Prof. Rhenald Kasali

Durian Bang Ucok

Kalau Anda pergi ke Medan dan tidak menikmati duriannya, rugi besar. Bagi saya, rasa durian monthong asal Thailand tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan durian medan. Mungkin dari segi ukuran, durian monthong lebih besar dan dagingnya lebih tebal. Tapi, dari segi rasa, durian medan jauh lebih mantap. Ibarat cabe, durian medan adalah cabe rawit yang kecil tapi pedas. Sementara, durian monthong adalah cabe hijau. Besar, tapi tidak pedas.

Di Medan, salah satu gerai durian medan yang terkenal adalah Ucok Durian. Gerai ini dimiliki oleh Bang Ucok, begitu dia biasa disapa—meski nama sebenarnya adalah Zainal Abidin Chaniago. Bang Ucok sudah lebih dari 25 tahun menggeluti bisnis durian. Usia Bang Ucok kini menjelang 50 tahun.

Mulanya Bang Ucok hanya berjualan durian di emperan jalan. Namun, bisnisnya terus berkembang dan kini memiliki dua gerai, yakni di Jl. Iskandar Muda dan satunya lagi di Jl. Wahid Hasyim. Gerai Bang Ucok ini buka 24 jam, tetapi puncak keramaian adalah malam hari, saat jam makan malam. Ucok Durian kini sudah menjadi semacam ikon-nya Kota Medan. Kalau kita pergi ke Medan dan belum mampir ke gerai Bang Ucok, rasanya kurang lengkap.

Saya, yang beberapa kali mencicipi nikmatnya durian Bang Ucok, mencatat beberapa hal yang membuatnya mampu menjadi salah satu destinasi wisata kuliner di Medan.

Pertama, menyangkut urusan back office. Dahulu, di Medan dan sekitarnya, durian nyaris tak ada harganya. Setiap rumah dan kebun di desa-desa di Sumatera Utara nyaris memiliki tanaman durian. Ketika musim panen tiba, mereka tak tahu mau dijual ke mana durian-durian itu. Akhirnya sebagian dibiarkan matang di pohon, jatuh dan membusuk.

Adanya Ucok Durian membuat para pemilik kebun durian jadi tahu ke mana mesti menjual durian. Kini, Bang Ucok tak perlu repot-repot lagi mencari durian ke desa-desa. Para petani itulah yang mengirimkan duriannya ke Bang Ucok. Dia tinggal menyeleksi mana durian yang bagus, dan mana yang tidak.

Gerai Ucok Durian juga memicu munculnya gerai-gerai durian sejenis. Misalnya, ada gerai durian di Jl. Sumatera atau di kawasan Pasar Merah, Medan. Lalu, ada juga toko-toko yang menjual durian yang sudah diolah baik dalam bentuk pancake atau pie durian.

Berkembangnya gerai-gerai durian membuat para petani mengelola kebun duriannya sedemikian rupa untuk menjamin kontinuitas pasokan. Alhasil, di gerai Bang Ucok, durian selalu tersedia, tidak mengenal musim. Beda dengan di Jawa yang durian hanya bisa kita nikmati pada waktu-waktu tertentu.

Kedua, ini masih terkait urusan back office, yakni soal quality control yang ditangani dan di-supervisi langsung oleh Bang Ucok. Hasilnya, semua durian yang disajikan di gerai Ucok Durian memang terjamin rasanya. Pasti enak.

Di gerai Bang Ucok, kita akan disodori dua pilihan rasa durian: manis atau pahit. Kita tinggal menyebut, nanti Bang Ucok atau karyawannya yang akan memilihkan sesuai keinginan kita. Bagi saya, baik yang manis maupun yang pahit sama saja nikmatnya.

Ketiga, untuk menjamin kualitas rasa dan layanan, atau urusan front office, kalau ada durian yang disajikan ternyata tidak sesuai dengan keinginan, kita boleh minta ganti tanpa dikenai biaya tambahan. Apa yang Bang Ucok lakukan ini dalam istilah marketing kerap disebut dengan istilah quality assurance.

Control dan Assurance

Saya memang tidak sempat bertanya ke Bang Ucok apakah dia mengerti konsep quality control (QC) dan quality assurance (QA). Tapi, yang jelas dia menerapkannya.

Dalam ilmu marketing, quality control adalah sebuah proses yang bertujuan memastikan kualitas suatu produk/jasa. Melalui quality control, Bang Ucok akan memastikan apakah layanan produk/jasa yang diterima customer sudah layak, atau kurang sesuai dan perlu ditingkatkan lagi.

Bagaimana Bang Ucok bisa menjamin bahwa kualitas duriannya pasti enak? Semuanya berangkat dari puluhan tahun dia menekuni bisnis durian. Kita yang dari luar mengamati, sebelum menyajikannya ke pelanggan, Bang Ucok selalu mencium dan memukul-mukul durian tersebut. Setelah yakin, baru durian itu dia belah dan sajikan ke pelanggan. Pilihan Bang Ucok tak pernah salah.

Meski begitu tetap saja ada satu-dua pelanggan yang kurang puas. Untuk mereka, Bang Ucok tak segan-segan menggantinya dengan yang baru. Ini, dari sisi marketing, adalah penerapan konsep quality assurance, yakni langkah-langkah yang dilakukan untuk menjamin kepercayaan pelanggan terhadap kualitas produk/jasa yang kita berikan.

Intinya, baik quality control maupun quality assurance bertanggung jawab terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Quality control bertanggung jawab terhadap kualitas produk selama dalam proses produksi, sementara quality assurance lebih berorientasi pada layanan terhadap pelanggan.

Ikonik

Dua hal itulah yang, menurut saya, berperan penting dalam menjadikan Bang Ucok sebagai salah satu ikon kuliner Kota Medan. Dan, mengingat pentingnya quality control dan quality assurance, keduanya ditangani dan di supervisi langsung oleh Bang Ucok. Jadi, nama Bang Ucok sendirilah yang menjadi taruhannya.

Pertaruhan semacam ini memang sangat mahal, tapi Bang Ucok berhasil memenangkannya. Itulah sebabnya, pada penghujung Maret 2014 lalu, seusai meresmikan Bandara Kualanamu, malam harinya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani Yudhoyono, ditemani Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan beberapa pebisnis, menyempatkan diri mampir ke gerai Bang Ucok.

Belajar dari Bang Ucok, untuk bisa menjadi ikon, kadang kita tak perlu menunggu skala usaha membesar terlebih dahulu. Kecil, asal khas, sudah bisa. Bang Ucok telah membuktikannya.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Sleeping With The Enemy

Sebagian Anda tentu familier dengan judul film thriller awal 1990-an di atas yang dibintangi Julia Robert. Kisahnya lumayan menegangkan, tentang seorang istri yang berjuang menyelamatkan diri menghadapi suami yang berkepribadian ganda.

Kadang lembut, tetapi kali lain sangat kasar. Sebagaimana layaknya film-film Hollywood, film tersebut berakhir happy ending. Sang istri akhirnya berhasil menyelamatkan diri dan memperoleh pasangan baru yang baik hati.

Sayang, kehidupan kita tak selalu seperti film-film Hollywood. Banyak di antara kita terpaksa menerima kenyataan yang berbeda: harus rela hidup bersama dengan pesaing sepanjang waktu, Sleeping with the Enemy.

Dalam bisnis, itu adalah biasa. Dalam dunia perbankan, dulu bank menghabiskan miliaran rupiah untuk membuat jaringan mesin ATM di mana-mana. Akan kelihatan lebih gagah ketimbang pesaingnya kalau memiliki ribuan ATM yang ada di mall, minimarket, hingga tikungan jalan.

Kini sebaliknya, bank-bank sadar bahwa uang Rp 500 juta yang tersimpan dalam mesin ATM tidak produktif jika tingkat utilisasinya rendah. ATM malah menjadi cost, bukan sumber pendapatan.

Maka, ketimbang terengah-engah menyiapkan dana untuk membangun ATM, lebih baik berkolaborasi. Kini satu ATM bisa digunakan banyak bank yang tergabung dalam salah satu jaringan. Dalam bisnis, perilaku semacam itu kita sebut koopetisi. Bekerja sama, tetapi sekaligus berkompetisi.

Di industri otomotif, koopetisi bahkan dilakukan dua raksasa otomotif dunia, General Motors dan Toyota. Keduanya bekerja sama mengembangkan fuel cell cars yang menggunakan bahan bakar hidrogen.

Edge of Chaos

Dalam politik, fenomena Sleeping with the Enemy malah lebih terang benderang. Hari ini beberapa partai mendukung pasangan capres tertentu, beberapa hari ke depan mungkin sudah mengalihkan dukungannya ke capres lain yang kemarin dihina dina. Karena itu, dikenal ungkapan, hari ini kedelai, esoknya tempe atau tauge.

Kita yang berada di luar, sinis melihatnya: oportunis, tidak berpendirian. Tapi, begitulah politik, hanya kepentingan yang abadi. Lain-lainnya boleh disesuaikan dengan kebutuhan. Maka itu, sulit bagi politisi demikian mendapatkan respek publik dalam kehidupan sehari-hari.

Sleeping with the enemies bukan perkara mudah. Bayangkan, berkolaborasi dengan pesaing. Sebagian cemas karena pesaing bisa mengintip kelemahan kita. Dalam kasus ATM tadi, bank pemilik jaringan tentu bisa mengetahui kekuatan bank atau perilaku nasabahnya, berapa banyak nasabah ATM-nya, dana yang berputar, dan sebagainya. Kalau sudah tahu, bank-bank besar bisa menggunakan informasi tersebut untuk akuisisi, misalnya.

Kecemasan semacam itu menempatkan kita pada posisi yang saya istilahkan dengan edge of chaos. Itu adalah kondisi yang menempatkan kita di ambang kekacauan. Sederhananya begini. Setiap pagi kita selalu berada pada posisi itu. Kita harus memutuskan untuk tetap berada di rumah atau meninggalkan rumah yang berarti menembus belantara kemacetan dan siap menghadapi kekacauan lainnya.

Keduanya punya risiko. Memilih tetap di rumah nyaman, tetapi tidak mendapat nafkah untuk keluarga. Sementara itu, memilih meninggalkan rumah berarti siap tersiksa dengan kemacetan yang menggila dan memperoleh ganjarannya.

Bagi saya, mereka yang berani menempatkan diri pada posisi edge of chaos dan berani menghadapinya, adalah cermin perilaku para pemenang. Kalau sudah begitu, kita akan menikmati keterampilan self organizing, nanti semua akan tertata dengan sendirinya, secara otomatis.

Sekarang, Anda mau jadi yang mana?


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


City Branding

Saya ajak Anda sejenak ke Banyumas, kabupaten di Jawa Tengah. Bagi para pemudik Lebaran, nama Banyumas sangat familier. Sebab, saat pulang mudik, sebagian di antara mereka akan melintasi jalan-jalan di sana. Sebagian lagi kenal karena daerah tersebut dulu melahirkan banyak tokoh terkenal seperti jenderal polisi jujur sepanjang sejarah: Hoegeng.

Sekali lagi, hanya melintas. Bukan mampir. Mengapa? Sebab, nyaris tidak ada yang memikat di Banyumas yang membuat pemudik ingin mampir (dan tentu membelanjakan uangnya). Banyumas memang belum menjadi salah satu tujuan wisata. Orang lebih suka berwisata ke Solo. Atau, kalau ingin mencari udara sejuk, mereka memilih Dieng di Wonosobo.

Kondisi itu membuat Banyumas tidak banyak berkembang. Apalagi tidak kaya dengan sumber daya alam seperti minyak atau gas, layaknya Bojonegoro yang bergeliat di tangan Kang Yoto.

Namun, maret 2015, saya melihat geliat di kabupaten itu. Banyumas menggelar sayembara city branding. Tujuannya, memanfaatkan potensi di sektor pariwisata dan tentu potensi-potensi lainnya. City brandingdengan segala event-nya– merupakan cara untuk memikat orang agar mau datang ke sana. Dan harap dicatat, sebentar lagi Kediri yang dipimpin tokoh muda, Mas Abu, juga akan memikat kita seperti Banyuwangi. Insya Allah.

Persaingan Daerah

Di Indonesia, kini persaingan terjadi bukan hanya antar pebisnis, tapi juga antar daerah. Ini fenomena yang menggembirakan. Setiap daerah berlomba-lomba ingin lebih dikenal, lebih disukai investor, lebih mampu menyediakan lapangan kerja yang berkualitas, dan lebih ramai transaksi perdagangannya. Itu semua akan membuat uang yang datang dan beredar di daerah lebih banyak. Dalam konteks itulah city branding menjadi penting.

Sayangnya, di sisi lain, masih banyak pemimpin daerah yang belum sadar akan pentingnya city branding. Apalagi yang kaya sumber daya mineral. Akibatnya, daerahnya kaya, tetapi masyarakatnya kurang sejahtera.

Lalu, seberapa penting city branding?

Kalau kita bepergian ke Eropa atau Amerika Serikat, kadang kita merasa jengkel karena orang-orang di sana mengenal Bali, tetapi tidak tahu apa-apa tentang Indonesia. Bahkan, yang lebih menjengkelkan, mereka ternyata lebih tahu tentang Malaysia atau Singapura, tetapi tidak kenal dengan Indonesia –negara yang jauh lebih besar ketimbang dua negeri jiran tersebut.

Menggemaskan. Tetapi, apa mau dikata, Malaysia dan Singapura lebih dulu sadar akan pentingnya pencitraan atau branding. Malaysia ke mana-mana selalu bilang negaranya sebagai Truly Asia. Cukup ke sana saja, Anda sudah lihat semua ada. Singapura selalu menjual slogan Uniquely Asia. Kita?

Sejatinya, city branding mencakup aspek yang sangat luas. Sayangnya, kalau melihat slogan atau tagline city branding-nya, tampaknya lebih banyak terfokus pada kegiatan pariwisata. Coba saja Anda amati beberapa contoh.

DKI Jakarta mengusung slogan Enjoy Jakarta. Lalu, Jogjakarta dengan Jogja Istimewa. Pekalongan men-branding diri sebagai Kota Batik. Kendari, menurut saya, agak kurang jelas karena mengusung slogan I Like Kendari. Kota Bandung sejak lama menyebut diri sebagai Paris van Java. Mungkin yang agak ke luar sedikit adalah Kota Surabaya yang mem-branding diri dengan Smart City.

Padahal, bukan hanya pariwisata yang bisa ’’dijual’’ daerah. Contohnya, Selandia Baru. Mereka membangun citra negaranya dengan produk susu segar dan agrobisnisnya. Langkah itu ternyata mampu mengundang investor untuk menanamkan modalnya dalam bisnis peternakan sapi dan pengolahan susu serta perkebunan kiwi dan apel.

Dukungan Pusat

City branding sama sekali tidak untuk menggantikan strategi pembangunan daerah. Ia hanya menjadi pelengkap. Meski begitu, city branding ibarat brand promise. Ia juga janji. Jadi, harus ditepati. Karena itu, slogan sebuah kota harus menjadi mimpi bersama seluruh warganya.

Itu tidak mudah. Contohnya begini. Kita dengan mudah menemukan kota yang menyebut dirinya bersih dan beriman. Tetapi, sebentar saja berkeliling kota, kita dengan mudah menemukan timbunan sampah di berbagai sudut. Sampah itu basah dan berbau lagi. Artinya, sudah berhari-hari tidak diangkat.

Apanya yang beriman? Lihat saja, kekerasan yang bernuansa agama kerap terjadi di kota-kota tersebut. Berbeda sedikit saja tentang keyakinan, kekerasan mudah tersulut dan dibiarkan pula.

Mungkin ada benarnya syair lagu: ’’…tapi janji, tinggal janji.’’ Keberhasilan city branding memang sangat ditentukan oleh pengertian para pemangku kepentingan di kota tersebut.

Malahan, bukan hanya itu. Dalam sejumlah kasus, city branding juga memerlukan dukungan pemerintah pusat. Celakanya, banyak pula pejabat di pusat yang tidak seiring sejalan dengan pemerintah daerah.

Dulu, semasa menjadi gubernur Gorontalo, Fadel Muhammad ingin membangun daerahnya sebagai provinsi jagung. Karena itu, dia menganjurkan rakyatnya menanam jagung sampai berlimpah.

Suatu ketika, industri pakan ternak di Jawa mengeluh kekurangan jagung. Mestinya itu menjadi peluang. Tetapi, apa yang terjadi? Menteri perdagangan ketika itu malah membuka keran impor jagung.

Akibatnya, harga jagung pun anjlok. Para petani babak belur. Mereka kapok menanam jagung. Begitulah nasib city branding kalau yang satu maunya ke kanan, yang lain ke kiri.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Teori Tentang Harga

Kalau negeri tak berdaya, bukalah teori tentang harga. Harga bukan untuk di obral, melainkan untuk membentuk perilaku. Dan begitu teori tentang harga diabaikan, akibatnya mudah dilihat.

Ambil contoh jalan tol dalam kota di Jakarta. Alih-alih bebas hambatan karena berbayar, ternyata kerap kali ia lebih macet daripada jalan biasa. Kata orang, ada harga ada rupa. Harga yang pas akan menghasilkan kesenangan: sama-sama untung. Harga yang kemurahan juga berakibat sama: sama-sama buntung. Sudah membayar, masih mengumpat.

Tarif tol itu terbentuk karena pertemuan dua hal ini: konsumen vokal yang menuntut tarif murah dan pengambil keputusan yang populis.

Memang murah, tapi opportunity cost-nya besar. Padahal, apa susahnya mengatur harga? Bukankah pada jam-jam tertentu peminatnya tinggi sehingga harganya bisa dibuat tiga kali lipat? Sebaliknya, pada jam-jam kosong bisa diberi diskon.

Tampaknya itu juga yang terjadi dengan harga BBM, listrik, dan tiket pesawat terbang serta mungkin juga harga tahu dan tempe yang membuat produsennya semakin susah hidup. Namun anehnya, itu tidak terjadi pada bunga bank, premi asuransi, pulsa telepon, air mineral, rokok, atau segala barang dan jasa buatan asing yang kita bayar dari keringat kita. Harga rokok sudah di atas Rp 15.000, namun tetap laku. Demikian juga air minum dalam kemasan yang makin mahal.

Beberapa Contoh

Di Indonesia, kita sudah lama mengidam-idamkan sistem ekonomi yang efisien. Pada sistem itu, mekanisme pasar bekerja dengan sempurna. Harga terbentuk dari penawaran dan permintaan.

Perusahaan yang beroperasi pada sistem ekonomi seperti itu sehat. Artinya, pendapatan selalu berada di atas biaya. Biaya dapat dikendalikan, namun harga jual dapat disesuaikan dengan segmennya sehingga pembelinya loyal karena puas. Negara membuka banyak pilihan agar terjadi kontrol harga yang layak. Misalnya harga pertamax, yang begitu kemahalan, pembelinya beralih ke SPBU asing.

Saat ini harga avtur buatan dalam negeri ternyata 15 persen lebih mahal ketimbang harga bahan bakar avtur di luar negeri. Garuda melayani 600 penerbangan per hari. Dengan harga itu, kebutuhan bahan bakar mencapai USD 1,8 miliar per tahun. Komposisi biaya tersebut mencapai 35 persen–40 persen dari total biaya operasional.

Konon, harga avtur domestik mahal karena ia dibuat pada kilang-kilang tua yang dulu untuk membuat minyak tanah. Dengan tingkat kompleksitas yang rendah, kilang-kilang kita menjadi kurang efisien. Dan itu amat merugikan. Apalagi, tarif tiket pesawat (batas atas) diatur negara sehingga harganya tak bisa dinaikkan mengikuti kenaikan biaya.

Akibatnya, Garuda Indonesia saat ini terseok-seok. Pada semester I 2014, maskapai itu merugi Rp 2,4 triliun. Selain harga avtur, melemahnya nilai rupiah juga menjadi penyebab. Apalagi, sekitar 75 persen biaya operasional Garuda menggunakan dolar AS.

Itu baru di satu sisi. Di sisi lain, Garuda ternyata tak bisa menetapkan tarif penerbangan sendiri. Ada aturan batas atas dari pemerintah. Padahal, konsumen Garuda siap membayar dengan harga yang lebih tinggi asal layanan memuaskan. Padahal, kalau harganya kemahalan, pilihan lainnya pun sudah banyak. Tiap-tiap segmen pelanggan, akan berkunjung pada pintu yang sesuai dengan daya beli dan ekspektasinya.

Indonesia tentu harus menciptakan iklim usaha yang sehat. Apalagi menjelang ASEAN Economic Community (AEC). Kalau tidak, kita hanya akan menjadi pasar. Sudah tak efisien, salah menerapkan harga, tak membuka kompetisi yang sehat, lalu jasa-jasa yang harganya premium hanya dinikmati asing. Hal tersebut sudah lama terjadi dalam jasa pelayanan kesehatan tatkala pasien kelas atas berobat ke luar negeri.

Jangan Gebyah Uyah

Namun, mekanisme pasar harus diimbangi dengan pelayanan publik yang baik. Negeri ini masih membutuhkan pengaturan, terutama agar rakyat kecil tidak dikeluarkan dari pasar. Tarif tinggi boleh saja ditujukan kepada segmen premium, tetapi jangan memberikan kualitas buruk untuk rakyat yang diberi subsidi.

Saya masih ingat saat menikmati subsidi di Amerika Serikat. Sebagai pembayar pajak yang bergaji USD 1.500 (sebagai research assistant), kami termasuk dalam kategori pra-sejahtera. Namun, saat menikmati layanan kesehatan, kamar yang saya tempati bersebelahan dengan CEO perusahaan terkenal. Kami bisa sama-sama menikmati layanan kesehatan premium. Bedanya, biaya saya ditanggung negara. Dan, itu terjadi di negeri kapitalis.

Kasus itu tentu mengingatkan kita pada cara-cara subsidi yang masih jauh dari harapan selama ini. Saat harga beras melambung, rakyat hanya diberi raskin yang banyak batunya dan kurang layak dimakan. Rumah sakit rakyat juga hanya sekelas puskesmas dan banyak sekolah rakyat yang hampir roboh, bahkan gurunya pun honorer.

Semua itu menunjukkan bahwa teori harga belum benar-benar kita pahami.

Ada pasar, ada konstitusi. Keduanya harus bisa hidup berdampingan karena tujuan negeri ini adalah kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Dan sekarang ada kebutuhan untuk meningkatkan keunggulan daya saing. Dibutuhkan kebijaksanaan dan kewirausahaan untuk menata kehidupan, saat kesejahteraan kita tumbuh dengan tingkat yang beragam.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Pimpinan

Dunia bisnis beruntung kalau berhasil mendapatkan CEO yang hebat. CEO-CEO itu mampu membalikkan kerugian menjadi keuntungan dan keharuman. Dari tidak jelas arahnya menjadi fokus, efisien, dan kaya inisiatif.

Saya ajak Anda untuk mengenal beberapa. IBM, misalnya, sempat terpuruk pada 1990-an, saat dipukul DEC, dan pembuat komputer mini. Harga sahamnya melorot dari USD 43 (1987) menjadi USD 13 (1993) karena pasar tak percaya terhadap masa depan big computers. IBM beruntung karena berhasil mendapatkan Lou Gerstner (1993). Kini porsi hardware dan financing IBM tinggal di bawah 20 persen, sedangkan bisnis software-nya mendekati 50 persen.

Nissan lain lagi. Pada akhir 1999 mereka nyaris bangkrut. Utangnya mencapai Rp 200 triliun. Lalu, masuklah Renault yang membeli 37 persen saham Nissan, dan ngotot agar diberi opsi memilih CEO. Renault menunjuk Carlos Ghosn. Itu jelas tidak lazim bagi perusahaan Jepang, tabu dipimpin seorang gaijin, orang asing.

Maka, Nissan ngotot menolak. Sebaliknya, Renault bersikeras. Akhirnya Renault yang menang. Bagaimanapun, perusahaan yang tengah sekarat melemahkan daya tawar. Begitulah, akhirnya Goshn pun memimpin Nissan.

Menepis Status Quo

Apa yang dilakukan Goshn mirip CEO kita kala memimpin perusahaan yang tengah bermasalah. Intinya, membawa perusahaan keluar dari perangkap status quo, menemukan masalah utamanya, dan menyusun strategi penyembuhan.

Hampir semuanya memulai dengan membangun sense of urgency.

Itu jugalah yang dilakukan Emirsyah Satar di Garuda Indonesia. Kalau Goshn membuat Nissan Recovery Plan dengan strategi revitalisasi produk dan efisiensi habis-habisan, termasuk menutup pabrik yang tidak produktif, Emirsyah Satar mengarahkan revitalisasi internal menuju perusahaan publik yang transparan.

Selanjutnya Goshn membentuk tim inti untuk memastikan semua rencana pemulihan tersebut tereksekusi. Di Garuda Indonesia, semua eksekusi dipantau dan dipimpin langsung oleh Emirsyah Satar.

Hasilnya, kedua perusahaan itu mampu keluar dari krisis dan berubah menjadi perusahaan bereputasi tinggi. Garuda Indonesia kini dikenal sebagai premium airline dengan pengakuan awak kabin terbaik. Saya dengar gadis-gadis muda di Jepang (termasuk salah seorang Miss Japan) dan Korea berebut ingin menjadi stewardess Garuda.

Di Pelindo (IPC) kita mempunyai putra Rote, R.J. Lino, yang punya pengalaman sebagai eksekutif pada pelabuhan internasional di luar negeri. Lino membongkar kebiasaan lama, memperbarui pelabuhan (New Tanjung Priok) dengan investasi-investasi baru, dan meremajakan manajemen perusahaan. Hasilnya, profitabilitas perusahaan dan produktivitas meningkat. Kelak Indonesia akan memiliki pelabuhan yang minimal sejajar dengan negeri tetangga.

CEO yang tak kalah fenomenal adalah Ignasius Jonan dari PT Kereta Api Indonesia (KAI). Sejak Februari 2009 perusahaan itu merugi. Berbeda dengan CEO Barat yang menggunting birokrasi dan mengurangi gaji, Jonan justru memulainya dengan menaikkan remunerasi tiga kali lipat.

Bagaimana perusahaan yang merugi bisa menaikkan remunerasi? Saya pun bingung, tapi faktanya bisa karena terlalu banyak inefisiensi yang bisa diselamatkan dengan bekerja keras. Mereka juga berubah dari product oriented ke customer oriented.

Anda tahu apa kunci sukses CEO-CEO itu? Sederhana: buat rencana, kerjakan, dan awasi pelaksanaannya. Kalau mau ditambahkan lagi, selain leadership yang kuat, mereka punya entrepreneurship. Maka, kesalahan perguruan tinggi kita dewasa ini sederhana saja, menyamakan entrepreneurship sebagai entrepreneur. Padahal, entrepreneurship dibutuhkan bukan semata-mata untuk menjadi entrepreneur.

Dari beberapa cerita tadi, semua masalah bisa selesai kalau kita mampu memilih pemimpin yang tepat. Di buku Cracking Zone saya menyebut pembaharu itu sebagai the cracker, bukan sekadar leader.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Sarjana Kertas

Suatu pagi saya iseng menyimak iklan lowongan kerja di berbagai media cetak. Jangan salah paham, saya tidak sedang mencari-cari pekerjaan. Iseng saja. Ketika membaca iklan-iklan tersebut, ternyata di sana saya masih menemukan lowongan yang mencari tenaga kerja untuk kategori official development program (ODP) dan management trainee (MT).

Bagi mereka yang bergerak dalam bidang sumber daya manusia (SDM), istilah ODP atau MT menggambarkan bahwa perusahaan-perusahaan harus menempa dulu para fresh graduate yang direkrutnya sebelum menerjunkannya ke dunia kerja. Itu tentu membutuhkan investasi tersendiri yang tidak murah.

Beberapa perusahaan besar, saya tahu, memiliki semacam pusat-pusat pendidikan dan pelatihan untuk menempa para fresh graduate tersebut. Di sana, mereka diajari mulai sejarah perusahaan, tata nilai, dan budaya kerjanya, sampai hal-hal praktis yang terkait dengan pekerjaan sehari-hari. Ada pula yang sampai memberikan soft skill-nya.

Semua itu –pakai bahasa langsung saja– cermin betapa kebanyakan fresh graduate kita belum siap kerja, mentalitas passenger. Mereka baru siap tempa. Sebagai seorang pendidik, itu tentu menjadi semacam otokritik untuk saya. Rupanya banyak materi pelajaran di perguruan tinggi yang tidak nyambung dengan kebutuhan industri.

Moral Hazard

Sekarang mari kita lihat potret yang lebih besar lagi. Menurut kajian McKinsey Global Institute, Indonesia (2012) menempati peringkat ke-16 perekonomian dunia dan memiliki 55 juta tenaga terampil (skilled worker). McKinsey memperkirakan, pada 2030 Indonesia akan menjadi negara terbesar ketujuh di dunia. Untuk sampai ke sana, kita membutuhkan 113 juta skilled worker.

Apa artinya? Di sini kita bicara mengenai skilled worker, tenaga terdidik yang betul-betul terampil. Betul-betul kompeten. Atau, kalau kita sederhanakan, siap kerja, bukan hanya bergelar S-1, S-2, atau S-3.

Celakanya, sistem pendidikan dan lingkungan sosial kita masih mengidolakan gelar. Bahkan, gelar pendidikan kerap berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan. Masih banyak promosi jabatan di lingkungan instansi pemerintahan maupun BUMN yang ditentukan oleh gelar.

Maka, tak heran kalau banyak pegawai negeri sipil (PNS), juga pegawai BUMN dan swasta, berlomba-lomba melanjutkan pendidikan ke jenjang S-2 atau S-3. Sebab, hanya dengan cara itulah, mereka bisa naik jabatan menjadi kepala bagian, misalnya. Atau, kalau di BUMN, mungkin bisa menjadi general manager.

Bahkan, saat kampanye politik, gelar akademis, apalagi kalau sampai berderet, seakan membuat peluang seseorang untuk terpilih lebih besar. ”Daya jualnya” menjadi lebih tinggi. Kalau dia terpilih, pasti kesejahteraannya meningkat.

Pada banyak kasus, kondisi semacam itu memicu moral hazard : memperoleh gelar jauh lebih penting ketimbang mencari ilmu guna meningkatkan kompetensi. Jadi, asal bisa mencantumkan gelar S-1, S-2, atau S-3, meski perguruan tingginya entah berada di ruko sebelah mana, atau numpang di salah satu sekolah, bukan persoalan. Bahkan, tak penting pula dosen-dosennya datang dari mana. Pokoknya asal bisa lulus dan bisa memperoleh gelar.

Kita juga bisa memotret fenomena itu dari maraknya bisnis jasa pembuatan skripsi, tesis, dan desertasi. Jasa-jasa itu tersedia karena para mahasiswa ingin cepat lulus dan memperoleh gelar sesuai dengan keinginan mereka.

Bahkan, ada yang caranya lebih kasar, jual beli ijazah. Cobalah masuk Google dan ketik kata kunci ”jual ijazah”. Di sana, kita akan menemukan iklan yang menawarkan gelar S-2 berbiaya Rp 2 juta–Rp 3,5 juta, bergantung pilihan universitasnya. Untuk gelar S-3, tarifnya Rp 2,5 juta–Rp 4 juta. Syaratnya, cukup kirim biodata dan transfer uang. Miris, bukan?

Skilled Worker

Fakta-fakta itu jelas berkaitan langsung dengan kompetensi skilled worker. Mereka memang menyandang gelar sarjana, baik S-1 atau bahkan S-2, tetapi semuanya hanya ”sarjana kertas”. Bukan atas dasar kompetensi yang dimilikinya.

Itu sebabnya 17 persen dari lulusan perguruan tinggi kita masih menganggur. Kisah tentang Ignatius Ryan Tumiwa, lulusan S-2 yang minta agar bisa membunuh dirinya secara legal, seakan-akan mengukuhkan potret tersebut. Dia frustrasi karena sudah bertahun-tahun lulus, tapi masih menganggur.

Kita tentu tidak boleh membiarkan hal semacam itu menjadi berlarut-larut. Akhir 2015 kita akan memasuki era ASEAN Economic Community (AEC). Supaya bisa bersaing, kita membutuhkan SDM-SDM yang kompeten. Bukan sarjana kertas.

Masalah yang terjadi di dunia pendidikan kita ini akan menjadi tantangan tersendiri, bukan hanya bagi pemerintahan Jokowi-JK, tetapi bagi kita semua.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Rigiditas

Kita yang membaca berita ini tentu gemas. Menjelang pertengahan Desember 2014, Provinsi DKI Jakarta mendapat lima bus tingkat dari seorang pengusaha. Busnya bagus, buatan perusahaan otomotif asal Jerman.

Rencananya bus itu bakal digunakan sebagai angkutan gratis. Anda tahu bukan, sejak 17 Januari 2015 berlaku larangan bagi pengendara sepeda motor untuk melintas mulai Bundaran HOTEL INDONESIA (HI) sampai Jalan Medan Merdeka Barat. Pengendara yang melintas akan kena tilang.

Peraturan itu menuai pro dan kontra. Mereka yang kontra jelas geram.

Buat larangan memang mudah. Sekarang apa solusinya bagi para pengendara sepeda motor?

Di antaranya lima bus tingkat tadi. Kelak, berbarengan dengan lima bus tingkat lainnya yang sudah dioperasikan, bus tingkat itu akan hilir mudik sepanjang Bundaran HI hingga Medan Merdeka Barat.

Pengendara sepeda motor dipersilakan naik bus tingkat tersebut. Gratis.

Tapi, apa yang terjadi? Lima bus sumbangan tadi tak bisa beroperasi lantaran tak sesuai dengan PP No 55/2012 tentang Kendaraan. Bus itu memakai kerangka yang lebih kecil, bukan kerangka bus tingkat. Akibatnya bus menjadi lebih ringan. Maklumlah, perusahaan pembuatnya kelas dunia yang mempunyai tradisi inovasi. Jadi selalu ada pembaruan yang didasarkan riset. Maka, kendaraan ini beratnya hanya 18 ton.

Padahal, sesuai PP tersebut, bus boleh beroperasi kalau beratnya 21- 24 ton. Kita sebagai masyarakat awam tentu bertanya-tanya. Bukankah kalau lebih ringan, usia pakai jalan-jalan di Jakarta bisa lebih lama. Lalu, bus gandeng Transjakarta buatan Tiongkok beratnya lebih dari itu, sekitar 31 ton. Mengapa Transjakarta boleh beroperasi?

Kacamata Kuda

Bus tingkat tadi adalah satu dari sejumlah kasus yang menggambarkan betapa tingginya rigiditas birokrasi di negara kita. Tapi, sesungguhnya di banyak negara, birokrasi memang terkenal rigid. Saya melihat hal-hal semacam ini tidak dikomunikasikan secara jelas oleh para penegak hukum. Mungkin karena mereka merasa itu bukan urusan kejaksaan atau kepolisian.

Urusan mereka hanya sebatas bagaimana mengembalikan Labora ke penjara. Titik. Kalau cara pandang ala kacamata kuda seperti ini terus dipertahankan, saya khawatir upaya paksa kejaksaan dan kepolisian bakal terus menghadapi perlawanan dari masyarakat.

Di dunia bisnis, kasus rigiditas juga berlimpah. Misalnya menyangkut ketenagakerjaan kita.

Para pengusaha menilai pasar tenaga kerja kita terkenal sangat rigid. Masih banyak tenaga kerja kita yang under qualified. Produktivitasnya rendah, banyak menuntut, dan sukanya bikin ribut. Bahkan sampai ke kampus-kampus yang dikuasai pembuat aturan yang lebih suka membuat lulusannya menjadi ribet dan kompleks, ketimbang agile dan dinamis. Namun, coba Anda cek betapa sulitnya perusahaan kalau mau mem-PHK karyawan yang semacam itu.

Sudah harus menghadapi serikat pekerja, perusahaan masih harus berurusan dengan dinas-dinas ketenagakerjaan yang ada di kotanya. Selain itu, prosesnya juga memakan waktu yang sangat lama. Itu sebabnya, menurut survei Bank Dunia, biaya PHK di Indonesia termasuk yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara, bahkan di Asia Timur.

Di sini biaya yang saya maksud bukan hanya soal pesangon, melainkan juga biaya lain-lain yang mesti dikeluarkan untuk memenuhi prosedur PHK. Kondisi semacam ini pada gilirannya membuat kita kesulitan sendiri. Banyak investor enggan menanamkan modalnya. Bahkan, mereka yang sudah membuka usaha di sini pun ada yang memilih angkat kaki, memindahkan pabriknya ke luar Indonesia.

Kita semua sudah merasakan kesulitan ini. Lapangan kerja baru kian terbatas, dan anak-anak kita kesulitan mencari pekerjaan. Pengangguran terus meningkat, dan kriminalitas kian menjadi-jadi. Dampak negatifnya sudah kita rasakan. Tapi betapa sulitnya kita untuk mendobrak rigiditas di pasar tenaga kerja.

Comfort Zone

Tapi jangan salah, rigiditas bukan hanya monopoli instansi pemerintah atau penegak hukum. Di BUMN atau perusahaan swasta, rigiditas pun terjadi. Saya mendengar langsung ceritanya. Ada sebuah BUMN yang ingin menerapkan solusi yang berbasis teknologi informasi (TI). Dialog pun terjadi antara vendor dan para penggunanya, yakni bagian-bagian yang ada di perusahaan tersebut.

Masing-masing menganggap perlu memiliki aplikasi yang khusus untuk mereka, karena merasa bagiannya berbeda dengan bagian yang lain. Celakanya, sang vendor tak punya keberanian untuk menolak beragam permintaan tersebut. Alhasil, setiap bagian memiliki sistem TI yang berbeda-beda. Data dari bagian pengadaan tak bisa langsung dipakai oleh bagian distribusi.

Data bagian sales & marketing tak bisa langsung dipakai oleh bagian keuangan. Sinkronisasi data menjadi pekerjaan yang melelahkan. Setiap rapat soal ini isinya pertengkaran. Masing-masing merasa bagiannya lebih penting ketimbang bagian yang lain. Mereka lalu tidak saling bicara. Dan, terciptalah silo-silo tadi. Apakah rigiditas di swasta hanya terjadi karena silo antar unit? Ternyata juga tidak.

Sikap mental passenger yang hanya menunggu dan tak mau susah, banyak ditemui di semua lini. Kita makin banyak menemui orang yang harus selalu diingatkan, diperintah, diawasi, ditagih, bahkan diberi peringatan kendati pakaiannya selama bekerja mirip eksekutif hebat dan pendidikannya tinggi. Kata seorang CEO, ilmu kebatinan banyak dipakai: banyak masalah hanya disimpan di dalam batin karena mereka tak mau susah.

Rigiditas semacam ini punya dampak yang sangat serius. Kinerja babak belur. Negara menjadi tidak bisa melayani dengan baik, kesejahteraan bangsa tidak meningkat. Perusahaan merugi, bahkan terancam ditutup. Beruntung kalau pemimpin berani melakukan mutasi dan menunjuk pejabat baru.

Oleh pejabat atau CEO baru itu, silo-silo tadi dibongkar habis. Setiap bagian dipaksa untuk berbicara dengan bagian lainnya. Upaya mendobrak rigiditas semacam ini memakan waktu yang tidak sedikit. Berbulan-bulan, namun hasilnya kelihatan. Kerugian terus berkurang, bahkan akhirnya perusahaan mulai membukukan keuntungan.

Baiklah, kita sudah punya sejumlah kasus soal rigiditas yang punya dampak negatif. Saya ingin memberi catatan akhir.

Sejatinya rigiditas hanya selangkah sebelum kita masuk dalam perangkap comfort zone. Dan, hidup kita akan berakhir begitu kita masuk perangkap tersebut. Maka saya setuju dengan kata Neale Donald Walsch, penulis buku Conversations with God : “Life begins at the end of your comfort zone.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Kitalah Penentunya

Di meja rapat besar, teman saya, seorang pengusaha besar yang disegani di Asia bercerita tentang keputusan yang baru saja diambilnya. Mungkin karena semua direkturnya sudah terpencar di Madrid, Paris, Amsterdam, Istanbul, dan Denpasar untuk berlibur, dia pun menceritakan semua angan-angannya kepada saya.

Tentu saja secara alamiah eksekutif-eksekutifnya yang dipercaya memimpin perusahaan sedang gelisah. Mereka tidak menyangka pimpinan perusahaan membatalkan liburannya, sedangkan anak-istri sudah membeli tiket dan menetapkan jadwal liburan. Padahal, saat mereka berlibur itu pulalah bos besar akan turun ke lapangan mengecek segala ketidakberesan.

Alhasil, di meja itu, kami menyimpulkan, ”Perusahaan ini menjadi besar karena kita sendirilah yang menentukannya.” Anda tentu boleh menambahkan : “Atas kehendak Tuhan.” Saya setuju saja. Tetapi, bagaimana kita menangani situasi akan menentukan bagaimana alam bereaksi.

Yang Tidak Berhasil

Dari blusukan akhir tahunnya itu, sahabat saya menemukan sejumlah kejanggalan. “Barang ada, uang ada, bawahan-bawahan yang hebat pun ada. Tetapi, mereka tidak bisa bekerja karena atasan-atasan tidak mengeksekusi.

Saya pun terkekeh-kekeh mengingat hal serupa juga dikeluhkan publik terhadap kinerja birokrat yang dikenal “slow-dan-low” dalam penggunaan anggaran negara. Maksudnya, sudah serapannya rendah (di bawah 80 persen), proyek-proyeknya pun baru dikebut akhir tahun sehingga benar-benar slow.

Tetapi, meski begitu, mereka tetap bisa menikmati liburan enak di tempat yang indah. Tinggallah anak buah yang gelisah bersama-sama dengan pemilik perusahaan atau penanggung jawab tertinggi.

Orang-orang yang memimpin seperti itu, proyeknya tidak akan berhasil.” ujar teman saya tersebut. Mereka menunda-nunda waktu, bingung sendiri. Padahal, orang yang bingung harus mencari pegangan dan bertindak. Faktanya, mereka mendiamkan.

Tetapi, ada lagi orang bingung lain yang mengambil langkah keliru. Mereka mendiamkan dirinya dikendalikan pihak ketiga yang menyajikan data-data yang terkesan bagus untuk dieksekusi. Harap Anda ingat, eksekutif bertugas mengambil keputusan dengan justifikasinya. Nah, Justifikasi itu adalah data dan analisis.

Teman saya memberi contoh keputusan yang nyaris menghancurkan bisnis yang dibangun dan dibesarkan dua generasi itu. Ketika Mei 2013 harga saham perusahaan-perusahaan domestik sedang bagus-bagusnya, mereka mendapat tawaran pembiayaan dari bank asing dalam bentuk USD. Kurang lebih dibutuhkan investasi sebesar Rp 10 triliun. Ini bukan jumlah yang kecil. Tetapi, semua hitung-hitungannya (justifikasinya) sangat menarik.

Jaminannya pun bisa dipenuhi: saham-saham perusahaan. Pembayarannya ringan dan semua orang optimis melewati hari esok. Tetapi, kawan saya segera teringat kasus-kasus lain yang pernah mengakibatkan kolega-koleganya gulung tikar. Kalau harga saham tiba-tiba turun dan IHSG melemah, mereka harus menambah jaminan atau saham-saham itu dilelang bank asing tersebut.

Saya kira Anda paham, hal ini pernah dihadapi sejumlah konglomerat Indonesia yang berakibat kebangkrutan dan pengalihan-pengalihan aset-aset disertai sengketa panjang di pengadilan.

Yang Berhasil

Sekali lagi, kitalah penentu keberhasilan itu. Melanjutkan kisah tadi, sahabat saya tersebut mengambil langkah yang berbeda. Dia melihat dana sebesar itu bisa didapat dari sindikasi perbankan nasional dengan cara yang lebih mudah dan lebih murah. Lagi pula, cash flow-nya berbentuk rupiah. Ia berpikir, “Kalau melompat dengan cara biasa saja sudah bisa sampai di seberang, mengapa harus bersusah payah lompat galah yang beresiko kaki patah?

Cara seperti itu sempat diulas penulis terkenal Malcolm Gladwell dalam bukunya David and Goliath. Di situ, Gladwell berkisah bahwa “yang kuat tidak selalu benar-benar kuat.” Sebaliknya juga benar.

Tetapi, apa yang membuat Goliath yang perkasa dan bertubuh besar itu kalah menghadapi anak gembala yang hanya bersenjata ketapel (David)? Jawabnya adalah karena David tidak mau bertarung mengikuti irama permainan yang berlaku umum, yaitu bermain pada jarak dekat, pedang melawan pedang. Ketika Goliath menantang dengan hunusan pedang panjang, berpakaian perang dengan tubuh dilapisi logam yang berat, David justru bertarung menggunakan gerakan cepat, kegesitan tubuh, dan dengan ketapel.

Dia bermain pada jarak jauh. Itu ibarat perang darat bersenjata panser tentara Saddam Hussein yang dihadapi serangan udara oleh tentara sekutu. Percuma melayani lawan berotot kuat dengan otot.

Alhasil, rekan saya tersebut bisa tetap tersenyum di akhir tahun 2013. Saat IHSG merosot tajam dan nilai rupiah melemah begitu drastis, aset-asetnya aman. Tetapi, berapa banyak pengusaha yang terbebas dari jebakan itu? “Bayangkan, keputusan eksekutif dengan justifikasi yang terlihat indah namun keliru itu, walau hanya beberapa menit saja, bisa menghapuskan hasil kerja keras dua generasi.” ujarnya.

Pembaca, seperti Anda, semua eksekutif memiliki pertanyaan yang sama: Apa yang akan terjadi pada 2015 yang pancaroba ini? Saya hanya bisa menutupnya dengan kalimat ini : “Kita sendirilah yang menentukannya. Kalau kita tahu keadaan lapangan dan mau bekerja keras, kritis terhadap data, semua masalah bisa kita atasi.

Jangan lupa, selain science dan justifikasi angka, alam juga memberikan uji alamiah yang data-datanya bisa kita rasakan kalau kita bersungguh-sungguh tinggal di dalamnya.

Sekarang tinggal Anda yang menentukan: Mau menguji data itu tetapi tak pernah berada di dalam data itu sendiri, atau secara sungguh-sungguh berenang dalam debu dan realitas, mengunyah segala kebenaran dalam percobaan alam? Saya memilih yang kedua, kendati sebagian orang menuduhnya sebagai micro managing.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Digital Disruption

Sekitar 65 juta tahun silam, dua asteroid menghantam bumi. Dampaknya Anda tentu pernah mendengar, yakni punahnya dinosaurus dan sejumlah makhluk mamalia lainnya.

Rupanya fenomena ala asteroid tersebut tak hanya terjadi sekali. Menurut Peter H Damianis dan Steven Kotler dalam bukunya BOLD: How to Go Big, Create Wealth and Impact The World (2014), fenomena tersebut bakal berulang. Hanya bentuk asteroidnya kali ini bukan lagi berupa bebatuan, melainkan teknologi.

Di antaranya teknologi digital. Fenomenanya ada di depan mata. Anda tentu kerap mendengar ungkapan “berubah atau punah”. Maksudnya, kondisi memaksa kita untuk berubah. Jika tidak, kita bakal tersingkir.

Contohnya tersebar di mana-mana. Di luar negeri, Anda tentu pernah mendengar nama Kodak, Nokia, Palm, Borders, RIM, Compaq, atau Circuit City. Nama-nama itu kini terlempar dari kancah persaingan bisnis. Itu pada level korporasi. Sekarang kita bahas level negara.

Soal tol laut yang didukung kluster industri dan ICT yang memadai. Bayangkan kalau Pelabuhan Sorong yang luasnya ribuan hektar kelak menjadi pelabuhan internasional. Bisa-bisa muatan dari PNG dan negara di sekitarnya yang akan menuju Pasifik beralih ke sana. Bayangkan apa jadinya bisnis pelabuhan Singapura dan Brisbane (Australia).

Pada kasus lain, dalam wawancaranya dengan CNBC , PM Finlandia Alexander Stubb menyalahkan Apple atas merosotnya kinerja ekspor utama negaranya, yang berimbas pada anjloknya kinerja perekonomian. Anda tentu bisa menduga-duga mengapa PM Stubb menyalahkan Apple. Saya kutipkan saja pernyataannya, “iPhone telah membunuh Nokia, dan iPad menghantam industri kertas kami“. Bisnis telekomunikasi, utamanya Nokia, dan kertas adalah dua andalan ekspor Finlandia.

Sepanjang 1998 sampai 2007, Nokia menyumbang kira-kira seperempat dari pertumbuhan ekonomi Finlandia. Lalu anggaran riset Nokia sendiri bisa mencapai 30% dari total anggaran riset negara itu. Kolega saya bercerita, begitu besarnya peran Nokia sehingga di negaranya mereka mendapat perlakuan khusus.

Di bandara, tamu-tamu Nokia tak perlu melewati prosedur kedatangan sebagaimana tamu-tamu biasa. Ada jalur khusus untuk mereka. Kini? Cobalah Anda tengok ke kanan-kiri. Siapa yang masih memakai ponsel atau smartphone merek Nokia? Padahal dulu ia menyandang label sebagai handphone sejuta umat.

Kini, dalam setiap kelompok, jumlah pemiliknya mungkin bisa dihitung dengan jari. Begitulah, hadirnya kebijakan baru dan inovasi teknologi mampu mengubah perilaku konsumen, dan pada akhirnya mengguncang perekonomian suatu negara.

Perubahan Perilaku

Fenomena perubahan perilaku konsumen akibat hadirnya teknologi baru, saya kira, bukan khas Finlandia. Itu terjadi di seluruh dunia, termasuk di negara kita. Belum lama ini saya membaca hasil survei tentang perubahan perilaku konsumen akibat hadirnya smartphone. Ada dua yang saya catat. Pertama, sebanyak 95% responden menggunakan smartphone untuk melakukan sesuatu menjelang tidur.

Kedua, separuh dari responden ketika terbangun di tengah malam—apa yang mereka lakukan? Langsung mengecek smartphone-nya. Mirip bukan, dengan yang terjadi di negara kita?

Saya bisa menambah beberapa. Anda pernah mendengar kata twiplomacy? Itu adalah diplomasi yang menggunakan media sosial Twitter. Beberapa pemimpin dunia menggunakannya. Presiden Amerika Serikat Barack Obama, Paus Franciscus dari Vatikan, bahkan Ratu Elizabeth asal Inggris, dan PM Rusia Vladimir Putin.

Di banyak negara, selfie menjadi fenomena yang luar biasa. Anda pernah mendengar cerita tentang Xenia Ignatyeva, seorang remaja Rusia yang berusia 17 tahun. Saking tergila-gilanya dengan selfie, dan untuk membuat teman-temannya terkesan, Xenia memanjat sebuah jembatan.

Ia melakukan selfie dari ketinggian jembatan tersebut. Malang, keseimbangannya goyah dan Xenia pun terjatuh. Tubuhnya tersangkut di kabel listrik. Ia tewas. Kasus Xenia tentu tak layak ditiru. Tapi, siapa yang bisa membantah bahwa kita begitu tergila-gila melakukan selfie?

Bahkan saat mengunjungi pabrik telepon seluler di negaranya, Presiden Korea Utara pun berbaik hati mau ber-selfie ria dengan sejumlah karyawan di sana. Selfie mampu mencairkan kekakuan Kim Jong-un. Begitulah, teknologi mengubah perilaku kita. Bahkan bukan hanya itu. Teknologi digital membuat dunia hanya memiliki dua kewarganegaraan.

Pertama, digital native. Mereka adalah anak-anak kita yang sejak lahir langsung terkoneksi dengan teknologi digital tanpa perlu bersusah payah mempelajarinya. Merekalah pribumi di dunia digital ini. Ukuran pribumi bukan lagi tanah kelahiran, tapi tahun kelahiran dan apakah mereka mahir atau tidak berselancar di dunia digital.

Kedua, digital immigrant. Mereka adalah orang-orang tua, seperti kita, yang mesti bersusah payah untuk memahami berbagai produk digital. Sudah gaptek, serba telat, konservatif, gak tahu apa-apa, kaget-kaget, malas pula belajar dari bawah. Celakanya, di kantor-kantor, generasi imigran ini justru tengah berkuasa. Lantas apa akibatnya bagi bisnis?

Mudah saja. Terjadi generation gap yang lumayan memudarkan banyak perusahaan dalam menghadapi persaingan. Ketika pasar beralih ke kaum muda, mereka masih berkutat di segmen tua yang berakibat perusahaan tampak tua dan kumuh, lalu perlahan-lahan transit, istirahat, lalu punah.

Kedua, dunia ini diubah dan diperbarui oleh kaum muda. Yang kalau karyanya tak tertampung di lumbung-lumbung “dinosaurus tua” yang branding-nya sudah kuat, mereka akan menciptakan platform sendiri dan menjadi ledakan asteroid baru yang menciptakan bisnis-bisnis baru.

Itulah yang tengah terjadi di sektor keuangan dan perbankan yang dikuasai bankir-bankir tua. Maafkan saya harus mengatakan demikian.

Tengoklah kedatangan alat-alat pembayaran baru yang sama sekali bukan dikendalikan perbankan: Square, PayPal, Google Wallet, dan seterusnya. Makanya belum lama ini Bill Gates membuat pernyataan yang patut direnungkan para CEO perbankan: Banking is necessary, banks are not. Nah lho….


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Mengapa Anak yang Pintar di Sekolah Bisa Alami Kesulitan Ekonomi?

Seorang mahasiswi mengeluh. Dari SD hingga lulus S-1, ia selalu juara. Namun kini, di program S-2, ia begitu kesulitan menghadapi dosennya yang menyepelekannya. Judul tesisnya selalu ditolak tanpa alasan yang jelas. Kalau jadwal bertemu dibatalkan sepihak oleh dosen, ia sulit menerimanya.

Sementara itu, teman-temannya, yang cepat selesai, jago mencari celah. Ia menduga, teman-temannya yang tak sepintar dirinya itu “ada main” dengan dosen-dosennya. “Karena mereka tak sepintar aku.” ujarnya.

Banyak orangtua yang belum menyadari, di balik nilai-nilai tinggi yang dicapai anak-anaknya semasa sekolah, mereka menyandang persoalan besar: kesombongan dan ketidakmampuan menghadapi kesulitan. Bila hal ini saja tak bisa diatasi, maka masa depan ekonominya pun akan sulit.

Mungkin inilah yang perlu dilakukan orangtua dan kaum muda: belajar menghadapi realitas dunia orang dewasa, yaitu kesulitan dan rintangan.

Hadiah orangtua

Psikolog Stanford University, Carol Dweck, yang menulis temuan dari eksperimennya dalam buku The New Psychology of Success, menulis, “Hadiah terpenting dan terindah dari orangtua pada anak-anaknya adalah tantangan”.

Ya, tantangan. Apakah itu kesulitan-kesulitan hidup, rasa frustrasi dalam memecahkan masalah, sampai kegagalan “membuka pintu”, jatuh bangun di usia muda. Ini berbeda dengan pandangan banyak orangtua yang cepat-cepat ingin mengambil masalah yang dihadapi anak-anaknya.

Kesulitan belajar mereka biasanya kita atasi dengan mendatangkan guru-guru les, atau bahkan menyuap sekolah dan guru-gurunya. Bahkan, tak sedikit pejabat mengambil alih tanggung jawab anak-anaknya ketika menghadapi proses hukum karena kelalaian mereka di jalan raya.

Kesalahan mereka membuat kita resah. Masalah mereka adalah masalah kita, bukan milik mereka.

Termasuk di dalamnya adalah rasa bangga orangtua yang berlebihan ketika anak-anaknya mengalami kemudahan dalam belajar dibandingkan rekan-rekannya di sekolah.

Berkebalikan dengan pujian yang dibangga-banggakan, Dweck malah menganjurkan orangtua untuk mengucapkan kalimat seperti ini: “Maafkan Ibu telah membuat segala sesuatu terlalu gampang untukmu, Nak. Soal ini kurang menarik. Bagaimana kalau kita coba yang lebih menantang?”

Jadi, dari kecil, saran Dweck, anak-anak harus dibiasakan dibesarkan dalam alam yang menantang, bukan asal gampang atau digampangkan. Pujian boleh untuk menyemangati, bukan membuatnya selalu mudah.

Saya teringat masa-masa muda dan kanak-kanak saya yang hampir setiap saat menghadapi kesulitan dan tantangan. Kata reporter sebuah majalah, saya ini termasuk “bengal”. Namun ibu saya bilang, saya kreatif. Kakak-kakak saya bilang saya bandel. Namun, otak saya bilang “selalu ada jalan keluar dari setiap kesulitan”.

Begitu memasuki dunia dewasa, seorang anak akan melihat dunia yang jauh berbeda dengan masa kanak-kanak. Dunia orang dewasa, sejatinya, banyak keanehannya, tipu-tipunya. Hal gampang bisa dibuat menjadi sulit. Namun, otak saya selalu ingin membalikkannya. Demikianlah, hal-hal sepele sering dibuat orang menjadi masalah besar.

Banyak ilmuwan pintar, tetapi reaktif dan cepat tersinggung. Demikian pula kalau orang sudah senang, apa pun yang kita inginkan selalu bisa diberikan.

Panggung orang dewasa

Dunia orang dewasa itu adalah sebuah panggung besar dengan unfair treatment yang menyakitkan bagi mereka yang dibesarkan dalam kemudahan dan alam yang protektif. Kemudahan-kemudahan yang didapat pada usia muda akan hilang begitu seseorang tamat SMU.

Di dunia kerja, keadaan yang lebih menyakitkan akan mungkin lebih banyak lagi ditemui. Fakta-fakta akan sangat mudah Anda temui bahwa tak semua orang, yang secara akademis hebat, mampu menjadi pejabat atau CEO. Jawabannya hanya satu: hidup seperti ini sungguh menantang.

Tantangan-tantangan itu tak boleh membuat seseorang cepat menyerah atau secara defensif menyatakan para pemenang itu “bodoh”, tidak logis, tidak mengerti, dan lain sebagainya. Berkata bahwa hanya kitalah orang yang pintar, yang paling mengerti, hanya akan menunjukkan ketidakberdayaan belaka. Dan pernyataan ini hanya keluar dari orang pintar yang miskin perspektif, dan kurang menghadapi ujian yang sesungguhnya.

Dalam banyak kesempatan, kita menyaksikan banyak orang-orang pintar menjadi tampak bodoh karena ia memang bodoh mengelola kesulitan. Ia hanya pandai berkelit atau ngoceh-ngoceh di belakang panggung, bersungut-sungut karena kini tak ada lagi orang dewasa yang mengambil alih kesulitan yang ia hadapi.

Di Universitas Indonesia, saya membentuk mahasiswa-mahasiswa saya agar berani menghadapi tantangan dengan cara satu orang pergi ke satu negara tanpa ditemani satu orang pun agar berani menghadapi kesulitan, kesasar, ketinggalan pesawat, atau kehabisan uang.

Namun lagi-lagi orangtua sering mengintervensi mereka dengan mencarikan travel agent, memberikan paket tur, uang jajan dalam jumlah besar, menitipkan perjalanan pada teman di luar negeri, menyediakan penginapan yang aman, dan lain sebagainya. Padahal, anak-anak itu hanya butuh satu kesempatan: bagaimana menghadapi kesulitan dengan caranya sendiri.

Hidup yang indah adalah hidup dalam alam sebenarnya, yaitu alam yang penuh tantangan. Dan inilah esensi perekonomian abad ke-21: bergejolak, ketidakpastian, dan membuat manusia menghadapi ambiguitas. Namun dalam kondisi seperti itulah sesungguhnya manusia berpikir. Dan ketika kita berpikir, tampaklah pintu-pintu baru terbuka, saat pintu-pintu hafalan kita tertutup.

Jadi inilah yang mengakibatkan banyak sekali orang pintar sulit dalam menghadapi kesulitan. Maka dari itu, pesan Carol Dweck, dari apa yang saya renungi, sebenarnya sederhana saja: orangtua, jangan cepat-cepat merampas kesulitan yang dihadapi anak-anakmu. Sebaliknya, berilah mereka kesempatan untuk menghadapi tantangan dan kesulitan.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”