General Management

10 Cara Upgrade Kualitas

Salah satu kunci sukses berkarier adalah jangan pernah membiarkan diri stagnan. Anda harus punya motivasi dan keyakinan dan untuk maju. Namun, tak cuma motivasi Anda juga harus punya skill untuk memadai. Ini tak hanya didiamkan begitu saja, Anda harus mengatur dan meningkatkan kemampuan Anda secara efektif. Upgrade kemampuan atau skill akan membuka kesempatan lebih besar untuk meraih posisi puncak, juga akan menjaga Anda terdepak akibat persaingan di kantor.

Intinya, jangan cepat puas dan carilah cara untuk meningkatkan kualitas profesionalisme. Tak ada yang akan menikmati hasulnya selain diri sendiri, kok. Nah, berikut adalah beberapa trik untuk upgrade skill Anda:

1. Nilailah diri sendiri

Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya Anda mengawalinya dengan menilai kinerja diri. Penilaian harus obyektif dan realistis. Jika Anda merasa kinerja Anda belum maksimal, nilailah seperti itu. Ambillah kertas, kemudian tuliskan poin-poin tugas apa saja yang Anda hadapi di kantor. Lalu, tanyakan pada diri Anda, seberapa jauh mampu menangani poin-poin tersebut.

Misalnya, jika Anda seorang supervisor IT, tanyakan seberapa cepat Anda mampu mengikuti perkembangan teknologi yang ada saat ini? Tanyakah juga apakah Anda menikmati tugas-tugas tersebut. Daftar singkat ini akan membantu Anda memperoleh gambaran utuh mengenai kinerja Anda sendiri. Setelah diperoleh gambaran utuh, Anda bisa memutuskan aspek mana yang sudah Anda kuasai, dan aspek mana yang perlu ditingkatkan.

2. Terus belajar

Pahamilah bahwa karier profesional merupakan sebuah proses di mana Anda memiliki kesempatan untuk mengikutinya terus menerus. Jadi, gunakan kesempatan ini untuk menguasai kemampuan profesional. Kerjakan semua tugas dengan sebaik-baiknya, ikuti aturannya, cari tahu kelebihan dan kelemahan proses yang Anda ikuti, dan seterusnya. Dengan demikian, Anda akan mampu menjalankan semua tugas Anda dengan baik, saat ini dan di masa datang.

3. Be responsible

Meskipun berada dalam naungan sebuah perusahaan, Anda yang akan menentukan karier. Jadi, bertanggungjawablah dan pastikan bahwa Anda mengambil semua peluang untuk meningkatkan skill profesional Anda. Memperoleh tawaran untuk mengikuti training, seminar, atau keanggotaan sebuah asosiasi profesional? Tak perlu ragu untuk ikut dan bergabung karena skill pun akan semakin jaya.

4. Jaga kinerja

Selain bertanggungjawab, Anda juga harus menerapkan standar pribadi di dalam mengerjakan tugas profesional Anda. Standar inilah yang akan menentukan kualitas kerja. Di sisi lain, kinerja inilah yang akan menjadi dasar kenaikan jabatan atau promosi. Jadi, jangan segan bertanya kepada atasan. Jika memang merasa perlu, mintalah job atau tugas baru yang menurut Anda menantang. Namun, jangan asal meminta penugasan. Ukur kemampuan dan yakin bahwa Anda memang mampu menerima tugas.

5. Jaga hubungan kerja

Meski tampaknya tak terkait langsung dengan skill, menjaga hubungan kerja dengan semua level merupakan salah satu strategi penting untuk mengembangkan kemampuan. Berusahalah agar mampu bekerja dalam tim secara efektif. Gunakan semua contoh dan teori profesional yang Anda punya untuk meningkatkan kinerja. Jika memungkinkan, jadikan diri Anda sebagai salah satu contoh bagi rekan kerja.

6. Ciptakan jaringan

Sisihkan dulu urusan kantor. Kini, saatnya untuk bersosialisasi dan menciptakan jaringan di luar kantor. Anda bisa bergabung dengan komunitas profesional di luar posisi karier, namun tetapi bisa meningkatkan kualitas kinerja Anda. Contohnya, jika Anda seorang akuntan, tak ada salahnya bergabung dengan komunitas bursa. Yakinlah, ilmu dan jaringan yang Anda peroleh dan bina di komunitas itu akan sangat membantu karier di kemudian hari.

7. Carilah mentor

Cara terbaik menguasai sebuah bidang adalah belajar dari ahlinya. Jadi, jangan ragu untuk mencari mentor atau guru. Tentu, bukan dalam arti harfiah. Anda bisa, kok, misalnya “berguru” kepada penulis favorit Anda melalui buku-buku karyanya. Secara tak langsung, Anda akan menguasai ilmu Sang Ahli tersebut dan kemudian Anda terapkan dalam tugas sehari-hari. Tapi, bisa juga Anda langsung meminta petunjuk dari ahli yang Anda kenal.

Yang penting, Anda yakin bahwa “guru” Anda ini memang ahli dan sudah memiliki pengalaman di bidangnya. Kalau perlu, carilah mentor sebanyak-banyaknya. Semakin banyak mentor, semakin banyak ilmu yang bisa diserap, sehingga ketika dihadapkan pada suatu persoalan kerja, Anda memiliki banyak solusinya.

8. Siapkan masa depan

Selalulah bertanya, “Apa yang akan terjadi besok? Bagaimana mengatasinya?” Salah satu ciri pemenang adalah selalu selangkah di depan lebih dulu ketimbang kompetitornya. Ketika kompetitor tengah asyik bergulat dengan persoalan hari ini, Anda sudah mencari solusi untuk persoalan yang muncul esok hari. Cobalah berlatih membiasakan diri untuk berada selangkah di depan. Dijamin, Anda akan menikmati hasilnya lebih cepat dari yang Anda perkirakan.

9. Asah terus skill Anda

Dewasa ini banyak sekali tawaran pelatihan atau kursus singkat untuk semua bidang profesi, dari mulai pelatihan soal keuangan perusahaan, pelatihan program komputer, pelatihan leadership, dan sebagainya. Nah, seperti halnya poin ke-2 di atas, jangan ragu untuk mengikuti pelatihan-pelatihan, sekalipun tak berkait langsung dengan posisi Anda. Jangan takut untuk mengikuti tes uji kemampuan. Biasanya ketakutan dan keraguan muncul ketika Anda belum melangkah. Begitu melangkah, Anda pasti mampu mengatasi keragu-raguan tadi dengan segera. Pengayaan skill ini sudah pasti akan menjadi poin tersendiri dalam menjalani karier Anda.

Kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.

10. Jangan lupakan teknologi

Ada banyak sekali situs atau jaringan sosial yang bisa Anda buka dan membantu meningkatkan skill Anda. Cara paling mudah adalah mencarinya di Google. Anda juga bisa bergabung dengan komunitas-komunitas di Facebook atau Twitter. Jika Anda tertarik untuk meningkatkan kemampuan negosiasi, Anda bisa misalnya, “berteman” dengan jago marketing, jika Anda berniat mempelajari program komputer, Anda bisa bergabung dengan komunitas programmer komputer, dan sebagainya.

(Hasto Prianggoro/Tabloid Nova)


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Sales dan Tukang Tipu

Di masyarakat kita, sales adalah profesi yang citranya kurang baik. Mereka dianggap tukang membual, cenderung annoying, tak jarang suka tipu-tipu agar barangnya laku dan dapat komisi. Untuk menjadi sales juga biasanya tidak memerlukan pendidikan/pelatihan khusus sehingga dianggap profesi rendahan. Sales berbeda dengan profesi seperti dokter, lawyer, akuntan, atau profesi lain yang membutuhkan pendidikan tertentu.

Tapi, Robert Louis Stevenson pernah mengatakan bahwa, “Everyone lives by selling something.“ Seorang pebisnis hidup dengan menjual produk/jasa yang dihasilkannya. Seorang atlet olahraga hidup dengan menjual bakat fisik yang dimilikinya. Seorang musisi hidup dengan jualan bakat seni yang dia miliki. Seorang pemimpin hidup dengan menjual ide, perubahan, contoh, dan pengaruh yang dimilikinya.

Begitu juga dengan kita, saya, dan Anda. Ketika melamar pekerjaan, Anda juga menjual diri Anda kepada instansi yang Anda tuju. Ketika mendekati lawan jenis Anda, Anda juga mengemas dan me-marketing-kan diri Anda kepada si dia.

Supaya jualan Anda laku, sudah tentu Anda harus berinovasi terhadap produk/jasa yang Anda tawarkan. Kalau Anda hendak melamar pekerjaan, maka Anda perlu memperkuat diri dengan kemampuan bahasa asing atau kemampuan menggunakan komputer misalnya. Kalau Anda hendak mendapatkan cinta dari lawan jenis, Anda perlu memperbaiki penampilan dan pembawaan Anda.

Tapi itu saja tidaklah cukup. Di jaman yang serba kompetitif seperti sekarang, siapapun bisa melakukan hal-hal seperti yang Anda lakukan. Kalau Anda bisa menguasai lima bahasa asing, orang lain pun juga bisa belajar hal yang sama. Kalau Anda bisa merubah penampilan menjadi lebih baik, orang lain pun juga bisa pergi ke salon dan melakukan hal serupa.

Jadi, yang perlu dilakukan adalah bagaimana menyampaikan pesan secara lebih fascinating. Fascination adalah kata kunci untuk membuat koneksi terhadap orang lain. Hal inilah yang membuat orang lain berpikiran dan berperilaku secara berbeda. Fascination memberikan efek provokasi terhadap calon customer Anda.

Pesan yang disampaikan secara fascinating, akan memberikan reaksi emosional yang kuat dan segera. Hal itu menimbulkan advokasi yang mempengaruhi sejumlah tindakan dan nilai yang dianut seseorang. Hal tersebut akan mendorong munculnya percakapan, memaksa kompetitor untuk berbenah menyesuaikan diri, dan memicu lahirnya revolusi sosial yang akan memaksa kita untuk berpikir secara berbeda.

Sally Hogshead memberikan tujuh hal pemicu yang mampu menggerakkan fascination seseorang.

  • Lust – Manusia tergoda dan termotivasi oleh antisipasi terhadap sensor-sensor kesenangan kita.
  • Mystique – Munculnya rasa penasaran terhadap pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.
  • Alarm – Manusia mengambil tindakan akibat ancaman terhadap konsekuensi yang sifatnya negatif.
  • Prestige – Manusia tergerak untuk mendapatkan respect karena pencapaian mereka yang tinggi.
  • Power – Kita berfokus pada komando dan kontrol. Trigger ini dapat memperkuat reputasi kita.
  • Vice – Manusia tergoda oleh “buah terlarang,” membuat mereka berani mendobrak pakem baku yang sudah ada.
  • Trust – Berkaitan dengan certainty dan reliability. Membuat lawan bicara Anda merasa loyal dan terbuka untuk hubungan jangka-panjang.

Tentu saja setiap orang mempunyai fascination score yang berbeda. Mungkin saja Anda dominan pada faktor power, tetapi orang lain lebih dominan pada faktor prestige. Ada pula orang lain yang lebih cenderung kuat pada faktor trust, ada pula orang yang lebih cenderung pada faktor yang lain.

Faktor yang satu tidak selalu lebih baik atau lebih buruk dari faktor yang lain. Yang terpenting adalah bagaimana membuat pesan yang ingin Anda sampaikan menjadi lebih fascinating. Dus, yang perlu Anda lakukan adalah mengidentifikasi mana faktor yang dominan dalam diri Anda, mana faktor yang dominan dalam diri lawan Anda, bagaimana mengembangkannya, dan mengeksekusinya kepada calon target secara tepat.

Sebagai contoh, memberikan gambaran kecelakaan untuk anak muda yang suka ngebut dan mabuk tidak akan memberi efek jera karena ketakutan (alarm) bukan merupakan faktor yang berpengaruh bagi mereka. Sebaliknya, anak muda malah cenderung berani melakukan hal-hal yang menyerempet bahaya. Akan tetapi dengan memberikan faktor lain, seperti ancaman kehilangan SIM dan ancaman masuk penjara, akan memberikan konsekuensi yang berbeda.

Disadari atau tidak, Anda mungkin sudah menggunakan salah satu dari ketujuh trigger tersebut di atas. Masalahnya adalah apakah Anda sudah menggunakan trigger yang tepat, dengan cara yang benar, dan mendapatkan hasil yang didambakan atau belum. Dengan menguasai hal tersebut, ide-ide Anda akan lebih memorable, tutur kata Anda akan lebih persuasif, dan hubungan yang Anda jalin akan menjadi jauh lebih intim dan tahan lama.

Dan sesungguhnya hal ini tak hanya bisa diterapkan untuk urusan bisnis saja.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Menunda Kesenangan Sesaat

Di semester awal kuliah saya dahulu, salah seorang dosen saya pernah berujar, “Mereka yang sukses adalah mereka yang bisa menunda kesenangan sesaat.” Sebagai bocah yang baru lulus SMA dan mencoba memahami dunia perkuliahan, kata-kata itu agak sulit untuk saya pahami waktu itu. Yang bisa saya lakukan cuma mencatat dan membacanya sambil berusaha menemukan maksud kata-kata tersebut.

Namun, seiring berjalannya waktu, barulah saya sadar bahwa sesungguhnya good things come to those who wait. Ini sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran. Makin sedikit yang tersedia, makin besar pula usaha kita untuk mendapatkannya, dan ketika kita mendapatkannya, kepuasan yang kita peroleh juga akan makin tinggi pula. The rarer something is, and the more we hold off on getting what we want, the greater the pleasure and pay-off when we finally do.

Ambil contoh sebuah bisnis. Mereka yang mendapatkan bagian paling duluan adalah pegawai borongan yang harus dibayar secara harian. Setelah pegawai borongan, yang mendapat bagian adalah karyawan tetap dalam bentuk gaji akhir bulan. Selain pegawai atau karyawan, supplier adalah mereka yang dibayar duluan karena barang-barang yang dibeli harus segera dilunasi. Nah, kalau masih ada uang tersisa, barulah uang itu jadi bagian si pemilik bisnis.

Siapa yang paling lama menunda kesenangannya? Pemilik bisnis. Siapa yang berusaha paling keras? Pemilik bisnis. Siapa yang mendapatkan keuntungan dan pay-off paling besar? Pemilik bisnis juga.

Faktanya, kita sekarang hidup dalam dunia yang penuh kesenangan sesaat. Instant gratification.

Butuh makan? Banyak tuh makanan/minuman instan. Tinggal di seduh air panas atau dipanaskan dalam microwave, langsung bisa dinikmati. Kalau masih malas, di sekitar Anda pasti banyak penjual fast food yang bisa memuaskan rasa lapar Anda dalam tempo singkat.

Pengen tampak lebih langsing dan lebih cantik/tampan? Anda bisa menjumpai banyak produk pil/tablet/obat untuk merampingkan badan. Banyak juga yang jual alat-alat yang (katanya) bisa membakar lemak secara instan. Kalau uang berlebih, Anda bisa pakai jasa dokter untuk sedot lemak atau bahkan operasi plastik.

Mau jadi artis? Anda bisa ikutan kontes idola cilik, idola remaja, bahkan idola orang dewasa. Mulai dari kontes menyanyi, berjoget, sampai kontes memasak. Semua dilakukan supaya Anda bisa diorbitkan jadi artis dalam tempo singkat.

Atau Anda pengen cepat kaya? Banyak juga tuh program-program yang menawarkan cara cepat jadi kaya. Tanpa keluar modal. Tanpa perlu menjual produk. Tak usah repot-repot cari member dan menjual prospek. Tanpa perlu kerja keras.

Lingkungan kita memang “memaksa” kita untuk larut terjebak dalam situasi ini. Tapi apa iya kita harus ikut-ikutan juga?

Padahal, menunda kesenangan itu sebenarnya banyak manfaatnya. Salah satunya membuat kita terdorong untuk mendapatkan hanya apa yang benar-benar kita butuhkan. Saya pernah berpikir untuk membeli laptop baru. Saat itu, MacBook Air 11″ baru saja dirilis di pasaran. Tapi saya memutuskan untuk menunda sampai 2 bulan berlalu. Ketika 2 bulan lewat, saya sadar bahwa MacBook lama saya masih berfungsi dengan baik dan masih mampu memenuhi kebutuhan saya.

Menunda kesenangan juga membuat kita lebih hati-hati dalam menggunakan apa yang kita miliki. Bayangkan kita menabung dengan susah payah demi membeli sebuah mobil baru. Begitu Anda mendapatkan cukup uang untuk membeli mobil tersebut, pastilah Anda akan merawatnya dengan hati-hati. If we feel like we’ve earned something, we don’t want to let that work go to waste.

Hal ini berbeda dengan ketika kita melakukan impulsive buying. Tergiur dengan kesenangan sesaat, kita enjoy saja mengeluarkan uang untuk mendapatkan barang tersebut—barang yang tidak benar-benar kita butuhkan. Lebih parah lagi, barang tersebut dibeli dengan utang (kartu kredit). Tak berapa lama, akhirnya muncul “rasa bersalah” dan “penyesalan” dalam diri kita gara-gara pembelian impulsif tersebut.

Dalam konteks perencanaan keuangan, menunda kesenangan sesaat ini erat kaitannya dengan disiplin dan kontrol diri. Idealnya, kita membatasi apa yang benar-benar kita belanjakan menurut kebutuhan kita, bukan menurut keinginan kita. Sementara kelebihan dana yang kita punya, bisa dimanfaatkan untuk investasi di masa depan. Pendek kata, kita menunda kesenangan menikmati uang di hari ini supaya kita bisa hidup enak di masa depan.

Hal ini juga bisa diaplikasikan dalam pekerjaan. Ketika kita diberikan tanggung jawab tertentu, bisa saja kita memilih untuk mengambil jalan pintas demi mendapatkan imbalan kesenangan sesaat. Tapi siapa bisa jamin bahwa jalan pintas tersebut bukan malah menjerumuskan Anda ke penjara? Sama juga dalam hal keartisan. Nggak ada rumusnya artis jebolan kontes idola yang digodog secara instan mampu mengungguli artis yang ditempa di kawah Candradimuka tahunan. It’s all about the journey, not the destination.

Soal urusan perut juga sama. Ibadah puasa mengajari kita untuk menunda kesenangan menikmati makanan dan minuman kesukaan kita. Selain berguna buat kesehatan, kita juga terdorong untuk lebih merasa bersyukur dan terberkati ketika akhirnya bisa menikmati makanan dan minuman tersebut. Saya sendiri membagi hari makan saya dalam seminggu menjadi vegetarian day dan free day. Badan saya terasa lebih sehat, saya pun merasa lebih nikmat ketika bisa menyantap makanan di hari free day.

Bahkan dalam urusan seks. Penelitian menunjukkan bahwa pasangan yang tidak melakukan hubungan seks pranikah biasanya cenderung lebih long lasting daripada pasangan yang sudah melakukan hubungan seks pranikah. Menghindari hubungan seksual sebelum pernikahan membuat pasangan saling membangun antisipasi dan excitement akan malam pertama. Hal itu akan membuat malam pertama (atau bulan madu) secara psikologis menjadi lebih bermakna. The longer you put sex off, the sweeter it is when consummated.

Jadi, disiplinkan diri Anda dan kendalikan diri Anda untuk menunda kesenangan sesaat. Dengan menunda kesenangan hari ini, Anda bisa menikmati dan menjalani hidup dengan lebih bahagia dan menyenangkan. Delay your gratification. Increase your pleasure and happiness.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Hidup dalam Fantasi

Beberapa tahun belakangan, kita dibombardir dengan sejumlah produk baru seperti Nokia Lumia, Microsoft Surface, hingga iPhone 5. Berlomba-lomba mereka mengisi papan-papan iklan di seluruh penjuru kota demi menarik perhatian kita.

Entah bagaimana para produsen itu mengemasnya, tapi sungguh, apa yang mereka iklankan membuat kita benar-benar terbius dalam fantasi yang begitu indah.

Ambil contoh iPhone 5 terbaru. Produk ini membuat kita berfantasi seakan-akan ia bisa membuat hidup kita lebih baik, membuat kita terlihat lebih keren, dan anti-mainstream.

Bentuknya begitu tipis dan seksi. Warnanya, hitam atau putih, keduanya sama-sama terlihat sangat elegan. Layar touchscreen lebih lebar, kameranya juga lebih baik, ditambah lagi dengan personal assistant yang cerdas. Siapa yang tak tergoda?

Tapi mari kita coba mundur sejenak beberapa tahun ke belakang. Hidup sebelum ada iPhone 5 (atau bahkan sebelum ada ponsel) sebenarnya tidaklah terlalu buruk. Kita masih bisa survive tanpa harus setiap detik melihat update status Facebook dan timeline Twitter.

Kita tak pernah mengecek email sampai nanti tiba di kantor. Kita mungkin tak bisa mencari restoran mana yang terdekat dengan posisi kita, tapi toh kita masih bisa makan. Life was good.

Apakah benar produk-produk itu akan membuat fantasi kita menjadi nyata? Lima tahun lalu iPhone belum ada. Dan hidup kita baik-baik saja. Sepuluh tahun lalu ponsel masih jadi barang langka. Dan hidup kita juga baik-baik saja. Mengapa sekarang situasinya (seolah-olah) terlihat berbeda?

Dan celakanya, to some extent, produk-produk teknologi seperti itu sebenarnya justru menjadi distraction paling besar dalam hidup kita. Alih-alih membuat kita lebih produktif dan efisien, internet justru membuat kita jauh lebih “kepo” daripada sebelumnya.

Ingin tahu cuaca London hari ini? Klik. Ingin tahu harga saham AAPL pada penutupan sore tadi? Klik. Mau cari tempat makan middle eastern yang enak? Klik. Cari tahu apa itu Raspberry Pi? Ada Wikipedia. Penasaran ingin tahu siapa itu Aceng? Google aja. Abis nonton film, ada artis cakep tapi gak tau namanya? Cek IMDB. Tadi abis dikenalkan seorang teman, penasaran dia masih single atau nggak? Stalking saja di Facebook. 🙂

Rasa ingin tahu itu seringkali muncul dalam waktu beberapa detik dan harus segera dicari jawabannya segera. Saat itu juga.

Tapi pernahkah Anda mencoba untuk berhenti sejenak selama 30 menit atau satu jam misalnya? Biasanya rasa penasaran itu akan hilang dengan sendirinya. Toh urusan-urusan semacam itu biasanya bukan persoalan keamanan negara atau soal hidup mati seseorang. Why hurry?

Sepuluh-duapuluh tahun lalu, kalau ada “sesuatu” yang menarik perhatian kita, biasanya kita bisa menyalakan televisi dan berharap ada tayangan tentang itu. Atau, kita bisa pergi ke perpustakaan atau toko buku dan mencarinya di ensiklopedia. Atau, bisa juga kita tanyakan ke famili/kerabat yang dianggap lebih tahu. Tapi seringkali kita lupa begitu saja.

Barangkali “sesuatu” itu memang tak terlalu membutuhkan perhatian kita. Sometimes, not knowing everything is good.

Kadangkala produk-produk teknologi memang membuat kita hidup dalam fantasi. Tak jarang arus informasi yang begitu deras membuat kita ingin tahu segalanya. Dan menjadi orang yang pertama mengetahui segala sesuatunya adalah fantasi yang luar biasa hebatnya. Tapi kita lupa bahwa ada sesuatu di hadapan kita: realita.

Terlalu sering kita menghabiskan waktu demi mengejar fantasi kita. Beberapa fantasi itu menjadi nyata, tapi tak jarang fantasi itu ternyata tidak seperti apa yang kita fantasikan sebelumnya.

Ternyata mempunyai iPhone 5 tidak membuat hidup saya lebih keren. Ternyata menjadi orang pertama yang mengetahui cuaca, atau harga saham hari ini tak membuat saya lebih hebat.

And then I realise: I don’t really need the fantasy to be happy. Reality without fantasies is perfect. And sometimes, I’ll just let my mind wandering around in the dark. I know it’s seems strange. It’s different kind of life. But I’m happy.

I’m living in reality, not in a fantasy. What about you?


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Average vs. Extraordinary

No one will ever need more than 640KB of RAM.

Bill Gates

Cobalah Anda kunjungi Taman Kanak-kanak (TK) terdekat di sekitar Anda. Masuklah ke salah satu kelas dan tanyai mereka, “Anak-anak, siapa di antara kalian yang bisa bernyanyi?” Niscaya semua anak mengangkat tangannya dengan penuh semangat.

Sepuluh tahun kemudian, setelah mereka masuk ke SMU, cobalah ajukan pertanyaan yang sama. Berani jamin, tak lebih dari hitungan jari yang mengacungkan tangannya. Apa yang berbeda? Anak-anak di TK percaya mereka bisa bernyanyi because no one had told them otherwise.

Lord Kelvin, ilmuwan Inggris yang juga presiden British Royal Society, pernah berujar, “Heavier-than-air flying machines are impossible.” Astronom dan ahli matematika Simon Newcomb juga berkata serupa, “Flight by machines heavier than air is unpractical and insignificant, if not utterly impossible.

Dan bahkan Thomas Alva Edison juga berkomentar, “It is apparent to me that the possibilities of the aeroplane, which two or three years ago were thought to hold the solution to the [flying machine] problem, have been exhausted, and that we must turn elsewhere.

Orang-orang pintar tersebut mengatakan bahwa tidak mungkin ada benda (pesawat) yang bisa melayang dan diterbangkan manusia. Tapi, kendati seluruh dunia memandang Orville Wright dan Wilbur Wright tidak waras karena dianggap menentang hukum fisika (gravitasi), pada akhirnya mereka berdua berhasil membuktikan keyakinan mereka.

Walaupun cibiran itu datang dari orang “besar” seperti Edison, Newcomb, dan Kelvin, bukan berarti Wright bersaudara menjadi gentar. Justru sebaliknya, cibiran itu membuat Wright bersaudara makin bersemangat untuk membuktikan keyakinan mereka.

Apa yang bisa kita simpulkan dari sini?

Extraordinary results will require you to have extraordinary beliefs. Kita membutuhkan extraordinary beliefs karena makin “nyleneh” dan makin “tidak normal” gagasan kita menurut standar ukuran orang kebanyakan, maka makin tinggi pula effort yang harus kita keluarkan untuk melawan indoktrinasi dan tekanan sosial dari kiri-kanan kita.

Sebaliknya, kalau kita hanya mengikuti anjuran orang-orang kebanyakan, maka pencapaian yang akan kita peroleh juga seperti orang kebanyakan. Average beliefs will lead you to average results. As simple as that.

Dalam sebuah riwayat diceritakan, Luqman dan anaknya berniat menjual keledai di pasar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Luqman menaiki punggung keledai sementara anaknya berjalan menuntun keledai. Di perjalanan, orang-orang mencibir, “Dasar orang tua tak tahu diri, ia enak-enakan duduk di atas keledai sementara anaknya berjalan di padang pasir yang terik.”

Luqman dan anaknya lalu bertukar tempat. Luqman menuntun keledai sedangkan anaknya duduk di atas keledai. Di perjalanan, orang-orang mencibir lagi, “Anak durhaka, enak-enakan duduk di atas keledai sementara orang tuanya berjalan kaki.”

Sekarang Luqman dan anaknya sama-sama duduk di atas punggung keledai. Di perjalanan, orang lain berkomentar, “Dasar gila, tak punya rasa kasihan, hewan lemah begitu dinaiki dua orang sekaligus.”

Kemudian Luqman turun dan mencari sebatang kayu yang agak panjang. Diikatlah kaki keledai depan dan belakang, lalu mereka masukkan kayu di antara kaki keledai tadi untuk menggotong. Mereka melanjutkan perjalanan sambil menggotong keledai. Tak lama, orang mencibir, “Dasar gila, keledai hidup kok digotong seperti mati?”

Akhirnya mereka menurunkan keledai dan melepaskan ikatannya. Sekarang mereka berjalan bertiga: Luqman, anaknya, dan keledai. Tapi apa lacur. Seseorang yang mereka temui kemudian malah berkomentar, ”Dasar bapak dan anak sama bodoh dengan keledainya. Ada kendaraan kok tidak dinaiki?”

Itulah manusia, yang pada umumnya punya sifat sok tahu, namun juga bodoh, dan keras kepala. Dan lingkungan mengkondisikan demikian. Celaka sudah.

Most people are ordinary.

Kebanyakan orang biasa-biasa saja. Ikutilah omongan orang-orang di sekeliling Anda, maka Anda akan jadi orang biasa-biasa saja. Tetapi kalau Anda punya keyakinan tinggi, Anda punya gagasan cemerlang, Anda merasa bisa membawa pengaruh bagi lingkungan Anda, Anda merasa bisa memberi impact lebih bagi dunia ini, maka go for it. Abaikan orang-orang di sekeliling Anda yang cuma bisa mencibir dan berkata nyinyir.

Average beliefs will lead you to average results. Extraordinary beliefs will lead you to extraordinary results.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Membatasi Pilihan Sendiri

Ada sebuah buku menarik berjudul The Paradox of Choice karya Barry Schwartz. Buku itu menjelaskan bahwa kita merasa diri kita akan lebih happy ketika kita punya banyak pilihan dalam hidup kita. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Kita mungkin bisa mengambil keputusan terbaik karena punya banyak opsi dalam hidup kita, namun sebaliknya, yang terjadi justru hal itu malah membuat kita merasa kurang baik dan tertekan.

Hal ini berlawanan dengan anggapan umum yang kita terima selama ini. Dulu kita berasumsi bahwa pilihan yang terbatas membuat hidup kita susah dan pilihan yang lebih banyak akan membuat kita senang. Tapi nyatanya yang terjadi justru berkebalikan.

Makin banyak pilihan yang kita miliki, kita akan cenderung merasa tidak bahagia karena kita merasa bahwa “mungkin” ada pilihan lain yang lebih baik atau lebih menyenangkan hati kita. Inilah yang membuat perasaan kita tidak tenang.

Di dua chapter terakhir, Barry Schwartz menawarkan solusi atas persoalan ini. Yang perlu kita lakukan adalah kita harus secara sengaja membatasi pilihan-pilihan dalam hidup kita. We have to intentionally restrict our selves and live within a certain set of limitations. Sometimes you feel like you’re missing this option and that option and that option over there. But actually, it’s better not to have too many options.

Kita hidup dengan segala keterbatasan. Waktu kita terbatas. Uang yang kita miliki juga terbatas. Energi kita juga ada batasnya. By intentionally restricting yourself and living within a certain set of limitations, you know where to direct your energy, where to direct your passion. In the end, you will be very happy.

Believe me.

Contoh gampangnya terjadi sewaktu saya pertama kali menggunakan komputer Mac. Saking excited-nya, saya memasang banyak aplikasi di dalamnya. Akibatnya, kinerja komputer jadi menurun dan kapasitas penyimpanannya jadi terbatas. Tak jarang saya malah bingung hendak menggunakan aplikasi yang mana untuk mengerjakan suatu tugas.

Sekarang saya batasi pilihan dalam Mac saya. Aplikasi-aplikasi yang jarang digunakan atau kurang kebermanfaatannya langsung saya buang. Saya hanya berfokus pada Notational Velocity, Keynote, Microsoft Excel, Mozilla Firefox, Songbird, dan MacKeeper. Komputer jadi ringan, bebas masalah, dan sayapun merasa jauh lebih fokus dan produktif dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaan. Lebih sedikit pilihan malah membuat saya lebih happy.

Saya juga termasuk maniak dalam mengoleksi buku. Koleksi buku saya sudah menembus angka ratusan. Kebanyakan buku-buku bertema bisnis, manajemen, dan keuangan, namun banyak juga buku-buku bertema lain seperti agama, personal development, agrikultur, hingga novel fiksi. Sebagian besar buku yang saya punya memang saya baca sampai tuntas. Namun ada juga yang tak sempat tersentuh. Sebagian besar malah sudah mulai kumal dan tak sedikit yang dimakan kutu/rayap. Sebagian besar buku tersebut akhirnya saya jual murah dan hasilnya disumbangkan. Sekarang koleksi saya lebih sedikit, tapi saya merasa jauh lebih bahagia.

Sama juga dengan pakaian. Dulu saya punya banyak koleksi pakaian—termasuk sangat banyak untuk ukuran laki-laki normal. Akibatnya sebagian besar koleksi saya malah jadi tak terawat. Tak jarang ketika akan menghadiri acara/keperluan tertentu malah sering bingung memilih pakaian yang akan dipakai. Akhirnya saya memutuskan untuk menyumbangkan sebagian besar koleksi pakaian tersebut. Pilihan saya lebih sedikit, tapi saya merasa jauh lebih bahagia.

Hal yang sama juga terjadi dalam urusan personal relationship. Seiring dengan meningkatnya status dan meluasnya lingkup pergaulan kita, maka hubungan yang bisa kita bangun jadi semakin banyak. Akan ada makin banyak pilihan-pilihan lawan jenis yang bisa kita dekati untuk membangun hubungan pribadi yang bersifat intim. Tapi yang terjadi justru kita akan semakin susah menentukan pilihan. Kita jadi pandai menolak dan pasang standar tinggi. Ketika banyak rekan-rekan sejawat yang sudah menikah, kita malah berkutat pada pilihan-pilihan yang belum ada kepastian. In the end, kita malah jadi tidak merasa happy.

Dalam dunia politik, hal yang sama juga terjadi. Kita memang negeri yang sangat demokratis—siapapun bebas mendirikan partainya. Maka tak heran bila jumlah partai politik menjadi begitu banyak. Akibatnya, demokrasi menjadi tidak efektif karena banyak waktu dan energi (dan uang) terbuang untuk melakukan lobi-lobi politik. Kebijakan yang sudah ditetapkan juga akan sulit dijalankan karena banyaknya kepentingan yang beragam. Hal ini tidak akan kita jumpai seandainya jumlah partai politik tidak sebanyak sekarang ini.

Jaman sekarang kita hidup di era informasi. Tantangan yang dihadapi bukan lagi mengumpulkan informasi, melainkan memilah informasi. Makin banyak informasi yang kita dapatkan justru membuat kita bingung. Makin banyak informasi berarti makin banyak noise dan distraction. Makin banyak informasi juga membuat kita makin tidak fokus. Jadi, pilihlah informasi yang hendak Anda terima—entah itu dalam bentuk berita, siaran televisi, radio, suratkabar, blog, sampai Twitter.

So, do you want to be happy? Limit your options!


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Enam Tahun Penantian

Dibandingkan Steven Spielberg, mungkin Ang Lee belum ada apa-apanya. Di malam penganugerahan Academy Award beberapa tahun lalu, Life of Pi “hanya” memperoleh 11 nominasi Oscar. Jumlah ini masih di bawah Lincoln karya Steven Spielberg yang memperoleh 12 nominasi. Tapi ada cerita menarik dibalik perjuangan dan kesuksesan Ang Lee.

Ang Lee mendaftar jurusan perfilman di University of Illinois pada tahun 1978. Ayahnya keberatan dengan pilihan anaknya karena di Broadway hanya tersedia 200 peran untuk 50.000 pekerja seni. Ayahnya makin skeptis karena di masa itu sangat jarang seorang berkebangsaan China bisa menembus industri film Hollywood. Walau begitu, Lee nekat terbang ke Amerika mengejar mimpinya. Keputusan ini harus dibayar mahal dengan memburuknya hubungan Lee dengan ayahnya selama dua puluh tahun berikutnya.

Pada akhirnya, Lee berhasil lulus dan mulai mengejar mimpinya. Di tahun 1984, ia mulai bekerja serabutan seperti membantu kru film, bekerja sebagai asisten editor, dan sejumlah pekerjaan tak penting lainnya di belakang layar. Pada saat yang bersamaan, ia juga mengirimkan skenario karyanya kepada sejumlah rumah produksi yang berbeda. Semua berujung pada penolakan. Tapi Lee masih percaya bahwa inilah jalan hidupnya.

Saat itu Ang Lee berusia 30 tahun. Bagi seorang Chinese, usia 30 adalah titik dimana seseorang seharusnya sudah mapan dan bisa menghidupi dirinya sendiri. Sementara Lee saat itu hanya bisa mengirimkan skenario, menunggu jawaban dari rumah produksi, sembari terus bermimpi suatu saat bisa menjadi movie director profesional.

Untungnya Lee memiliki seorang istri yang sangat mendukung mimpinya itu. Istrinya, Jane, adalah seorang microbiologist teman semasa kuliah Lee. Jane bekerja di sebuah lab riset farmasi kecil dengan penghasilan yang pas-pasan. Saat itu mereka sudah dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Haan.

Lee menjalani hari-harinya dengan mengurus segala pekerjaan rumah tangga dan mengasuh Haan. Ia juga masih terus membaca, mereview film, menulis skrip, dan mengirimkannya dengan harapan suatu saat ada yang tertarik membiayai filmnya itu. Setiap malam, Lee membacakan cerita kepada Haan sampai ia tertidur. Bagi seorang laki-laki, menjalani hidup seperti ini tentu merupakan sesuatu hal yang memalukan.

Sampai suatu hari, Lee memutuskan bahwa mimpinya itu hanyalah ilusi belaka. Ia harus menghadapi realita hidup yang ada di depan matanya. Akhirnya Lee kemudian diam-diam mengambil kursus komputer di community college dekat tempat tinggalnya di White Plains, New York. Ia berpikir bahwa pengetahuan dan pengalaman menggunakan komputer akan membuat dirinya lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Menyadari perubahan perilaku suaminya, Jane curiga dan menemukan jadwal materi kuliah di tas milik Lee. Tapi Jane hanya diam saja sepanjang malam.

Keesokan paginya sebelum berangkat kerja, Jane hanya berkata, “Ang, don’t forget your dream.” Pernah suatu hari, saudara-saudara Jane memberinya uang yang cukup besar agar Lee membuka restoran China. Tapi uang itu ditolak Jane. Ia percaya dan mendukung mimpi Lee sepenuhnya. Ia juga mengingatkan kepada suaminya, “I’ve always believed that you only need one gift. Your gift is making films. There are so many people studying computers already. They don’t need Ang Lee to do that. If you want that golden statue, you have to commit to the dream.”

Lee kemudian mengambil berkas-berkas kursus komputernya, lalu merobek-robeknya, dan membuangnya ke tempat sampah. Selama enam tahun berturut-turut ia bekerja keras tanpa mendapatkan feedback apapun dari industri film yang dicintainya itu. Barulah pada tahun 1990, di usianya yang ke-36, Lee memenangkan kontes penulisan skrip yang disponsori oleh Pemerintah Taiwan. Tahun berikutnya, Ia mulai menyutradai karya pertamanya yang berjudul Pushing Hands.

Setelah Pushing Hand, Lee kemudian menyutradarai The Wedding Banquet. Film inilah yang membukakan jalan baginya menembus pasar Amerika. Walaupun telah memenangkan nominasi Best Foreign Picture, tapi ia masih belum “dianggap” oleh industri perfilman Hollywood. Dua tahun berikutnya, Sense and Sensibility mulai mengangkat nama Lee. Akhirnya semua kerja keras dan pengorbanan Lee terbayar ketika Crouching Tiger, Hidden Dragon sukses di pasaran. Menyusul kemudian Brokeback Mountain dan terakhir Life of Pi.

Persistensi luar biasa dari seorang Lee dan pengorbanan yang begitu besar dari Jane selama enam tahun tanpa hasil, akhirnya terbayar sudah.

Kini, semua orang tentu ingin memperoleh kesuksesan seperti apa yang dirasakan Ang Lee saat ini. Tapi apa iya semua orang mau berkorban seperti apa yang sudah Lee (dan Jane) lakukan? Orang sering bilang, “follow your passion!” atau “if you do what you love, success will follows.” Tapi seberapa kuatkah Anda menunggu? Atau lebih baik segera keluar dan mencari pilihan lain yang lebih menarik? Kebanyakan orang memilih keluar.

Bayangkan saat ini (tahun 2016, red) Anda ada di situasi seorang Ang Lee pada tahun 1990. Enam tahun ke depan Anda harus menjalani hidup yang begitu miserable sampai tahun 2022. Itu artinya sampai masa pertangahan kepemimpinan presiden calon pengganti Jokowi kelak. Setiap lebaran dan pertemuan keluarga, Anda harus menghadapi pertanyaan orang-orang, “Gimana kabar film kamu?” Sementara orang lain yang sepantaran Anda sudah memperoleh kesuksesan, Anda masih saja jalan di tempat.

Seorang atlit tentu ingin mendapatkan medali perlombaan. Seorang penulis novel pasti ingin karyanya jadi top best-seller. Seorang musisi pasti ingin albumnya memperoleh platinum. Seorang entrepreneur pasti ingin usahanya bisa mendunia. Seorang investor tentu ingin harga saham yang dimilikinya naik berlipat ganda. Tapi seberapa besar pengorbanan yang diperlukan untuk meraih semua itu?

Memang benar, bakat dan jenius berkontribusi besar pada kesuksesan seseorang. Tapi, menurut saya, yang jauh lebih penting adalah your ability to out-last everyone through the tough and crappy times. Dan itu bisa dilakukan dengan determinasi yang tinggi, dukungan kuat dari orang-orang di sekitar Anda, atau karena memang tak ada lagi pilihan lain.

Ketika manuskrip Anda ditolak, masihkah Anda antusias menghasilkan karya-karya baru? Ketika pembajakan ada dimana-mana, masihkah Anda mau menggubah lagu dan membuat demo rekaman? Ketika pasar sedang bearish, masihkah Anda confident dengan saham Anda? Ketika sedang didera cidera, bisakah Anda tetap berlari dan memenangkan lomba?

Life of Pi memang film (dan novel) yang sangat menarik. Tapi Ang Lee juga memberikan inspirasi: your achievements of tomorrow may be very well be planted with the seeds of today’s disappointments.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Sudah Tidak Kompeten, Tak Merasa Pula..

Monika kesal bukan kepalang. Hari ini ia pulang ke rumah dengan membawa penat selepas menembus macet Jakarta yang makin parah. Harapan untuk beristirahat dengan nyaman di rumah menjadi pupus manakala menyaksikan kalau rumahnya terasa berantakan. Sementara Inem, sang asisten rumah tangga barunya tampak asyik bercengkerama dengan sejawatnya dari rumah sebelah.

Monika pun memanggil Inem dan menegurnya kenapa rumah masih berantakan. Dengan wajah polos, Inem menjawab“Mau dirapikan seperti apa lagi bu? Ini kan udah rapi banget.” Kejengkelan Monika makin bertambah karena Inem tidak merasa keliru, malah merasa sudah bekerja dengan baik..

Belum sempat menjawab, mata Monika keburu melihat tumpukan pakaian yang baru dikeluarkan dari mesin cuci. Mata nya terbelalak melihat baju putih kesayangannya terkena luntur dari kaos olahraga anaknya. “Mbak, kamu kan harusnya tahu kalo cuci baju tidak boleh dicampur antara pakaian putih dan berwarna !” Habis itu Monika speechless dan masuk ke kamarnya.

Menjelang tidur Monika curhat panjang lebar sama suaminya. Namun dengan kalem suaminya hanya komentar “Apa sebelumnya kamu sudah ajari dia belum? Kalau belum, ya bukan salahnya Inem” sambil terus meneruskan membaca buku.

Monika sebel, tapi ia pun mengingat-ingat bahwa memang dia belum pernah mengajari Inem menjalankan tugasnya. Dia pikir karena Inem itu Asisten Rumah Tangga yang dikirim ibunya, seharusnya dia sudah tahu bagaimana melaksanakan tugasnya.

Dalam kehidupan korporasi, seringkali ditemukan karyawan yang tidak kompeten dan tidak memahami bagaimana menjalankan tugas dan pekerjaannya. Namun tidak jarang mereka malah tidak merasa kalau mereka tidak kompeten, justru mereka merasa sangat kompeten.

Ini yang dikenal sebagai Kruger-Dunning Effect bahwa orang yang tidak kompeten akan :

  1. gagal menyadari kekurangan skill mereka sendiri
  2. gagal mengenali kelebihan orang lain
  3. gagal menyadari tingkat ketidakmampuan mereka sendiri
  4. baru menyadari dan mengetahui kekurangan skill mereka setelah diberikan pelatihan untuk peningkatan skill tersebut

Pemahaman Kruger Dunning effect penting disadari oleh setiap Manager dan dampaknya terhadap pekerjaan.

Sebagai contoh kita ambil proses promosi menjadi manajer. Untuk orang yang telah dipromosikan menjadi Manajer, maka wajar semua pihak akan menganggap dan berharap ia memahami apa tugasnya dan kunci sukses yang diperlukan sebagai seorang manajer. Nah, pada saat sang Manajer tidak kompeten semua orang akan bertanya bagaimana proses promosi nya?

Dalam prakteknya, proses promosi ada 3 situasi :

  1. Promosi dilakukan karena karyawan tersebut sukses di posisi sebelumnya dan telah dievaluasi bahwa ia menguasai keahlian dan kompetensi di posisi barunya. Ini adalah situasi yang sangat ideal.
  2. Promosi dilakukan karena karyawan telah sukses di posisi sebelumnya sehingga diasumsikan ia akan mengulang sukses di posisi barunya. Padahal belum tentu ia menguasai dan memiliki keahlian di posisi baru nya.
  3. Promosi dilakukan karena posisi tersebut harus segera diisi dan tidak ada kandidat lain.

Dalam proses promosi ini terkadang prakteknya tidak melibatkan karyawan yang dipromosikan itu sendiri. Sehingga akibatnya, karyawan tersebut tidak tahu, apakah ia dipromosikan karena situasi yang mana. Mulailah karyawan berasumsi.

Bisa jadi, walaupun faktanya situasi ke-3 yang menjadi alasan promosi, tapi dia berasumsi, bahwa dia dipromosikan karena situasi ke-1 yang ideal tadi. Bila hal ini terjadi, maka yang disimpulkan oleh Kruger dan Dunning pun ikut terjadi.

“Sudah Tidak Kompeten, Tak Merasa Pula”

Oleh karena itu, apapun alasan dan situasi promosinya, terlepas dari persiapan sebelum promosinya, sangat penting dan kritikal bagi atasan untuk selalu memberikan coaching kepada bawahannya (lihat Silabus Coaching for Optimal Performance ).

Selalu memberikan pembinaan dan bimbingan bagaimana cara menjalankan tugas dan mencapai sasaran dalam jabatan yang disandang saat ini. Hal ini untuk memastikan bahwa memang karyawan kita memahami dan menguasai pekerjaan barunya. Jangan sampai karyawan kita PeDe hanya karena tak sadar kalau ia belum mampu.

“ignorance more frequently begets confidence than does knowledge” – Charles Darwin (1871)

Dan Monika malam itu tidur dengan resolusi untuk mengajari Inem, bagaimana merapikan rumah dan mencuci pakaian yang benar.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Mari Berhenti Berinovasi

Marilah kita berhenti sejenak mengagung-agungkan jargon “inovasi.” Leonardo Da Vinci, Henry Ford, Albert Einstein, atau Thomas Alva Edison adalah segelintir tokoh yang bisa dibilang inovator di bidangnya masing-masing. Namun, mereka sendiri sangat jarang menyebut kata tersebut.

Kajian literatur yang dilakukan oleh Berkun (2008) dari memoar, biografi, maupun catatan hidup dari tokoh-tokoh tadi malah menunjukkan banyak kosakata seperti “problem”, “experiment”, “solve”, “exploration”, “change”, “risk”, dan “prototype”. Jadi buat apa kita menyebut kata “inovasi” secara berlebihan?

Maka tak heran bila inovasi akhirnya hanya menjadi sesuatu yang dilebih-lebihkan (overrated). Akademisi, praktisi industri, bahkan pemerintah tak jarang memaknai inovasi secara salah kaprah. Inovasi yang memiliki makna sakral akhirnya hanya menjadi jargon (buzz word) yang lemah kesaktiannya.

Memang benar, kita mungkin telah merasa mengadopsi slogan dan sikap mental (attitude) inovasi namun tidak benar-benar memaknai kedalamannya. Memang benar, kita fasih menguasai literatur terkini tentang inovasi, tapi kita tidak pernah menyelami infrastruktur di balik paradigma tersebut.

Sikap yang boleh dibilang arogan ini bisa membuat kita semua terjebak (stuck) pada jejak langkah (trajectory) yang salah. Celakanya, sekali kita memilih langkah yang salah, kita akan terus tersesat dalam labirin yang kian menjauhkan kita dari pintu keluar.

Kita sangat fasih mengadopsi teknologi-teknologi terbaru—sebut saja BlackBerry, iPad, kamera DSLR, dan piranti-piranti canggih lainnya. Tapi apakah adopsi tersebut bisa meningkatkan kapasitas kita sebagai manusia?

Piawai mengoperasikan iPad bukan berarti lantas membuktikan bahwa kita lebih pintar. Menenteng kamera DSLR terkini juga tidak otomatis membuktikan bahwa kita adalah fotografer profesional. Lebih celaka lagi bila adopsi tersebut didorong oleh alasan gengsi semata dan hanya dimanfaatkan untuk keperluan yang remeh (trivial).

Kita juga begitu terobsesi untuk meningkatkan daya saing dan mengejar ketertinggalan lewat inovasi—tapi dengan ceroboh melompati tahap-tahap yang semestinya harus dilalui. Kita ingin mengadopsi teknologi wireless (WiMAX), tapi lupa bahwa infrastruktur kabel telekomunikasi kita masih berantakan. Kita ingin segera beralih pada masyarakat berbasis virtual money (e-money), tapi lupa bahwa infrastruktur keuangan kita belum benar-benar solid. Kita ingin lolos ke Piala Dunia dengan menaturalisasi pemain asing, tapi mengabaikan proses pembinaan dan kompetisi usia dini.

Jejak langkah (trajectory) yang salah tersebut tercermin pada corak masyarakat kita yang aneh dan tergagap-gagap. Di jalan Thamrin-Sudirman kita dengan mudah menemukan mobil Ferrari atau Porsche terkini, tapi tak jauh masuk ke dalam, ada permukiman kaum proletar yang termarjinalkan.

Tak sedikit dari kita yang menenteng BlackBerry, iPad dengan bangga, tapi ada sekolah yang tak memiliki papan tulis dan atapnya bocor. Televisi menayangkan sinetron yang tokohnya terlihat kaya dan mapan, padahal mayoritas penduduk kita masih berada di level menengah bawah.

Kita juga rajin mengadopsi teknologi komputer dan audio video terkini yang mahal harganya, tapi CD dan DVD bajakan tersebar dimana-mana. Pasar saham tumbuh signifikan, tapi petani dan pengrajin di daerah masih kesulitan memasarkan hasil kerjanya.

Dalam karya klasiknya, The Innovator’s Dilemma, Christensen (1997) mengatakan bahwa perubahan teknologi adalah penggerak dalam inovasi. Tapi tanpa ruh yang jelas, inovasi akan kehilangan arah.

Inovasi seharusnya berangkat dari realita yang berkembang di sekitar kita. Inovasi seharusnya bukan semata-mata mengadopsi apa yang sudah dilakukan orang (bangsa) lain tanpa memikirkan konteks lokal pengadopsinya. Teknologi hanyalah alat bantu yang membuka pintu masuk menuju kehidupan yang lebih baik. Terbaru dan tercanggih tidak selalu berarti terbaik.

Meminjam istilah Herry-Priyono (2010), inovasi seharusnya merupakan kapasitas untuk memperbarui daya-hidup (viability) suatu masyarakat. Inovasi selayaknya dimaknai sebagai aktivitas yang kita lakukan bersama-sama agar kehidupan kita bisa berlanjut, bertahan, dan berkembang menjadi lebih baik. Seharusnya kita justru merasa malu apabila inovasi-inovasi yang telah kita lakukan selama ini tidak menjadikan daya-hidup kita sebagai manusia menjadi lebih baik.

Mungkin kita tidak membutuhkan inovasi mobil pribadi yang nyaman dan irit bahan bakar. Mungkin yang kita butuhkan hanyalah sarana transportasi massal yang murah, handal, dan bisa memindahkan ribuan (atau bahkan jutaan) manusia dengan cepat dan aman.

Mungkin kita tidak membutuhkan inovasi di pasar modal (capital market) dan pasar uang (money market) kita. Mungkin yang kita butuhkan hanyalah program pendampingan bagi petani, nelayan, dan pengrajin di daerah agar mereka bisa memasarkan hasil jerih payahnya tanpa perlu terlibat dengan rentenir, pengijon, dan tengkulak.

Mungkin kita tidak membutuhkan inovasi pembangkit listrik bertenaga nuklir terbaru. Mungkin yang kita butuhkan hanyalah pembangkit listrik bertenaga air ukuran mini yang bisa diproduksi dengan murah dan dipasang di sungai-sungai pedalaman Papua dan Kalimantan.

Mungkin kita tidak membutuhkan inovasi tayangan yang futuristik dan penuh efek 3D. Mungkin yang kita butuhkan hanyalah tayangan seperti “Keluarga Cemara” atau “Si Doel Anak Sekolahan” yang memuat kebijakan lokal (local wisdom) seperti kebanyakan masyarakat kita.

Jadi, marilah kita berhenti berinovasi. Sebaliknya, mari kita sama-sama memperbaiki etos dan cara berpikir kita. Berangkatlah dari problematika riil yang kita hadapi di lingkungan sekitar kita. Temukan solusi yang benar-benar bernilai untuk memecahkan masalah itu. Dan terakhir, gunakanlah amunisi tersebut untuk meningkatkan daya-hidup kita sebagai umat manusia.

Referensi:

  • Berkun, S. (2008) Why Innovation is Overrated. Harvard Business Review Blogs.
  • Christensen, C. M. (1997), The innovator’s dilemma: when new technologies cause great firms to fail, Boston, Massachusetts, USA: Harvard Business School Press.
  • Herry-Priyono, B. (2010) Menanam Kembali Inovasi. Outline diskusi “Membumikan Inovasi,” Centre for Innovation Policy & Governance, Jakarta, 8 Desember 2010.

By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Durian Bang Ucok

Kalau Anda pergi ke Medan dan tidak menikmati duriannya, rugi besar. Bagi saya, rasa durian monthong asal Thailand tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan durian medan. Mungkin dari segi ukuran, durian monthong lebih besar dan dagingnya lebih tebal. Tapi, dari segi rasa, durian medan jauh lebih mantap. Ibarat cabe, durian medan adalah cabe rawit yang kecil tapi pedas. Sementara, durian monthong adalah cabe hijau. Besar, tapi tidak pedas.

Di Medan, salah satu gerai durian medan yang terkenal adalah Ucok Durian. Gerai ini dimiliki oleh Bang Ucok, begitu dia biasa disapa—meski nama sebenarnya adalah Zainal Abidin Chaniago. Bang Ucok sudah lebih dari 25 tahun menggeluti bisnis durian. Usia Bang Ucok kini menjelang 50 tahun.

Mulanya Bang Ucok hanya berjualan durian di emperan jalan. Namun, bisnisnya terus berkembang dan kini memiliki dua gerai, yakni di Jl. Iskandar Muda dan satunya lagi di Jl. Wahid Hasyim. Gerai Bang Ucok ini buka 24 jam, tetapi puncak keramaian adalah malam hari, saat jam makan malam. Ucok Durian kini sudah menjadi semacam ikon-nya Kota Medan. Kalau kita pergi ke Medan dan belum mampir ke gerai Bang Ucok, rasanya kurang lengkap.

Saya, yang beberapa kali mencicipi nikmatnya durian Bang Ucok, mencatat beberapa hal yang membuatnya mampu menjadi salah satu destinasi wisata kuliner di Medan.

Pertama, menyangkut urusan back office. Dahulu, di Medan dan sekitarnya, durian nyaris tak ada harganya. Setiap rumah dan kebun di desa-desa di Sumatera Utara nyaris memiliki tanaman durian. Ketika musim panen tiba, mereka tak tahu mau dijual ke mana durian-durian itu. Akhirnya sebagian dibiarkan matang di pohon, jatuh dan membusuk.

Adanya Ucok Durian membuat para pemilik kebun durian jadi tahu ke mana mesti menjual durian. Kini, Bang Ucok tak perlu repot-repot lagi mencari durian ke desa-desa. Para petani itulah yang mengirimkan duriannya ke Bang Ucok. Dia tinggal menyeleksi mana durian yang bagus, dan mana yang tidak.

Gerai Ucok Durian juga memicu munculnya gerai-gerai durian sejenis. Misalnya, ada gerai durian di Jl. Sumatera atau di kawasan Pasar Merah, Medan. Lalu, ada juga toko-toko yang menjual durian yang sudah diolah baik dalam bentuk pancake atau pie durian.

Berkembangnya gerai-gerai durian membuat para petani mengelola kebun duriannya sedemikian rupa untuk menjamin kontinuitas pasokan. Alhasil, di gerai Bang Ucok, durian selalu tersedia, tidak mengenal musim. Beda dengan di Jawa yang durian hanya bisa kita nikmati pada waktu-waktu tertentu.

Kedua, ini masih terkait urusan back office, yakni soal quality control yang ditangani dan di-supervisi langsung oleh Bang Ucok. Hasilnya, semua durian yang disajikan di gerai Ucok Durian memang terjamin rasanya. Pasti enak.

Di gerai Bang Ucok, kita akan disodori dua pilihan rasa durian: manis atau pahit. Kita tinggal menyebut, nanti Bang Ucok atau karyawannya yang akan memilihkan sesuai keinginan kita. Bagi saya, baik yang manis maupun yang pahit sama saja nikmatnya.

Ketiga, untuk menjamin kualitas rasa dan layanan, atau urusan front office, kalau ada durian yang disajikan ternyata tidak sesuai dengan keinginan, kita boleh minta ganti tanpa dikenai biaya tambahan. Apa yang Bang Ucok lakukan ini dalam istilah marketing kerap disebut dengan istilah quality assurance.

Control dan Assurance

Saya memang tidak sempat bertanya ke Bang Ucok apakah dia mengerti konsep quality control (QC) dan quality assurance (QA). Tapi, yang jelas dia menerapkannya.

Dalam ilmu marketing, quality control adalah sebuah proses yang bertujuan memastikan kualitas suatu produk/jasa. Melalui quality control, Bang Ucok akan memastikan apakah layanan produk/jasa yang diterima customer sudah layak, atau kurang sesuai dan perlu ditingkatkan lagi.

Bagaimana Bang Ucok bisa menjamin bahwa kualitas duriannya pasti enak? Semuanya berangkat dari puluhan tahun dia menekuni bisnis durian. Kita yang dari luar mengamati, sebelum menyajikannya ke pelanggan, Bang Ucok selalu mencium dan memukul-mukul durian tersebut. Setelah yakin, baru durian itu dia belah dan sajikan ke pelanggan. Pilihan Bang Ucok tak pernah salah.

Meski begitu tetap saja ada satu-dua pelanggan yang kurang puas. Untuk mereka, Bang Ucok tak segan-segan menggantinya dengan yang baru. Ini, dari sisi marketing, adalah penerapan konsep quality assurance, yakni langkah-langkah yang dilakukan untuk menjamin kepercayaan pelanggan terhadap kualitas produk/jasa yang kita berikan.

Intinya, baik quality control maupun quality assurance bertanggung jawab terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Quality control bertanggung jawab terhadap kualitas produk selama dalam proses produksi, sementara quality assurance lebih berorientasi pada layanan terhadap pelanggan.

Ikonik

Dua hal itulah yang, menurut saya, berperan penting dalam menjadikan Bang Ucok sebagai salah satu ikon kuliner Kota Medan. Dan, mengingat pentingnya quality control dan quality assurance, keduanya ditangani dan di supervisi langsung oleh Bang Ucok. Jadi, nama Bang Ucok sendirilah yang menjadi taruhannya.

Pertaruhan semacam ini memang sangat mahal, tapi Bang Ucok berhasil memenangkannya. Itulah sebabnya, pada penghujung Maret 2014 lalu, seusai meresmikan Bandara Kualanamu, malam harinya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani Yudhoyono, ditemani Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan beberapa pebisnis, menyempatkan diri mampir ke gerai Bang Ucok.

Belajar dari Bang Ucok, untuk bisa menjadi ikon, kadang kita tak perlu menunggu skala usaha membesar terlebih dahulu. Kecil, asal khas, sudah bisa. Bang Ucok telah membuktikannya.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”