Syndrome “Bahasa Dewa”

Kisah ini terjadi saat saya masih berstatus mahasiswa. Waktu itu ada semacam “kuliah tamu” yang dilaksanakan di gedung rektorat ITS Surabaya lantai 2. Formatnya seminar-dialog dengan 2 narasumber yang berlatar belakang dunia hukum.

Agak aneh memang, kuliah tamu di kampus yang identik dengan teknologi menghadirkan ahli hukum sebagai narasumber. Tapi biarlah, lha wong tujuan pertama saya ikut kuliah umum, karena di utus sebagai perwakilan organisasi mahasiswa.

Sedangkan tujuan utama-nya adalah, karena setelah acara berakhir, peserta mendapatkan makan prasmanan. Sebagai salah satu mahasiswa berkantong cekak, ini adalah kesempatan emas yang tak boleh disia-siakan.

Terus terang, saya lupa nama kedua narasumber tersebut. Namun saya masih ingat bahwa salah seorang diantaranya merupakan mantan anggota dewan yang telah menjabat selama 2 periode.

Sedangkan satunya lagi adalah calon ketua MA. Setidaknya isu-nya begitu, mengingat kedekatannya dengan “pemilik” parpol berlogo “moncong putih”. (Sekarang beliau jadi menteri di kabinet kerja Jokowi)

Acara tersebut di moderatori oleh Prof Daniel M. Rosyid. Salah satu pakar kelautan dan perkapalan terkemuka di Indonesia. Singkat cerita, dimulailah kuliah tamu tersebut dengan presentasi pertama oleh calon ketua MA.

Dari sekitar 30 menit waktu yang diberikan, sang calon ketua MA hanya menghabiskan setengahnya. Penjelasannya runtut, singkat, padat, dan jelas. Tak ada istilah hukum aneh-aneh yang terlontar dari mulutnya.

Peserta kuliah umum, yang kebanyakan adalah dosen dengan gelar berderet maupun aktivis mahasiswa (yang kuliahnya tidak kunjung lulus), nampak manggut-manggut. Pertanda mengerti isi presentasi.

Prof Daniel sebagai moderator pun memberikan kesempatan pada pembicara kedua, si mantan anggota dewan, untuk memulai presentasinya. Tak disangka, pembicara tersebut mengeluarkan berlembar-lembar naskah presentasi dari balik jas-nya. Ini pertanda buruk! Kalau presentasinya lama, makan siang saya bakal tertunda.

Namun yang terjadi justru lebih buruk lagi. Presentasinya banyak menggunakan istilah hukum yang tak umum. Ada juga kutipan dalam bahasa inggris dan belanda. Yang lebih parah, tata bahasanya itu lho. Rumit bin njelimet. Mirip teks terjemahan hasil Google Translate!

Nampaknya pembicara satu ini ingin menunjukkan keahlian dan kepakarannya. Atau mungkin juga ingin memberitahu kami, bahwa ilmu yang dimilikinya itu sangat sulit dipelajari. Atau jangan-jangan, dia memang tidak mampu menjelaskan secara sederhana?

Saya menyebut hal ini sebagai syndrome “bahasa dewa”. Dimana gejala utamanya berupa penyampaian informasi secara rumit dan bertele-tele untuk menunjukkan kepintaran atau menyembunyikan ketidak-mengertian.

Prof Daniel, sebagai moderator, tetap mendengarkan presentasi tersebut dengan seksama. Namun, saya lihat dahinya semakin lama semakin berkerut. Hingga akhirnya beliau pun tidak tahan, lalu nyelutuk “Pak, saya sama sekali tidak paham apa yang Anda bicarakan”.

Kejadian seperti ini bukan yang terakhir saya alami. Juga tidak hanya sekali-duakali. Sering sekali saya mendapatkan presentasi atau penjelasan yang menggunakan “bahasa dewa” seperti ini.

Menariknya, mayoritas pengguna “bahasa dewa” yang saya temui, bukan berasal dari golongan berpendidikan rendah. Mereka yang memiliki titel berderet justru lebih sering terpergok menggunakannya. Entah mengapa..?

Padahal, Albert Einstein, yang konon disebut sebagai manusia paling pintar se-jagad pernah berkata: “If you can’t explain it simply, you don’t understand it well enough” (jika Anda tidak mampu menjelaskannya secara sederhana, maka Anda masih belum memahaminya).


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”