelumnya handicap Justin Timberlake masih di angka 6.

Jimmy Walker, pegolf profesional yang memenangkan AT&T Pebble Beach National Pro-Am, punya passion sebagai seorang astrophotographer. Ia punya teleskop canggih di rumahnya dan suka menghabiskan berjam-jam mengamati bintang-bintang. Foto-foto hasil karyanya juga luar biasa.

Orang-orang tersebut di atas adalah para profesional di bidangnya, sangat mumpuni, and they have something to offer to the world. Mereka juga punya kehidupan yang menarik dengan pencapaian yang hebat di luar bidangnya masing-masing. Kehidupan profesional mereka penuh prestasi, tapi kehidupan personal mereka juga penuh warna.

Kuncinya sederhana, mereka menjalani “follow your passion” dan “making a living” dengan benar.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


1 thought on ““Follow Your Passion” itu Berbahaya”

  1. Pingback: Enam Tahun Penantian | Blog eTraining Indonesia

Comments are closed.