Nofie Iman

Sales dan Tukang Tipu

Di masyarakat kita, sales adalah profesi yang citranya kurang baik. Mereka dianggap tukang membual, cenderung annoying, tak jarang suka tipu-tipu agar barangnya laku dan dapat komisi. Untuk menjadi sales juga biasanya tidak memerlukan pendidikan/pelatihan khusus sehingga dianggap profesi rendahan. Sales berbeda dengan profesi seperti dokter, lawyer, akuntan, atau profesi lain yang membutuhkan pendidikan tertentu.

Tapi, Robert Louis Stevenson pernah mengatakan bahwa, “Everyone lives by selling something.“ Seorang pebisnis hidup dengan menjual produk/jasa yang dihasilkannya. Seorang atlet olahraga hidup dengan menjual bakat fisik yang dimilikinya. Seorang musisi hidup dengan jualan bakat seni yang dia miliki. Seorang pemimpin hidup dengan menjual ide, perubahan, contoh, dan pengaruh yang dimilikinya.

Begitu juga dengan kita, saya, dan Anda. Ketika melamar pekerjaan, Anda juga menjual diri Anda kepada instansi yang Anda tuju. Ketika mendekati lawan jenis Anda, Anda juga mengemas dan me-marketing-kan diri Anda kepada si dia.

Supaya jualan Anda laku, sudah tentu Anda harus berinovasi terhadap produk/jasa yang Anda tawarkan. Kalau Anda hendak melamar pekerjaan, maka Anda perlu memperkuat diri dengan kemampuan bahasa asing atau kemampuan menggunakan komputer misalnya. Kalau Anda hendak mendapatkan cinta dari lawan jenis, Anda perlu memperbaiki penampilan dan pembawaan Anda.

Tapi itu saja tidaklah cukup. Di jaman yang serba kompetitif seperti sekarang, siapapun bisa melakukan hal-hal seperti yang Anda lakukan. Kalau Anda bisa menguasai lima bahasa asing, orang lain pun juga bisa belajar hal yang sama. Kalau Anda bisa merubah penampilan menjadi lebih baik, orang lain pun juga bisa pergi ke salon dan melakukan hal serupa.

Jadi, yang perlu dilakukan adalah bagaimana menyampaikan pesan secara lebih fascinating. Fascination adalah kata kunci untuk membuat koneksi terhadap orang lain. Hal inilah yang membuat orang lain berpikiran dan berperilaku secara berbeda. Fascination memberikan efek provokasi terhadap calon customer Anda.

Pesan yang disampaikan secara fascinating, akan memberikan reaksi emosional yang kuat dan segera. Hal itu menimbulkan advokasi yang mempengaruhi sejumlah tindakan dan nilai yang dianut seseorang. Hal tersebut akan mendorong munculnya percakapan, memaksa kompetitor untuk berbenah menyesuaikan diri, dan memicu lahirnya revolusi sosial yang akan memaksa kita untuk berpikir secara berbeda.

Sally Hogshead memberikan tujuh hal pemicu yang mampu menggerakkan fascination seseorang.

  • Lust – Manusia tergoda dan termotivasi oleh antisipasi terhadap sensor-sensor kesenangan kita.
  • Mystique – Munculnya rasa penasaran terhadap pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.
  • Alarm – Manusia mengambil tindakan akibat ancaman terhadap konsekuensi yang sifatnya negatif.
  • Prestige – Manusia tergerak untuk mendapatkan respect karena pencapaian mereka yang tinggi.
  • Power – Kita berfokus pada komando dan kontrol. Trigger ini dapat memperkuat reputasi kita.
  • Vice – Manusia tergoda oleh “buah terlarang,” membuat mereka berani mendobrak pakem baku yang sudah ada.
  • Trust – Berkaitan dengan certainty dan reliability. Membuat lawan bicara Anda merasa loyal dan terbuka untuk hubungan jangka-panjang.

Tentu saja setiap orang mempunyai fascination score yang berbeda. Mungkin saja Anda dominan pada faktor power, tetapi orang lain lebih dominan pada faktor prestige. Ada pula orang lain yang lebih cenderung kuat pada faktor trust, ada pula orang yang lebih cenderung pada faktor yang lain.

Faktor yang satu tidak selalu lebih baik atau lebih buruk dari faktor yang lain. Yang terpenting adalah bagaimana membuat pesan yang ingin Anda sampaikan menjadi lebih fascinating. Dus, yang perlu Anda lakukan adalah mengidentifikasi mana faktor yang dominan dalam diri Anda, mana faktor yang dominan dalam diri lawan Anda, bagaimana mengembangkannya, dan mengeksekusinya kepada calon target secara tepat.

Sebagai contoh, memberikan gambaran kecelakaan untuk anak muda yang suka ngebut dan mabuk tidak akan memberi efek jera karena ketakutan (alarm) bukan merupakan faktor yang berpengaruh bagi mereka. Sebaliknya, anak muda malah cenderung berani melakukan hal-hal yang menyerempet bahaya. Akan tetapi dengan memberikan faktor lain, seperti ancaman kehilangan SIM dan ancaman masuk penjara, akan memberikan konsekuensi yang berbeda.

Disadari atau tidak, Anda mungkin sudah menggunakan salah satu dari ketujuh trigger tersebut di atas. Masalahnya adalah apakah Anda sudah menggunakan trigger yang tepat, dengan cara yang benar, dan mendapatkan hasil yang didambakan atau belum. Dengan menguasai hal tersebut, ide-ide Anda akan lebih memorable, tutur kata Anda akan lebih persuasif, dan hubungan yang Anda jalin akan menjadi jauh lebih intim dan tahan lama.

Dan sesungguhnya hal ini tak hanya bisa diterapkan untuk urusan bisnis saja.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Menunda Kesenangan Sesaat

Di semester awal kuliah saya dahulu, salah seorang dosen saya pernah berujar, “Mereka yang sukses adalah mereka yang bisa menunda kesenangan sesaat.” Sebagai bocah yang baru lulus SMA dan mencoba memahami dunia perkuliahan, kata-kata itu agak sulit untuk saya pahami waktu itu. Yang bisa saya lakukan cuma mencatat dan membacanya sambil berusaha menemukan maksud kata-kata tersebut.

Namun, seiring berjalannya waktu, barulah saya sadar bahwa sesungguhnya good things come to those who wait. Ini sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran. Makin sedikit yang tersedia, makin besar pula usaha kita untuk mendapatkannya, dan ketika kita mendapatkannya, kepuasan yang kita peroleh juga akan makin tinggi pula. The rarer something is, and the more we hold off on getting what we want, the greater the pleasure and pay-off when we finally do.

Ambil contoh sebuah bisnis. Mereka yang mendapatkan bagian paling duluan adalah pegawai borongan yang harus dibayar secara harian. Setelah pegawai borongan, yang mendapat bagian adalah karyawan tetap dalam bentuk gaji akhir bulan. Selain pegawai atau karyawan, supplier adalah mereka yang dibayar duluan karena barang-barang yang dibeli harus segera dilunasi. Nah, kalau masih ada uang tersisa, barulah uang itu jadi bagian si pemilik bisnis.

Siapa yang paling lama menunda kesenangannya? Pemilik bisnis. Siapa yang berusaha paling keras? Pemilik bisnis. Siapa yang mendapatkan keuntungan dan pay-off paling besar? Pemilik bisnis juga.

Faktanya, kita sekarang hidup dalam dunia yang penuh kesenangan sesaat. Instant gratification.

Butuh makan? Banyak tuh makanan/minuman instan. Tinggal di seduh air panas atau dipanaskan dalam microwave, langsung bisa dinikmati. Kalau masih malas, di sekitar Anda pasti banyak penjual fast food yang bisa memuaskan rasa lapar Anda dalam tempo singkat.

Pengen tampak lebih langsing dan lebih cantik/tampan? Anda bisa menjumpai banyak produk pil/tablet/obat untuk merampingkan badan. Banyak juga yang jual alat-alat yang (katanya) bisa membakar lemak secara instan. Kalau uang berlebih, Anda bisa pakai jasa dokter untuk sedot lemak atau bahkan operasi plastik.

Mau jadi artis? Anda bisa ikutan kontes idola cilik, idola remaja, bahkan idola orang dewasa. Mulai dari kontes menyanyi, berjoget, sampai kontes memasak. Semua dilakukan supaya Anda bisa diorbitkan jadi artis dalam tempo singkat.

Atau Anda pengen cepat kaya? Banyak juga tuh program-program yang menawarkan cara cepat jadi kaya. Tanpa keluar modal. Tanpa perlu menjual produk. Tak usah repot-repot cari member dan menjual prospek. Tanpa perlu kerja keras.

Lingkungan kita memang “memaksa” kita untuk larut terjebak dalam situasi ini. Tapi apa iya kita harus ikut-ikutan juga?

Padahal, menunda kesenangan itu sebenarnya banyak manfaatnya. Salah satunya membuat kita terdorong untuk mendapatkan hanya apa yang benar-benar kita butuhkan. Saya pernah berpikir untuk membeli laptop baru. Saat itu, MacBook Air 11″ baru saja dirilis di pasaran. Tapi saya memutuskan untuk menunda sampai 2 bulan berlalu. Ketika 2 bulan lewat, saya sadar bahwa MacBook lama saya masih berfungsi dengan baik dan masih mampu memenuhi kebutuhan saya.

Menunda kesenangan juga membuat kita lebih hati-hati dalam menggunakan apa yang kita miliki. Bayangkan kita menabung dengan susah payah demi membeli sebuah mobil baru. Begitu Anda mendapatkan cukup uang untuk membeli mobil tersebut, pastilah Anda akan merawatnya dengan hati-hati. If we feel like we’ve earned something, we don’t want to let that work go to waste.

Hal ini berbeda dengan ketika kita melakukan impulsive buying. Tergiur dengan kesenangan sesaat, kita enjoy saja mengeluarkan uang untuk mendapatkan barang tersebut—barang yang tidak benar-benar kita butuhkan. Lebih parah lagi, barang tersebut dibeli dengan utang (kartu kredit). Tak berapa lama, akhirnya muncul “rasa bersalah” dan “penyesalan” dalam diri kita gara-gara pembelian impulsif tersebut.

Dalam konteks perencanaan keuangan, menunda kesenangan sesaat ini erat kaitannya dengan disiplin dan kontrol diri. Idealnya, kita membatasi apa yang benar-benar kita belanjakan menurut kebutuhan kita, bukan menurut keinginan kita. Sementara kelebihan dana yang kita punya, bisa dimanfaatkan untuk investasi di masa depan. Pendek kata, kita menunda kesenangan menikmati uang di hari ini supaya kita bisa hidup enak di masa depan.

Hal ini juga bisa diaplikasikan dalam pekerjaan. Ketika kita diberikan tanggung jawab tertentu, bisa saja kita memilih untuk mengambil jalan pintas demi mendapatkan imbalan kesenangan sesaat. Tapi siapa bisa jamin bahwa jalan pintas tersebut bukan malah menjerumuskan Anda ke penjara? Sama juga dalam hal keartisan. Nggak ada rumusnya artis jebolan kontes idola yang digodog secara instan mampu mengungguli artis yang ditempa di kawah Candradimuka tahunan. It’s all about the journey, not the destination.

Soal urusan perut juga sama. Ibadah puasa mengajari kita untuk menunda kesenangan menikmati makanan dan minuman kesukaan kita. Selain berguna buat kesehatan, kita juga terdorong untuk lebih merasa bersyukur dan terberkati ketika akhirnya bisa menikmati makanan dan minuman tersebut. Saya sendiri membagi hari makan saya dalam seminggu menjadi vegetarian day dan free day. Badan saya terasa lebih sehat, saya pun merasa lebih nikmat ketika bisa menyantap makanan di hari free day.

Bahkan dalam urusan seks. Penelitian menunjukkan bahwa pasangan yang tidak melakukan hubungan seks pranikah biasanya cenderung lebih long lasting daripada pasangan yang sudah melakukan hubungan seks pranikah. Menghindari hubungan seksual sebelum pernikahan membuat pasangan saling membangun antisipasi dan excitement akan malam pertama. Hal itu akan membuat malam pertama (atau bulan madu) secara psikologis menjadi lebih bermakna. The longer you put sex off, the sweeter it is when consummated.

Jadi, disiplinkan diri Anda dan kendalikan diri Anda untuk menunda kesenangan sesaat. Dengan menunda kesenangan hari ini, Anda bisa menikmati dan menjalani hidup dengan lebih bahagia dan menyenangkan. Delay your gratification. Increase your pleasure and happiness.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Hidup dalam Fantasi

Beberapa tahun belakangan, kita dibombardir dengan sejumlah produk baru seperti Nokia Lumia, Microsoft Surface, hingga iPhone 5. Berlomba-lomba mereka mengisi papan-papan iklan di seluruh penjuru kota demi menarik perhatian kita.

Entah bagaimana para produsen itu mengemasnya, tapi sungguh, apa yang mereka iklankan membuat kita benar-benar terbius dalam fantasi yang begitu indah.

Ambil contoh iPhone 5 terbaru. Produk ini membuat kita berfantasi seakan-akan ia bisa membuat hidup kita lebih baik, membuat kita terlihat lebih keren, dan anti-mainstream.

Bentuknya begitu tipis dan seksi. Warnanya, hitam atau putih, keduanya sama-sama terlihat sangat elegan. Layar touchscreen lebih lebar, kameranya juga lebih baik, ditambah lagi dengan personal assistant yang cerdas. Siapa yang tak tergoda?

Tapi mari kita coba mundur sejenak beberapa tahun ke belakang. Hidup sebelum ada iPhone 5 (atau bahkan sebelum ada ponsel) sebenarnya tidaklah terlalu buruk. Kita masih bisa survive tanpa harus setiap detik melihat update status Facebook dan timeline Twitter.

Kita tak pernah mengecek email sampai nanti tiba di kantor. Kita mungkin tak bisa mencari restoran mana yang terdekat dengan posisi kita, tapi toh kita masih bisa makan. Life was good.

Apakah benar produk-produk itu akan membuat fantasi kita menjadi nyata? Lima tahun lalu iPhone belum ada. Dan hidup kita baik-baik saja. Sepuluh tahun lalu ponsel masih jadi barang langka. Dan hidup kita juga baik-baik saja. Mengapa sekarang situasinya (seolah-olah) terlihat berbeda?

Dan celakanya, to some extent, produk-produk teknologi seperti itu sebenarnya justru menjadi distraction paling besar dalam hidup kita. Alih-alih membuat kita lebih produktif dan efisien, internet justru membuat kita jauh lebih “kepo” daripada sebelumnya.

Ingin tahu cuaca London hari ini? Klik. Ingin tahu harga saham AAPL pada penutupan sore tadi? Klik. Mau cari tempat makan middle eastern yang enak? Klik. Cari tahu apa itu Raspberry Pi? Ada Wikipedia. Penasaran ingin tahu siapa itu Aceng? Google aja. Abis nonton film, ada artis cakep tapi gak tau namanya? Cek IMDB. Tadi abis dikenalkan seorang teman, penasaran dia masih single atau nggak? Stalking saja di Facebook. 🙂

Rasa ingin tahu itu seringkali muncul dalam waktu beberapa detik dan harus segera dicari jawabannya segera. Saat itu juga.

Tapi pernahkah Anda mencoba untuk berhenti sejenak selama 30 menit atau satu jam misalnya? Biasanya rasa penasaran itu akan hilang dengan sendirinya. Toh urusan-urusan semacam itu biasanya bukan persoalan keamanan negara atau soal hidup mati seseorang. Why hurry?

Sepuluh-duapuluh tahun lalu, kalau ada “sesuatu” yang menarik perhatian kita, biasanya kita bisa menyalakan televisi dan berharap ada tayangan tentang itu. Atau, kita bisa pergi ke perpustakaan atau toko buku dan mencarinya di ensiklopedia. Atau, bisa juga kita tanyakan ke famili/kerabat yang dianggap lebih tahu. Tapi seringkali kita lupa begitu saja.

Barangkali “sesuatu” itu memang tak terlalu membutuhkan perhatian kita. Sometimes, not knowing everything is good.

Kadangkala produk-produk teknologi memang membuat kita hidup dalam fantasi. Tak jarang arus informasi yang begitu deras membuat kita ingin tahu segalanya. Dan menjadi orang yang pertama mengetahui segala sesuatunya adalah fantasi yang luar biasa hebatnya. Tapi kita lupa bahwa ada sesuatu di hadapan kita: realita.

Terlalu sering kita menghabiskan waktu demi mengejar fantasi kita. Beberapa fantasi itu menjadi nyata, tapi tak jarang fantasi itu ternyata tidak seperti apa yang kita fantasikan sebelumnya.

Ternyata mempunyai iPhone 5 tidak membuat hidup saya lebih keren. Ternyata menjadi orang pertama yang mengetahui cuaca, atau harga saham hari ini tak membuat saya lebih hebat.

And then I realise: I don’t really need the fantasy to be happy. Reality without fantasies is perfect. And sometimes, I’ll just let my mind wandering around in the dark. I know it’s seems strange. It’s different kind of life. But I’m happy.

I’m living in reality, not in a fantasy. What about you?


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Average vs. Extraordinary

No one will ever need more than 640KB of RAM.

Bill Gates

Cobalah Anda kunjungi Taman Kanak-kanak (TK) terdekat di sekitar Anda. Masuklah ke salah satu kelas dan tanyai mereka, “Anak-anak, siapa di antara kalian yang bisa bernyanyi?” Niscaya semua anak mengangkat tangannya dengan penuh semangat.

Sepuluh tahun kemudian, setelah mereka masuk ke SMU, cobalah ajukan pertanyaan yang sama. Berani jamin, tak lebih dari hitungan jari yang mengacungkan tangannya. Apa yang berbeda? Anak-anak di TK percaya mereka bisa bernyanyi because no one had told them otherwise.

Lord Kelvin, ilmuwan Inggris yang juga presiden British Royal Society, pernah berujar, “Heavier-than-air flying machines are impossible.” Astronom dan ahli matematika Simon Newcomb juga berkata serupa, “Flight by machines heavier than air is unpractical and insignificant, if not utterly impossible.

Dan bahkan Thomas Alva Edison juga berkomentar, “It is apparent to me that the possibilities of the aeroplane, which two or three years ago were thought to hold the solution to the [flying machine] problem, have been exhausted, and that we must turn elsewhere.

Orang-orang pintar tersebut mengatakan bahwa tidak mungkin ada benda (pesawat) yang bisa melayang dan diterbangkan manusia. Tapi, kendati seluruh dunia memandang Orville Wright dan Wilbur Wright tidak waras karena dianggap menentang hukum fisika (gravitasi), pada akhirnya mereka berdua berhasil membuktikan keyakinan mereka.

Walaupun cibiran itu datang dari orang “besar” seperti Edison, Newcomb, dan Kelvin, bukan berarti Wright bersaudara menjadi gentar. Justru sebaliknya, cibiran itu membuat Wright bersaudara makin bersemangat untuk membuktikan keyakinan mereka.

Apa yang bisa kita simpulkan dari sini?

Extraordinary results will require you to have extraordinary beliefs. Kita membutuhkan extraordinary beliefs karena makin “nyleneh” dan makin “tidak normal” gagasan kita menurut standar ukuran orang kebanyakan, maka makin tinggi pula effort yang harus kita keluarkan untuk melawan indoktrinasi dan tekanan sosial dari kiri-kanan kita.

Sebaliknya, kalau kita hanya mengikuti anjuran orang-orang kebanyakan, maka pencapaian yang akan kita peroleh juga seperti orang kebanyakan. Average beliefs will lead you to average results. As simple as that.

Dalam sebuah riwayat diceritakan, Luqman dan anaknya berniat menjual keledai di pasar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Luqman menaiki punggung keledai sementara anaknya berjalan menuntun keledai. Di perjalanan, orang-orang mencibir, “Dasar orang tua tak tahu diri, ia enak-enakan duduk di atas keledai sementara anaknya berjalan di padang pasir yang terik.”

Luqman dan anaknya lalu bertukar tempat. Luqman menuntun keledai sedangkan anaknya duduk di atas keledai. Di perjalanan, orang-orang mencibir lagi, “Anak durhaka, enak-enakan duduk di atas keledai sementara orang tuanya berjalan kaki.”

Sekarang Luqman dan anaknya sama-sama duduk di atas punggung keledai. Di perjalanan, orang lain berkomentar, “Dasar gila, tak punya rasa kasihan, hewan lemah begitu dinaiki dua orang sekaligus.”

Kemudian Luqman turun dan mencari sebatang kayu yang agak panjang. Diikatlah kaki keledai depan dan belakang, lalu mereka masukkan kayu di antara kaki keledai tadi untuk menggotong. Mereka melanjutkan perjalanan sambil menggotong keledai. Tak lama, orang mencibir, “Dasar gila, keledai hidup kok digotong seperti mati?”

Akhirnya mereka menurunkan keledai dan melepaskan ikatannya. Sekarang mereka berjalan bertiga: Luqman, anaknya, dan keledai. Tapi apa lacur. Seseorang yang mereka temui kemudian malah berkomentar, ”Dasar bapak dan anak sama bodoh dengan keledainya. Ada kendaraan kok tidak dinaiki?”

Itulah manusia, yang pada umumnya punya sifat sok tahu, namun juga bodoh, dan keras kepala. Dan lingkungan mengkondisikan demikian. Celaka sudah.

Most people are ordinary.

Kebanyakan orang biasa-biasa saja. Ikutilah omongan orang-orang di sekeliling Anda, maka Anda akan jadi orang biasa-biasa saja. Tetapi kalau Anda punya keyakinan tinggi, Anda punya gagasan cemerlang, Anda merasa bisa membawa pengaruh bagi lingkungan Anda, Anda merasa bisa memberi impact lebih bagi dunia ini, maka go for it. Abaikan orang-orang di sekeliling Anda yang cuma bisa mencibir dan berkata nyinyir.

Average beliefs will lead you to average results. Extraordinary beliefs will lead you to extraordinary results.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Membatasi Pilihan Sendiri

Ada sebuah buku menarik berjudul The Paradox of Choice karya Barry Schwartz. Buku itu menjelaskan bahwa kita merasa diri kita akan lebih happy ketika kita punya banyak pilihan dalam hidup kita. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Kita mungkin bisa mengambil keputusan terbaik karena punya banyak opsi dalam hidup kita, namun sebaliknya, yang terjadi justru hal itu malah membuat kita merasa kurang baik dan tertekan.

Hal ini berlawanan dengan anggapan umum yang kita terima selama ini. Dulu kita berasumsi bahwa pilihan yang terbatas membuat hidup kita susah dan pilihan yang lebih banyak akan membuat kita senang. Tapi nyatanya yang terjadi justru berkebalikan.

Makin banyak pilihan yang kita miliki, kita akan cenderung merasa tidak bahagia karena kita merasa bahwa “mungkin” ada pilihan lain yang lebih baik atau lebih menyenangkan hati kita. Inilah yang membuat perasaan kita tidak tenang.

Di dua chapter terakhir, Barry Schwartz menawarkan solusi atas persoalan ini. Yang perlu kita lakukan adalah kita harus secara sengaja membatasi pilihan-pilihan dalam hidup kita. We have to intentionally restrict our selves and live within a certain set of limitations. Sometimes you feel like you’re missing this option and that option and that option over there. But actually, it’s better not to have too many options.

Kita hidup dengan segala keterbatasan. Waktu kita terbatas. Uang yang kita miliki juga terbatas. Energi kita juga ada batasnya. By intentionally restricting yourself and living within a certain set of limitations, you know where to direct your energy, where to direct your passion. In the end, you will be very happy.

Believe me.

Contoh gampangnya terjadi sewaktu saya pertama kali menggunakan komputer Mac. Saking excited-nya, saya memasang banyak aplikasi di dalamnya. Akibatnya, kinerja komputer jadi menurun dan kapasitas penyimpanannya jadi terbatas. Tak jarang saya malah bingung hendak menggunakan aplikasi yang mana untuk mengerjakan suatu tugas.

Sekarang saya batasi pilihan dalam Mac saya. Aplikasi-aplikasi yang jarang digunakan atau kurang kebermanfaatannya langsung saya buang. Saya hanya berfokus pada Notational Velocity, Keynote, Microsoft Excel, Mozilla Firefox, Songbird, dan MacKeeper. Komputer jadi ringan, bebas masalah, dan sayapun merasa jauh lebih fokus dan produktif dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaan. Lebih sedikit pilihan malah membuat saya lebih happy.

Saya juga termasuk maniak dalam mengoleksi buku. Koleksi buku saya sudah menembus angka ratusan. Kebanyakan buku-buku bertema bisnis, manajemen, dan keuangan, namun banyak juga buku-buku bertema lain seperti agama, personal development, agrikultur, hingga novel fiksi. Sebagian besar buku yang saya punya memang saya baca sampai tuntas. Namun ada juga yang tak sempat tersentuh. Sebagian besar malah sudah mulai kumal dan tak sedikit yang dimakan kutu/rayap. Sebagian besar buku tersebut akhirnya saya jual murah dan hasilnya disumbangkan. Sekarang koleksi saya lebih sedikit, tapi saya merasa jauh lebih bahagia.

Sama juga dengan pakaian. Dulu saya punya banyak koleksi pakaian—termasuk sangat banyak untuk ukuran laki-laki normal. Akibatnya sebagian besar koleksi saya malah jadi tak terawat. Tak jarang ketika akan menghadiri acara/keperluan tertentu malah sering bingung memilih pakaian yang akan dipakai. Akhirnya saya memutuskan untuk menyumbangkan sebagian besar koleksi pakaian tersebut. Pilihan saya lebih sedikit, tapi saya merasa jauh lebih bahagia.

Hal yang sama juga terjadi dalam urusan personal relationship. Seiring dengan meningkatnya status dan meluasnya lingkup pergaulan kita, maka hubungan yang bisa kita bangun jadi semakin banyak. Akan ada makin banyak pilihan-pilihan lawan jenis yang bisa kita dekati untuk membangun hubungan pribadi yang bersifat intim. Tapi yang terjadi justru kita akan semakin susah menentukan pilihan. Kita jadi pandai menolak dan pasang standar tinggi. Ketika banyak rekan-rekan sejawat yang sudah menikah, kita malah berkutat pada pilihan-pilihan yang belum ada kepastian. In the end, kita malah jadi tidak merasa happy.

Dalam dunia politik, hal yang sama juga terjadi. Kita memang negeri yang sangat demokratis—siapapun bebas mendirikan partainya. Maka tak heran bila jumlah partai politik menjadi begitu banyak. Akibatnya, demokrasi menjadi tidak efektif karena banyak waktu dan energi (dan uang) terbuang untuk melakukan lobi-lobi politik. Kebijakan yang sudah ditetapkan juga akan sulit dijalankan karena banyaknya kepentingan yang beragam. Hal ini tidak akan kita jumpai seandainya jumlah partai politik tidak sebanyak sekarang ini.

Jaman sekarang kita hidup di era informasi. Tantangan yang dihadapi bukan lagi mengumpulkan informasi, melainkan memilah informasi. Makin banyak informasi yang kita dapatkan justru membuat kita bingung. Makin banyak informasi berarti makin banyak noise dan distraction. Makin banyak informasi juga membuat kita makin tidak fokus. Jadi, pilihlah informasi yang hendak Anda terima—entah itu dalam bentuk berita, siaran televisi, radio, suratkabar, blog, sampai Twitter.

So, do you want to be happy? Limit your options!


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Enam Tahun Penantian

Dibandingkan Steven Spielberg, mungkin Ang Lee belum ada apa-apanya. Di malam penganugerahan Academy Award beberapa tahun lalu, Life of Pi “hanya” memperoleh 11 nominasi Oscar. Jumlah ini masih di bawah Lincoln karya Steven Spielberg yang memperoleh 12 nominasi. Tapi ada cerita menarik dibalik perjuangan dan kesuksesan Ang Lee.

Ang Lee mendaftar jurusan perfilman di University of Illinois pada tahun 1978. Ayahnya keberatan dengan pilihan anaknya karena di Broadway hanya tersedia 200 peran untuk 50.000 pekerja seni. Ayahnya makin skeptis karena di masa itu sangat jarang seorang berkebangsaan China bisa menembus industri film Hollywood. Walau begitu, Lee nekat terbang ke Amerika mengejar mimpinya. Keputusan ini harus dibayar mahal dengan memburuknya hubungan Lee dengan ayahnya selama dua puluh tahun berikutnya.

Pada akhirnya, Lee berhasil lulus dan mulai mengejar mimpinya. Di tahun 1984, ia mulai bekerja serabutan seperti membantu kru film, bekerja sebagai asisten editor, dan sejumlah pekerjaan tak penting lainnya di belakang layar. Pada saat yang bersamaan, ia juga mengirimkan skenario karyanya kepada sejumlah rumah produksi yang berbeda. Semua berujung pada penolakan. Tapi Lee masih percaya bahwa inilah jalan hidupnya.

Saat itu Ang Lee berusia 30 tahun. Bagi seorang Chinese, usia 30 adalah titik dimana seseorang seharusnya sudah mapan dan bisa menghidupi dirinya sendiri. Sementara Lee saat itu hanya bisa mengirimkan skenario, menunggu jawaban dari rumah produksi, sembari terus bermimpi suatu saat bisa menjadi movie director profesional.

Untungnya Lee memiliki seorang istri yang sangat mendukung mimpinya itu. Istrinya, Jane, adalah seorang microbiologist teman semasa kuliah Lee. Jane bekerja di sebuah lab riset farmasi kecil dengan penghasilan yang pas-pasan. Saat itu mereka sudah dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Haan.

Lee menjalani hari-harinya dengan mengurus segala pekerjaan rumah tangga dan mengasuh Haan. Ia juga masih terus membaca, mereview film, menulis skrip, dan mengirimkannya dengan harapan suatu saat ada yang tertarik membiayai filmnya itu. Setiap malam, Lee membacakan cerita kepada Haan sampai ia tertidur. Bagi seorang laki-laki, menjalani hidup seperti ini tentu merupakan sesuatu hal yang memalukan.

Sampai suatu hari, Lee memutuskan bahwa mimpinya itu hanyalah ilusi belaka. Ia harus menghadapi realita hidup yang ada di depan matanya. Akhirnya Lee kemudian diam-diam mengambil kursus komputer di community college dekat tempat tinggalnya di White Plains, New York. Ia berpikir bahwa pengetahuan dan pengalaman menggunakan komputer akan membuat dirinya lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Menyadari perubahan perilaku suaminya, Jane curiga dan menemukan jadwal materi kuliah di tas milik Lee. Tapi Jane hanya diam saja sepanjang malam.

Keesokan paginya sebelum berangkat kerja, Jane hanya berkata, “Ang, don’t forget your dream.” Pernah suatu hari, saudara-saudara Jane memberinya uang yang cukup besar agar Lee membuka restoran China. Tapi uang itu ditolak Jane. Ia percaya dan mendukung mimpi Lee sepenuhnya. Ia juga mengingatkan kepada suaminya, “I’ve always believed that you only need one gift. Your gift is making films. There are so many people studying computers already. They don’t need Ang Lee to do that. If you want that golden statue, you have to commit to the dream.”

Lee kemudian mengambil berkas-berkas kursus komputernya, lalu merobek-robeknya, dan membuangnya ke tempat sampah. Selama enam tahun berturut-turut ia bekerja keras tanpa mendapatkan feedback apapun dari industri film yang dicintainya itu. Barulah pada tahun 1990, di usianya yang ke-36, Lee memenangkan kontes penulisan skrip yang disponsori oleh Pemerintah Taiwan. Tahun berikutnya, Ia mulai menyutradai karya pertamanya yang berjudul Pushing Hands.

Setelah Pushing Hand, Lee kemudian menyutradarai The Wedding Banquet. Film inilah yang membukakan jalan baginya menembus pasar Amerika. Walaupun telah memenangkan nominasi Best Foreign Picture, tapi ia masih belum “dianggap” oleh industri perfilman Hollywood. Dua tahun berikutnya, Sense and Sensibility mulai mengangkat nama Lee. Akhirnya semua kerja keras dan pengorbanan Lee terbayar ketika Crouching Tiger, Hidden Dragon sukses di pasaran. Menyusul kemudian Brokeback Mountain dan terakhir Life of Pi.

Persistensi luar biasa dari seorang Lee dan pengorbanan yang begitu besar dari Jane selama enam tahun tanpa hasil, akhirnya terbayar sudah.

Kini, semua orang tentu ingin memperoleh kesuksesan seperti apa yang dirasakan Ang Lee saat ini. Tapi apa iya semua orang mau berkorban seperti apa yang sudah Lee (dan Jane) lakukan? Orang sering bilang, “follow your passion!” atau “if you do what you love, success will follows.” Tapi seberapa kuatkah Anda menunggu? Atau lebih baik segera keluar dan mencari pilihan lain yang lebih menarik? Kebanyakan orang memilih keluar.

Bayangkan saat ini (tahun 2016, red) Anda ada di situasi seorang Ang Lee pada tahun 1990. Enam tahun ke depan Anda harus menjalani hidup yang begitu miserable sampai tahun 2022. Itu artinya sampai masa pertangahan kepemimpinan presiden calon pengganti Jokowi kelak. Setiap lebaran dan pertemuan keluarga, Anda harus menghadapi pertanyaan orang-orang, “Gimana kabar film kamu?” Sementara orang lain yang sepantaran Anda sudah memperoleh kesuksesan, Anda masih saja jalan di tempat.

Seorang atlit tentu ingin mendapatkan medali perlombaan. Seorang penulis novel pasti ingin karyanya jadi top best-seller. Seorang musisi pasti ingin albumnya memperoleh platinum. Seorang entrepreneur pasti ingin usahanya bisa mendunia. Seorang investor tentu ingin harga saham yang dimilikinya naik berlipat ganda. Tapi seberapa besar pengorbanan yang diperlukan untuk meraih semua itu?

Memang benar, bakat dan jenius berkontribusi besar pada kesuksesan seseorang. Tapi, menurut saya, yang jauh lebih penting adalah your ability to out-last everyone through the tough and crappy times. Dan itu bisa dilakukan dengan determinasi yang tinggi, dukungan kuat dari orang-orang di sekitar Anda, atau karena memang tak ada lagi pilihan lain.

Ketika manuskrip Anda ditolak, masihkah Anda antusias menghasilkan karya-karya baru? Ketika pembajakan ada dimana-mana, masihkah Anda mau menggubah lagu dan membuat demo rekaman? Ketika pasar sedang bearish, masihkah Anda confident dengan saham Anda? Ketika sedang didera cidera, bisakah Anda tetap berlari dan memenangkan lomba?

Life of Pi memang film (dan novel) yang sangat menarik. Tapi Ang Lee juga memberikan inspirasi: your achievements of tomorrow may be very well be planted with the seeds of today’s disappointments.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Mari Berhenti Berinovasi

Marilah kita berhenti sejenak mengagung-agungkan jargon “inovasi.” Leonardo Da Vinci, Henry Ford, Albert Einstein, atau Thomas Alva Edison adalah segelintir tokoh yang bisa dibilang inovator di bidangnya masing-masing. Namun, mereka sendiri sangat jarang menyebut kata tersebut.

Kajian literatur yang dilakukan oleh Berkun (2008) dari memoar, biografi, maupun catatan hidup dari tokoh-tokoh tadi malah menunjukkan banyak kosakata seperti “problem”, “experiment”, “solve”, “exploration”, “change”, “risk”, dan “prototype”. Jadi buat apa kita menyebut kata “inovasi” secara berlebihan?

Maka tak heran bila inovasi akhirnya hanya menjadi sesuatu yang dilebih-lebihkan (overrated). Akademisi, praktisi industri, bahkan pemerintah tak jarang memaknai inovasi secara salah kaprah. Inovasi yang memiliki makna sakral akhirnya hanya menjadi jargon (buzz word) yang lemah kesaktiannya.

Memang benar, kita mungkin telah merasa mengadopsi slogan dan sikap mental (attitude) inovasi namun tidak benar-benar memaknai kedalamannya. Memang benar, kita fasih menguasai literatur terkini tentang inovasi, tapi kita tidak pernah menyelami infrastruktur di balik paradigma tersebut.

Sikap yang boleh dibilang arogan ini bisa membuat kita semua terjebak (stuck) pada jejak langkah (trajectory) yang salah. Celakanya, sekali kita memilih langkah yang salah, kita akan terus tersesat dalam labirin yang kian menjauhkan kita dari pintu keluar.

Kita sangat fasih mengadopsi teknologi-teknologi terbaru—sebut saja BlackBerry, iPad, kamera DSLR, dan piranti-piranti canggih lainnya. Tapi apakah adopsi tersebut bisa meningkatkan kapasitas kita sebagai manusia?

Piawai mengoperasikan iPad bukan berarti lantas membuktikan bahwa kita lebih pintar. Menenteng kamera DSLR terkini juga tidak otomatis membuktikan bahwa kita adalah fotografer profesional. Lebih celaka lagi bila adopsi tersebut didorong oleh alasan gengsi semata dan hanya dimanfaatkan untuk keperluan yang remeh (trivial).

Kita juga begitu terobsesi untuk meningkatkan daya saing dan mengejar ketertinggalan lewat inovasi—tapi dengan ceroboh melompati tahap-tahap yang semestinya harus dilalui. Kita ingin mengadopsi teknologi wireless (WiMAX), tapi lupa bahwa infrastruktur kabel telekomunikasi kita masih berantakan. Kita ingin segera beralih pada masyarakat berbasis virtual money (e-money), tapi lupa bahwa infrastruktur keuangan kita belum benar-benar solid. Kita ingin lolos ke Piala Dunia dengan menaturalisasi pemain asing, tapi mengabaikan proses pembinaan dan kompetisi usia dini.

Jejak langkah (trajectory) yang salah tersebut tercermin pada corak masyarakat kita yang aneh dan tergagap-gagap. Di jalan Thamrin-Sudirman kita dengan mudah menemukan mobil Ferrari atau Porsche terkini, tapi tak jauh masuk ke dalam, ada permukiman kaum proletar yang termarjinalkan.

Tak sedikit dari kita yang menenteng BlackBerry, iPad dengan bangga, tapi ada sekolah yang tak memiliki papan tulis dan atapnya bocor. Televisi menayangkan sinetron yang tokohnya terlihat kaya dan mapan, padahal mayoritas penduduk kita masih berada di level menengah bawah.

Kita juga rajin mengadopsi teknologi komputer dan audio video terkini yang mahal harganya, tapi CD dan DVD bajakan tersebar dimana-mana. Pasar saham tumbuh signifikan, tapi petani dan pengrajin di daerah masih kesulitan memasarkan hasil kerjanya.

Dalam karya klasiknya, The Innovator’s Dilemma, Christensen (1997) mengatakan bahwa perubahan teknologi adalah penggerak dalam inovasi. Tapi tanpa ruh yang jelas, inovasi akan kehilangan arah.

Inovasi seharusnya berangkat dari realita yang berkembang di sekitar kita. Inovasi seharusnya bukan semata-mata mengadopsi apa yang sudah dilakukan orang (bangsa) lain tanpa memikirkan konteks lokal pengadopsinya. Teknologi hanyalah alat bantu yang membuka pintu masuk menuju kehidupan yang lebih baik. Terbaru dan tercanggih tidak selalu berarti terbaik.

Meminjam istilah Herry-Priyono (2010), inovasi seharusnya merupakan kapasitas untuk memperbarui daya-hidup (viability) suatu masyarakat. Inovasi selayaknya dimaknai sebagai aktivitas yang kita lakukan bersama-sama agar kehidupan kita bisa berlanjut, bertahan, dan berkembang menjadi lebih baik. Seharusnya kita justru merasa malu apabila inovasi-inovasi yang telah kita lakukan selama ini tidak menjadikan daya-hidup kita sebagai manusia menjadi lebih baik.

Mungkin kita tidak membutuhkan inovasi mobil pribadi yang nyaman dan irit bahan bakar. Mungkin yang kita butuhkan hanyalah sarana transportasi massal yang murah, handal, dan bisa memindahkan ribuan (atau bahkan jutaan) manusia dengan cepat dan aman.

Mungkin kita tidak membutuhkan inovasi di pasar modal (capital market) dan pasar uang (money market) kita. Mungkin yang kita butuhkan hanyalah program pendampingan bagi petani, nelayan, dan pengrajin di daerah agar mereka bisa memasarkan hasil jerih payahnya tanpa perlu terlibat dengan rentenir, pengijon, dan tengkulak.

Mungkin kita tidak membutuhkan inovasi pembangkit listrik bertenaga nuklir terbaru. Mungkin yang kita butuhkan hanyalah pembangkit listrik bertenaga air ukuran mini yang bisa diproduksi dengan murah dan dipasang di sungai-sungai pedalaman Papua dan Kalimantan.

Mungkin kita tidak membutuhkan inovasi tayangan yang futuristik dan penuh efek 3D. Mungkin yang kita butuhkan hanyalah tayangan seperti “Keluarga Cemara” atau “Si Doel Anak Sekolahan” yang memuat kebijakan lokal (local wisdom) seperti kebanyakan masyarakat kita.

Jadi, marilah kita berhenti berinovasi. Sebaliknya, mari kita sama-sama memperbaiki etos dan cara berpikir kita. Berangkatlah dari problematika riil yang kita hadapi di lingkungan sekitar kita. Temukan solusi yang benar-benar bernilai untuk memecahkan masalah itu. Dan terakhir, gunakanlah amunisi tersebut untuk meningkatkan daya-hidup kita sebagai umat manusia.

Referensi:

  • Berkun, S. (2008) Why Innovation is Overrated. Harvard Business Review Blogs.
  • Christensen, C. M. (1997), The innovator’s dilemma: when new technologies cause great firms to fail, Boston, Massachusetts, USA: Harvard Business School Press.
  • Herry-Priyono, B. (2010) Menanam Kembali Inovasi. Outline diskusi “Membumikan Inovasi,” Centre for Innovation Policy & Governance, Jakarta, 8 Desember 2010.

By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Membeli Kebahagiaan dengan Uang

Money has never made man happy, nor will it, there is nothing in its nature to produce happiness. The more of it one has the more one wants.

Ben Franklin

Penelitian memang membuktikan bahwa uang bisa membeli kebahagiaan, tapi pengaruhnya ternyata tidak sebesar itu. Banyak studi psikologi membuktikan bahwa peningkatan jumlah gaji, pada level tertentu, hanya memberikan sedikit (atau bahkan nol) kepuasan. Pada akhirnya, orang akan cenderung menghabiskan berapapun penghasilan yang mereka peroleh.

Sebagai contoh, misalkan gaji Anda naik Rp 5 juta. Anda mulai menambahkan audio set mutakhir di mobil Anda. Anda senang membeli baju-baju bermerk ekslusif. Anda mengambil cicilan rumah yang lebih besar. Begitu seterusnya. Pada akhirnya Anda akan bertanya-tanya, “Gaji saya naik Rp 5 juta per bulan, tapi kemana perginya uang itu?”

Apa kata para pakar tentang fenomena ini? Bagaimana cara kita mengatasi “jebakan” ini?

Prinsip 1: Lebih baik membeli pengalaman daripada membeli barang

Eksperimen yang dilakukan Carter dan Gilovich (2010) menunjukkan bahwa responden yang membeli pengalaman (experiential purchases) cenderung lebih bahagia daripada mereka yang membeli barang (material purchases). Manusia punya kemampuan adaptasi secara cepat. Setelah membeli sepeda baru dan melewati masa honeymoon period, sepeda baru itu pada akhirnya tak beda dengan sepeda lainnya. Sebaliknya, pengalaman membeli perjalanan ke Raja Ampat akan melekat dalam memori dari waktu ke waktu.

Penelitian dari Van Boven dan Gilovich (2003) juga menunjukkan bahwa manusia lebih cenderung mengingat kembali pengalaman-pengalaman yang sudah mereka beli di masa lalu daripada barang-barang yang pernah mereka beli. Sebagai contoh, Anda pasti bisa menceritakan setiap detil perjalanan Anda mendaki Gunung Semeru atau liburan honeymoon Anda bersama pasangan Anda. Tapi bisakah Anda menceritakan dengan sama detilnya ketika Anda pertama kali membeli motor atau mobil baru?

Prinsip 2: Lebih baik membeli untuk orang lain daripada untuk diri sendiri

Manusia adalah makhluk paling sosial di muka bumi ini. Hanya ada tiga makhluk hidup yang punya jejaring sosial lebih kompleks dari manusia. Tapi jejaring sosial manusia melibatkan lebih banyak individu yang acak dan tak terkait langsung (unrelated). Maka tak heran bila jejaring sosial memegang peranan penting dalam kebahagiaan manusia. Apapun yang kita belanjakan untuk meningkatkan koneksi kita kepada orang lain (prosocial spending) akan membuat kita lebih bahagia.

Riset membuktikan bahwa memberikan hadiah kepada pasangan bisa meningkatkan mood secara instan. Menyumbangkan sebagian uang kepada yayasan sosial/agama, menurut Schervish dan Szanto (2006), juga terbukti memengaruhi self-presentation kita secara positif. Sayangnya, meski konsep prosocial spending ini sudah diteliti di beragam kultur dan metodologi yang berbeda, tak banyak orang yang menjalankannya.

Sebaliknya, masih banyak orang beranggapan bahwa membelanjakan uang untuk diri sendiri akan membuat mereka lebih bahagia daripada mereka membaginya bersama-sama orang lain.

Prinsip 3: Lebih baik membeli banyak hal kecil daripada satu hal besar

Berjalan-jalan ke taman bersama pasangan seminggu sekali akan jadi lebih menyenangkan daripada perjalanan ke Disneyland yang dilakukan setahun sekali. Membeli satu cone eskrim di dua hari yang berbeda lebih menyenangkan daripada membeli dua cone eskrim dan menyantapnya sekaligus. Mengapa bisa demikian?

Wilson dan Gilbert (2008) menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang cepat beradaptasi terhadap novelty, surprise, dan uncertainty. Ketika melahap eskrim yang kedua di hari yang sama, kita sudah mulai beradaptasi dengan efek novelty, surprise, dan uncertainty tersebut.

Konsep segregasi ini juga menghindarkan kita dari efek diminishing marginal utility. Melahap dua mangkok bakso sekaligus tidak sama tingkat kesenangannya daripada menikmati semangkok bakso dalam dua hari yang berbeda. Riset yang dilakukan Nelson dan Meyvis (2008) menunjukkan bahwa responden lebih memilih dua kali pijatan selama 80 detik diselingi jeda 20 detik daripada pijatan kontinu selama 180 detik.

Prinsip 4: Bayar sekarang, gunakan belakangan

Konsep cicilan dan kartu kredit (gunakan sekarang, bayarnya belakangan) sebenarnya merusak kebahagiaan kita karena menjebak kita dalam shortsighted behavior. Kebiasaan ini mendorong kita untuk menumpuk utang dan malas menyisihkan uang untuk tabungan di masa depan. Padahal, tagihan cicilan dan kartu kredit akan berdatangan, dan ketika tagihan itu datang memaksa kita untuk melunasi hutang, pada saat itulah kesenangan kita buyar.

Sudah banyak penelitian membuktikan bahwa orang-orang yang mempunyai motivasi intrinsik dalam dirinya untuk menunda kesenangan sesaat dan menjadi lebih sabar dalam mengkonsumsi sesuatu, cenderung akan menjalani hidup yang lebih baik dan berumur panjang (Berns et al., 2007; McCLure et al., 2004).

Selain itu, konsep gunakan sekarang-bayar belakangan akan memupus efek antisipasi. Padahal, antisipasi adalah salah satu “sumber” kebahagiaan—bayangkan bila Anda menonton sebuah film tapi sudah tahu hasil akhirnya.

Prinsip 5: Hindari membandingkan pilihan yang ada

Belakangan ini banyak bermunculan situs-situs web yang menawarkan kita kesempatan untuk membandingkan harga suatu barang secara praktis dan mudah. Di satu sisi, fasilitas semacam itu membantu kita menentukan pilihan terbaik. Namun, secara tidak sadar fasilitas itu justru menggeser fokus kita dari mencari produk yang penting dan membahagiakan kita, menjadi pada atribut yang membedakan pilihan yang ada (Dunn et al., 2003).

Misalkan Anda sedang melihat-lihat rumah untuk dibeli. Pada awalnya Anda hendak membandingkan fitur penting, seperti: jumlah kamar, luas ruangan, atau kelengkapan fasilitas. Tapi faktor utama tersebut kemudian akan berganti fokus pada misalnya rumah A punya kanopi yang bagus atau di rumah B ada pohon mangga yang rindang. Anda tak lagi memilih rumah berdasar perbandingan faktor yang relevan. Selain itu, opsi yang tidak Anda pilih akan pelan-pelan menghilang dan tak lagi menjadi standar untuk perbandingan (Hsee & Zhang, 2004).

Akibatnya, membandingkan pilihan yang ada hanya akan membuat lebih subyektif, bukannya membantu Anda membuat pilihan yang rasional.

Selamat berbelanja!


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Media Sosial Pembawa Sengsara?

Tak bisa dipungkiri, media sosial adalah teknologi yang mampu mengakumulasi beragam informasi yang pernah ada sepanjang sejarah umat manusia dalam format yang begitu ringkas dan sederhana. Media sosial membuat kita bisa mengakses informasi tentang kehidupan dan masalah orang lain hingga membuat kita seolah ikut merasakan langsung pengalaman itu. Siapapun orang itu—kerabat, teman kerja, selebritis, politisi, hingga presiden—they’re just one click away.

Akibatnya, konsep “life streaming” dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Kegiatan memonitor aktivitas orang lain menjadi hal yang wajar. Kita mengikuti aktivitas orang itu lewat Facebook, Twitter, Path, Instagram, dan sebagainya. Monitoring of oneself and others thus becomes an expected normative part of this social interaction. Sampai-sampai, ketika seseorang yang kita “follow” di media sosial keluar dari pola aktivitas normalnya, kita bisa protes.

Kebiasaan “voyeurism” semacam ini sebenarnya bukan barang baru. Majalah dan tabloid gosip sudah beredar sejak puluhan tahun lalu. Acara-acara “reality show” di televisi juga sudah banyak menghiasi layar kaca. Begitu pula dengan tayangan infotainment yang makin banyak ragamnya. Ratingnya juga selalu tinggi. Kalau acara yang satu sudah mulai terlihat saturated, acara yang lain sudah siap menggantikan. Barangkali mengintip itu memang perbuatan yang menyenangkan.

Media sosial sangat membantu kita memfasilitasi kegiatan mengintip ini. Sebelum adanya media sosial, mengintip seseorang cuma bisa dilakukan dengan mengendap-endap masuk ke kamar pribadinya. Makin “direct” perbuatan mengintip itu dilakukan, biasanya makin dianggap ilegal. Media sosial kini membuat seseorang terbuka untuk diintip—mari kita sebut saja kegiatan ini dengan istilah “voluntary voyeurism” atau “permitted voyeurism”. Media sosial membuat perbuatan mengintip menjadi sesuatu yang tak hanya lebih mudah dan lebih cepat, tetapi juga legal.

Berapa kali Anda mengintip profil mantan pacar di Facebook? Berapa kali Anda melihat Twitter hanya untuk mengetahui apa yang sedang ia lakukan? Berapa kali Anda membuka-buka koleksi foto Instagram-nya? Pernahkah Anda berkenalan dengan seseorang yang menarik menurut Anda, lalu Anda search di Google untuk menemukan profil lebih detil tentangnya? Sebelum adanya media sosial, mungkinkah semua itu terjadi?

Dari kacamata si pengintip, media sosial memang bisa membawa sengsara. Pengintip akan selalu merasa takut ketinggalan berita, fear being left out. Tak peduli berapa banyak waktu yang sudah si pengintip habiskan di media sosial, akan selalu ada satu video baru yang mengundang untuk dilihat, satu artikel baru yang rasanya perlu dibaca, satu akun baru yang wajib di-follow, satu foto yang nampaknya harus di-like, dan seterusnya. Dalam tahap yang akut, bahkan smartphone yang berada dalam kondisi nonaktif pun punya kekuatan untuk “mengundang.”

Dalam konteks ini, media sosial akan selalu menang. Sebagai pengintip, Anda tak bisa terus menerus melakukan itu semua karena hal itu justru akan membuat hidup Anda tidak produktif dan tidak sustainable. Yang bisa Anda lakukan hanyalah membuat kontrol diri. If the content doesn’t feel rewarding in the long run, don’t consume it. Media sosial sudah menghabiskan banyak waktu dan pikiran Anda. Kalau Anda bisa mengendalikan diri, Anda akan punya sense of self-accomplishment yang membuat kontrol diri Anda makin kuat.

Tapi dari kacamata orang yang diintip, media sosial sesungguhnya bisa memberi banyak keuntungan. Titik balik Raditya Dika, misalnya, berawal ketika ia menulis kehidupan pribadinya semasa kuliah di Australia dengan gaya bahasa yang jenaka. Blog pribadinya yang berjudul “Kambing Jantan” itu kemudian ia bukukan, and the rest is history. Sama juga dengan Raisa Andriana. Empat tahun lalu, Raisa tak beda dengan remaja kebanyakan yang menyanyikan lagu-lagu orang lain lalu mengunggahnya di Youtube. Tahun 2011 major label menariknya dan 2012 ia sudah meraih banyak nominasi award.

Kuncinya sederhana: be an exhibitionist and build something that is entertaining. Menjadi exhibitionist bukan berarti Anda berlari di jalanan dengan telanjang. Menjadi exhibitionist adalah membelah diri Anda menjadi kepingan-kepingan kecil, lalu mengemasnya dalam boks dengan kertas kado dan pita yang menarik. Menjadi entertaining juga tak harus pandai menulis dan punya selera humor yang tinggi seperti Raditya Dika atau punya paras cantik dan suara indah seperti Raisa. Agus Mulyadi menjadi entertaining hanya karena piawai menertawakan dirinya sendiri.

Ambil sebagian dari diri Anda: bagian paling baik, bagian paling hebat, bagian paling konyol, atau bagian yang paling memalukan. Bagilah kepada orang banyak dan biarkan orang lain mengintip kehidupan Anda. Ijinkan mereka melihat masa lalu Anda, mengambil foto Anda, membaca pemikiran Anda, menonton video Anda, menyimak perjalanan hidup Anda. Karena pada akhirnya, media sosial adalah tentang diri Anda sendiri, bukan tentang orang lain. Mengutip Katy Perry, “You just gotta ignite the light and let it shine”.

Biarkan diri Anda bersinar supaya semua orang ingin mengintip Anda.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


“Follow Your Passion” itu Berbahaya

Banyak pembicara/penulis/motivator yang mengusung jargon “follow your passion”. Anda ingin melanjutkan kuliah tapi bingung memilih jurusan? Follow your passion! Anda ingin berbisnis, tapi masih bingung menentukan bidang bisnis yang ingin digeluti? Follow your passion! Terlihat sederhana dan seolah bisa menyelesaikan masalah bukan? Tapi ada kalanya “follow your passion” itu justru bisa berbahaya. Mengapa begitu?

Pertama, tidak selalu passion kita marketable dan menghasilkan uang. Saya suka menulis, tapi silakan cek daftar orang terkaya di Indonesia. Silakan cek penulis buku-buku best-seller di Indonesia. Saya berani bertaruh bahwa main income mereka yang terbesar bukan dari royalti buku. Saya juga suka bermain golf, tapi populasi pemain golf di dunia hanya 1%. Di Indonesia, para pegolf muda berbakat saja kesulitan mendapatkan sponsorship, apalagi amatiran seperti saya.

Sebagian dari Anda mungkin sama seperti saya—punya passion yang kebetulan tidak seksi dan marketable. Pada awalnya mengikuti passion itu menyenangkan, tapi lama-lama terpaksa gugur juga karena tuntutan keadaan. Akibatnya, passion itu terpaksa harus dipinggirkan dan memilih jalan hidup yang konvensional. Hidup jadi membosankan dan tak punya banyak pilihan. Golf terpaksa ditinggalkan demi melamar jadi PNS. Obsesi menulis novel hanya sebatas mimpi karena terlalu lelah dengan pekerjaan.

Kedua, mengerjakan passion demi kesenangan itu berbeda dengan mengerjakan passion karena tuntutan. Saya enjoy bermain golf karena bisa melepas stres dan penat di pekerjaan. Saya senang menikmati lapangan hijau yang terbuka sekaligus mendapat kenalan baru. Tapi semua itu menjadi berbeda ketika saya dituntut harus membuat skor serendah-rendahnya. Setiap pukulan yang pada awalnya saya nikmati berubah menjadi penderitaan ketika saya harus berlatih serius berjam-jam setiap harinya demi memenangkan pertandingan. Badan pegal-pegal, tangan penuh lecet, nyeri dimana-mana.

Saya juga suka menulis dan menuangkan pikiran saya. Saya senang ketika tulisan saya dinikmati atau bahkan bisa bermanfaat buat orang lain. Saya merasa puas ketika buku saya ada di rak-rak toko buku. Tapi menjadi berbeda ketika saya diminta harus menyerahkan 10.000 kata dalam satu hari atau dituntut untuk mengirimkan draft naskah buku dalam satu bulan. Ide-ide saya mendadak jadi buntu. Tulisan saya menjadi tidak mengalir dan sulit dibaca. Boro-boro menyenangkan hati, passion yang semula begitu saya cintai berubah menjadi sesuatu yang sangat saya benci.

Maybe this mindset works for some and maybe not for others, but bear with me: Bagi saya, “follow your passion” dan “making a living” adalah dua hal yang berbeda dan tak boleh dicampur aduk begitu saja. “Follow your passion” adalah tentang diri sendiri, tentang cinta, dan tentang subjektivitas. Sebaliknya, “making a living” adalah tentang orang banyak (market), tentang realita, dan tentang objektivitas.

Bagaimana “follow your passion” yang benar? Find something you love. Once you feel what passion to follow, don’t think about the outcome. Kalau Anda punya passion bermain golf, bermainlah dengan sepenuh jiwa raga. Seandainya Anda memenangkan turnamen atau mendapat hole-in-one, anggap itu sebagai bonus. Kalau Anda punya passion menulis, maka menulislah tanpa memikirkan berapa royalti buku Anda kelak. Seandainya tulisan Anda terbit dan menjadi best-seller, anggap itu sebagai bonus.

Bagaimana “making a living” yang benar? Find opportunities around you. Find out what skills you have and what value you have to offer the world, and do that. Anda bingung menentukan jurusan kuliah? Lihat sekeliling Anda. Cari jurusan yang sekiranya akan membuka banyak opportunity ke depan. Bingung memilih bidang bisnis? Lihat sekeliling Anda. Apa yang sekiranya bisa dijual? Kalau sudah, bangun skill Anda, add value to others, meet new people, find challenges, and create opportunities supaya bisa menjadi yang terbaik to offer to the world.

Sebagai seorang visioner di masanya, passion Steve Jobs bukanlah bisnis atau teknologi. Passion Steve Jobs adalah Budha. Sebelum mendirikan Apple, ia melakoni perjalanan spiritual ke India. Steve menjadi seorang vegetarian dan tetap menjalani ritual sampai akhir hidupnya. Kalau Steve Jobs hanya mengikuti “follow your passion“, mungkin ia akan kita kenal sebagai seorang biksu.

Justin Timberlake, walaupun berprofesi sebagai artis, ternyata punya passion bermain golf. Justin sering mengikuti turnamen amatir dan punya handicap 4.8. Angka tersebut sangat bagus untuk ukuran non-profesional, apalagi beberapa tahun sebelumnya handicap Justin Timberlake masih di angka 6.

Jimmy Walker, pegolf profesional yang memenangkan AT&T Pebble Beach National Pro-Am, punya passion sebagai seorang astrophotographer. Ia punya teleskop canggih di rumahnya dan suka menghabiskan berjam-jam mengamati bintang-bintang. Foto-foto hasil karyanya juga luar biasa.

Orang-orang tersebut di atas adalah para profesional di bidangnya, sangat mumpuni, and they have something to offer to the world. Mereka juga punya kehidupan yang menarik dengan pencapaian yang hebat di luar bidangnya masing-masing. Kehidupan profesional mereka penuh prestasi, tapi kehidupan personal mereka juga penuh warna.

Kuncinya sederhana, mereka menjalani “follow your passion” dan “making a living” dengan benar.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”