Prof. Rhenald Kasali

Keluar dari Zona Nyaman

Mungkin inilah yang tidak banyak dimiliki SDM kita: kemampuan untuk keluar dari zona nyaman. Tanpa keterampilan itu, perusahaan-perusahaan Indonesia akan “stuck in the middle,” birokrasi kita sulit “diajak berdansa” menjelajahi dunia baru yang penuh perubahan, dan kaum muda sulit memimpin pembaharuan.

Tidak hanya itu, orang-orang tua juga kesulitan mendidik anak-anaknya agar tabah menghadapi kesulitan. Dengan memberikan pendidikan formal yang cukup atau kehidupan yang nyaman tak berarti mereka menjadi manusia yang terlatih menghadapi perubahan. Apa artinya bergelar S2 kalau penakut, jaringannya terbatas, “lembek”, cepat menyerah dan gemar menyangkal.

Tetapi maaf, ketidakmampuan keluar dari zona nyaman ini bukanlah monopoli kaum muda. Orang-orang tua yang hidupnya mapan dan merasa sudah pandai pun terperangkap di sana. Seperti apakah gejala-gejalanya?

“Saya Pikir…”

“Saya pikir hidup yang nyaman, terlindungi, tercukupi adalah hidup yang aman”, begitu pemikiran banyak orang.

Kita berpikir, apa-apa yang kita kerjakan dan membuat kita mahir sehari-hari sudah final. Dengan cara seperti itu maka kita akan melakukan hal yang sama berulang-ulang sepanjang hari, melewati jalan atau cara-cara yang sama sepanjang tahun.

Padahal segala sesuatu selalu berubah. Ilmu pengetahuan baru selalu bermunculan dan saling menghancurkan. Teknologi baru berdatangan menuntut ketrampilan baru. Demikian juga peraturan dan undang-undang. Pemimpin dan generasi baru juga mengubah kebiasaan dan cara pandang. Ketika satu elemen berubah, semua kebiasaan, struktur, pola, budaya kerja dan cara pengambilan keputusan ikut berubah. Ilmu, keterampilan dan kebiasaan kita pun menjadi cepat usang.

Jalan-jalan yang nyaman kita lewati juga cepat berubah menjadi amat crowded dan macet, sementara selalu saja ada jalan-jalan baru.

Orang-orang yang terperangkap dalam zona nyaman biasanya takut mencari jalan, tersasar atau tersesat di jalan buntu. Padahal solusinya mudah sekali: putar arah saja, bedakan a dead end dengan detour.

Kalau bisa dikoreksi, mengapa konsep yang bagus dan sudah besar sunk cost-nya harus diberangus dan dikutuk habis-habisan? Bukankah kita bisa mengoreksi bagian-bagian yang salah? Orang-orang yang tak terbiasa keluar-masuk dari zona nyaman punya kecenderungan mengutuk jalan buntu karena ia merasa tersesat di sana. Ilmuwan saja, kalau kurang up to date sering melakukan hal itu, padahal orang biasa yang terlatih keluar dari zona nyaman bisa melihat jalan keluar.

Ada rangkaian sirkuit dalam otak kita yang membentuk jalur tetap, sehingga program diri dikuasa autopilot. Akibatnya, tanpa berpikir pun kita akan sampai di tempat tujuan yang sama dengan yang kemarin kita tempuh. Dan ketika kita keluar dari jalur itu, ada semacam inersia yang menarik kita kembali pada jalur yang sudah kita kenal.

Kata orang bijak, keajaiban jarang terjadi pada mereka yang tak pernah keluar dari “selimut rasa nyamannya.” Keajaiban itu hanya ada di luar zona nyaman yang kita sebut sebagai zona berbahaya (a danger zone). Zona berbahaya ini seringkali juga dinamakan sebagai zona kepanikan (panic zone). Tetapi untuk menghindari kepanikan, para penjelajah kehidupan telah menunjukkan adanya zona antara, yaitu zona belajar (learning zone atau challenge zone).

Karena itulah, belajar tak boleh ada tamatnya. Sekolah pada lembaga formal bisa menyesatkan kalau beranggapan selesai begitu gelar dan ijazah didapat. Apalagi bila kemudian memunculkan sikap arogansi “saya sudah tahu” atau “mahatahu” tentang sesuatu hal.

Saya sering membaca tulisan para ilmuwan yang memberikan tekanan pada ijazahnya (yang memberi gelar) saat menggugat sebuah pendapat atau konsep. Tentang hal ini saya hanya bergumam, mereka kurang terbuka, kurang mampu melihat perspektif, tak kurang mau belajar lagi. Learning itu gabungan dari relearn dan unlearn. Orang yang terbelenggu dalam zona nyaman kesulitan untuk belajar lagi dan membuang pandangan-pandangan lamanya. Ia menjadi amat resisten dan keras kepala.

Manusia belajar sepanjang masa melewati ujian demi ujian. Dan itu meletihkan, bahkan kadang menakutkan, melewati proses kesalahan dan kegagalan, menemui jalan buntu dan aneka krisis, kurang tidur.

Kadang kita menemukan guru yang baik dan pandai, tapi kadang bertemu guru yang menjerumuskan dan menyesatkan. Tetapi mereka semua memberikan pembelajaran.

Jadi bagaimana gejala orang yang kesulitan “keluar-masuk” zona nyaman? Saya kira Anda sudah bisa melakukan introspeksi.

Hidup itu memang terdiri dari proses keluar-masuk. Kalau sudah nyaman, ingatlah jalan ini akan crowded dan kelak menjadi kurang nyaman. Jangankan melewati jalan raya, karier kita pun akan menjadi usang kalau tak berubah haluan memperbaharui diri. Perusahaan lebih senang mendapatkan kaum muda yang masih bisa dibentuk ketimbang kita yang lebih tua tapi sudah tak mau belajar lagi, keras kepala pula.

Kalau kita berani melewati jalan tak nyaman, lambat laun kita pun bisa meraih kemahiran. Kalau sudah mahir dan nyaman, jangan lupa cari jalan baru lagi. Seorang climber, kata Paul Stoltz terus mencari tantangan baru. Ia bukanlah a quiter atau a camper.

Siapa yang tak ingin hidup mapan dan nyaman? Kita bekerja keras untuk meraih kenyamanan dan ketenangan hidup, tetapi para ahli mengingatkan itu semua hanyalah ilusi. Dalam zona nyaman tak ada kenyamanan, tak ada mukjizat selain mereka yang berani keluar dari selimut tidurnya.

Bagaimana Melatihnya?

Saya ingin mengatakan pada Anda, jangan terburu-buru mengatakan bahwa manusia dewasa tak bisa berubah. Pengalaman saya menemukan banyak orang dewasa yang bisa berubah. Yang tidak bisa berubah itu adalah manusia yang sudah final.

Manusia yang sudah final itu biasanya pikirannya kaku seperti orang mati dan merasa paling tahu. Tentang manusia yang arogan ini bukanlah tugas manusia untuk mengubahnya, biarkan saja Tuhan yang memberikan solusinya. Hanya lewat ujian beratlah mukjizat itu baru terjadi pada mereka.

Di Rumah Perubahan, kami biasa mendampingi dan memberikan pelatihan untuk keluar dari zona nyaman ini. Biasanya setelah dilatih mereka malah justru menjadi pembaharu yang progresif. Bahkan mereka menjadi teman para CEO yang sedang memimpin transformasi untuk menghadapi para pemimpin pemberontakan yang resisten terhadap perubahan, atau orang-orang arogan dan miskin perspektif, termasuk para senior yang sudah final karena gelarnya sudah panjang.

Lain kali saya akan jelaskan apa yang harus dilakukan orangtua dan guru untuk melatih anak-anaknya keluar dari zona nyaman.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Derita Para “Creator” di Negeri Transisi

Kisah tentang para kreator (change leader) yang di dzolimi ternyata bukan hanya terjadi di sini, di Indonesia.

Itu terjadi di hampir semua benua, mulai dari Afrika, Amerika, maupun di Asia. Hampir semua tokoh-tokoh besar mengalaminya.

Apakah dia Martin Luther King atau mendiang Munir. Juga dialami Einstein dan Mandela. Bahkan hal itu juga dirasakan oleh musisi-musisi kita dan para seniman besar yang tak dapat menikmati hasil jerih payahnya.

Kisah-kisah heroik para kreator dan change leader itu diceritakan oleh Kevin Ashton dalam bukunya yang berjudul The Secret History of Creation, Invention and Discovery.

Saya kutip saja kisah tentang Edmond yang menghentak penduduk Pulau Reunion, eks jajahan Inggris-Portugis dan Spanyol.

Di pulau itu, tepatnya di kota Sainte-Suzanne, Ashton terhentak menyaksikan sebuah patung bocah Afrika yang terbuat dari perunggu dengan gerakan tangan yang seakan tengah melakukan sesuatu.

Menjadi pertanyaan, siapa Edmond dan mengapa patungnya diabadikan di sana?

Semua ini berawal dari bisnis Vanila, komoditas yang sejak abad 15-18 sudah digemari raja-raja Eropa namun pasokannya amat terbatas.

Menurut Ashton, saat itu tak ada yang tahu bagaimana melakukan penyerbukan agar vanila berbunga dan berbuah.

Jadi sampai awal abad 19, pasokannya hanya sekitar 2 ton per tahun yang datang dari Meksiko. Belakangan, Charles Darwin melaporkan penyerbukan itu dilakukan kumbang Euglossa viridissima yang tidak ditemui di luar Meksiko.

Jadi walaupun tanaman itu sudah dibawa Belanda ke Pulau Jawa, Spanyol ke Filipina dan dibawa penjajah Inggris ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke Reunion, Vanila gagal panen.

Vanila baru menghasilkan buah berkat kerja keras seorang budak berusia 12 tahun yang dipelihara oleh keluarga Perancis, Fereol.

Tanaman yang sudah puluhan tahun dipelihara keluarga itu akhirnya berbuah baik dan keluarga itu di berkahi rejeki berlimpah. Kelak metodenya dikenal di Prancis sebagai Le geste dE’dmond.

Sejak itulah metode Edmond menyebar ke seluruh Pulau Reunion, menjadikan pulau ini kaya raya. Edmond dibebaskan sebagai budak 7 tahun kemudian (1848) dan inovasinya segera menyebar hingga ke berbagai penjuru dunia termasuk ke Hindia Belanda.

Edmond diminta mengajarkan para petani di berbagai negara untuk melakukan penyerbukan buatan.

Tetapi dunia seringkali tak berterima kasih pada para kreator dan change leader yang telah memberikan kemakmuran. Buktinya, beberapa tahun kemudian Edmond dipidanakan. Katanya Edmond terlibat pencurian. Tetapi kesalahannya terus diperbesar.

Seperti yang terjadi pada kebanyakan change leader dan kreator besar, para sejarawan masih sering bertanya mengapa di sini mereka disebut pejuang dan creator sedangkan di sana disamakan dengan penjahat?

Dalam kasus Edmond, Ashton akhirnya menemukan jawabnya, yaitu adanya pihak lain yang menginginkan sebutan sebagai creator pada dirinya. Dan orang itu adalah Jean Michel Claude Richard, Direktur taman botani Reunion.

Richard mengklaim Edmond telah mencuri teknik penyerbukan yang ia ajarkan. Tetapi keluarga Fereol tak mendiamkan peristiwa kriminalisasi tersebut.

Benar, Edmond pernah belajar pada Richard, tetapi itu terjadi bertahun-tahun setelah Edmond menyebarkan ilmunya. Ia pun menyurati Richard, “Anda hanya mengajari orang yang telah lebih dulu menemukannya.”

Sekarang bayangkan bila Fereol hidup hari ini, di era social media, dengan Richard yang amat berambisi, yang bisa membayar konsultan-konsultan media, lalu membayar pasukan penyebar kebencian yang memiliki akun-akun anonim.

Bisa jadi kantor Fereol digrebek aparat, dan Edmond dipenjarakan hanya karena “pengaduan masyarakat” atas suruhan Richard.

Minimal, mungkin, Edmond sudah masuk penjara dan usaha Perkebunan keluarga Fereol pun berpindah tangan.

Fereol akan dituding membela karena mempunyai kepentingan pribadi. Ya, Edmond memang sempat masuk penjara. Entah ia mencuri apa, tak jelas betul. Hidupnya menjadi sengsara.

Namun keluarga Fereol, menurut catatan Kevin Ashton, berhasil meyakinkan penegak hukum, bahwa Edmond-lah pelaku perubahan yang sebenarnya. Dan Edmond pulalah yang telah membuat pulau itu makmur, demikian pula ratusan ribu petani Vanila di mancanegara.

Maka Edmond pun dibebaskan, namanya direhabilitasi, dan patung berbahan perunggu bocah berusia 12 tahun tanpa alas kaki itu menjadi bukti, bahwa warga Pulau Reunion menghargai kreatornya.

Catatan Perubahan

Apa yang dialami Edmond sebenarnya juga dihadapi aktor-aktor perubahan lainnya. Mudah sekali untuk meramalkan nasib para kreator dan pemimpin perubahan, yaitu masa kepemimpinan yang dipenuhi hasil prestasi dan karya-karya baru, namun selalu gaduh dengan serangan aneka kesalahan yang disamarkan menjadi “kejahatan”.

Saya menulis kalimat seperti ini bukan hanya hari ini, melainkan sejak 2005 dan barangkali sebagian Anda masih ingat, itulah yang saya tulis dalam buku Change (2005), Recode Your Change DNA (2006), dan Let’s Change (2014).

Maka kalau BUMN kita gaduh, salah satu penyebabnya di sana sedang berlangsung non-compromizing transformation. Proses transformasi BUMN sudah berlangsung sejak Tanri Abeng membangun kementrian itu dengan konsep value creation.

Bukan hal yang luar biasa, usia kementrian BUMN baru 17 tahun, tapi menterinya sudah berganti 8 kali.

Wajar bila para pegawai yang menyambut menteri baru selalu berujar, “Apakah menteri ini akan lama berada di sini?”

Lantas, bagaimana industri kreatif kita, yang kini sudah punya badan sendiri? Belum gaduh, mungkin masih sibuk menata diri. Tapi begitu bergerak ia pasti akan mengalami hal serupa.

Kalau spektakuler, hampir pasti gaduh seperti ujian yang dialami Gojek. Kalau bangsa ini mau maju, kita hendaknya menghargai kerja keras para creator dan change leader. Sebab perubahan itu selalu pahit dan selalu menghadirkan pihak yang saling berhadapan.

Antara yang sudah jauh di depan, dengan mereka yang masih hidup di masa lalu. Antara yang terjepit, dengan yang memberi harapan baru. Antara yang ingin memacu, dengan yang masih ingin menikmati.

Di antara keduanya, selalu ada yang membuat air didulang semakin keruh. Dan, catatan serupa itu sudah pernah diberikan Sosiolog terkenal Robert King Merton, yang menganalisis tentang Social Change.

Bagi Merton, itu adalah anomie, yang terjadi saat suatu bangsa berevolusi, menjalani transisi dari Organic Structure ke Mechanical Structure. Dari sebuah bentuk perorangan dan guyub, ke sebuah sistem.

Siapkah kita mengawal para pembaharu?


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Batu Akik dan Histeria Massa

Anda mungkin pernah mendengar “nihil sub sole novum“. Itu ungkapan Latin. Kalau memakai bahasa Inggris, bunyinya kurang lebih begini, “there is nothing new under the sun“.

Maksudnya bukan tak ada perubahan, tetapi dalam kefanaan di dunia ini, tidak ada sesuatu yang sama sekali baru. Beda benar dengan pandangan Heraclitus, panta rei, yang artinya semua selalu berubah. Tapi, baiklah, dalam pandangan di atas, ibaratnya seperti malam berganti pagi, lalu pagi beranjak siang, menuju sore, dan akhirnya kita bertemu kembali dengan malam. Begitu seterusnya dunia kita berputar berulang-ulang.

Begitu pula dengan kehidupan kita selalu saja berulang dalam semua hal. Contohnya, kita pernah terperangkap pada “demam” yang satu, tapi kemudian masuk dalam demam yang satunya lagi. Sama seperti krisis ekonomi yang akan datang beberapa tahun sekali. Baiklah supaya tidak berputar-putar, saya langsung saja.

Sebetulnya saya ingin bicara tentang demam batu akik yang tengah melanda masyarakat kita. Fenomenanya begitu luar biasa. Sangat masif. Demam ini melanda rakyat jelata sampai pejabat negeri. Mengagumkan, meski dalam banyak hal mungkin ada yang kurang masuk akal. Misalnya saja dari sisi harga.

Anda tahu batu akik termahal di Indonesia? Kabarnya ia berasal dari Bengkulu, namanya pictorial agate badar pemandangan. Motifnya berupa pemandangan pantai. Harganya disebut-sebut mencapai Rp 2 miliar, sama dengan harga sebuah mobil mewah di Indonesia. Tapi mungkin saja saya luput, dan Anda mendengar ada lagi batu lain yang harganya lebih mahal.

Lalu, dari sisi khasiatnya. Banyak mitos yang mengatakan batu akik junjung drajat bisa mengangkat wibawa dan status sosial pemakainya. Ada juga batu akik pancawarna. Pemakai batu akik jenis ini konon akan memiliki karisma yang kuat dan terlindung dari kejahatan. Bagi yang percaya, batu akik jenis lain juga mempunyai khasiat yang berbeda-beda. Misalnya, ada batu akik yang membuat kita menjadi kebal. Tidak mempan ditusuk atau ditembak.

Ada juga batu akik yang membuat kita menjadi lebih dikasihani atasan atau teman, membuat karier cepat menanjak, jualan menjadi lebih laku, dan kita tidak mempan disantet. Kalau Anda memiliki batu akik yang bolong, namanya batu cobong, bisa dipakai untuk memikat para wanita. Katanya itu batu pelet. Wow.

Silakan kalau Anda mau percaya, baik soal harga maupun khasiatnya. Namun, bagi saya, fenomena batu akik ini mengingatkan saya akan lintasan meteor di langit kita. Dahulu, semasa kecil, saat langit kita masih sangat jernih dan polusi udara belum menggila, ketika kita menatap langit dengan mata telanjang, sesekali kita akan melihat meteor yang melintas. Cepat sekali. Ada kepercayaan kalau berbarengan dengan lintasan meteor tadi kita mengucapkan apa keinginan kita, konon bakal terkabul.

Demam batu akik yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini, mengingatkan saya akan meteor yang melintas di langit tadi. Cepat datang, cepat melintas, dan akhirnya cepat pula menghilang. Fenomenanya saya kira juga mirip dengan tanaman hias anturium yang juga sempat booming tiga-empat tahun silam.

Sampai sekarang, saya dan mungkin kita semua belum sepenuhnya paham apanya yang hebat dari tanaman ini sehingga gosip harganya bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Bahkan konon ada yang harganya menembus miliaran. Booming batu akik atau anturium dan ikan louhan di masa lalu adalah cerminan dari masyarakat yang dilanda histeria. Mereka mendengar gosip menyebar.

Lalu, tanpa sempat berpikir jernih dan menimbang lebih dalam, mereka memutuskan untuk percaya begitu saja. Mereka ikut arus massa. Ketika semua bergerak ke kanan, dia ikut ke kanan karena takut ketinggalan. Begitu pula ketika semua bergerak ke kiri. Mereka tanpa sempat berpikir jernih memborong anturium atau ikan louhan.

Sebagian dengan motif memang ingin menikmati, tapi sebagian besar justru ingin berspekulasi. Mereka berharap kelak batu akik, anturium atau ikan louhannya bisa dijual lagi dengan harga lebih tinggi. Bahkan untuk anturium, investornya bukan hanya perseorangan.

Di Jawa Tengah, Pemerintah Kabupaten Karanganyar mengeluarkan dana yang lumayan besar untuk menggerakkan masyarakatnya agar mau menanam anturium. Bupati Karanganyar ketika itu ingin kabupatennya dinobatkan sebagai kabupaten anturium. Celakanya, seperti meteor tadi, booming anturium dan ikan louhan ternyata hanya sebentar. Mereka yang terlanjur menanamkan modalnya pun terpaksa gigit jari. Investasinya terpangkas habis.

Penyakit Sosial

Dalam bursa efek ada istilah cornering. Bahasa populernya adalah menggoreng saham.

Istilah ini merujuk pada sejumlah pelaku di bursa efek yang bersepakat untuk memainkan saham perusahaan tertentu agar harganya naik. Mereka mengembuskan berbagai isu, termasuk melibatkan media massa, sehingga membuat saham perusahaan tertentu menjadi terlihat prospektif.

Para investor yang kalap, tanpa sempat menimbang kondisi fundamental dari perusahaan tersebut, akan main tubruk. Siapa yang tak tergiur melihat harga saham perusahaan tertentu terus bergerak naik. Daripada ketinggalan, mereka memutuskan ikut memborong saham perusahaan tersebut. Celakanya setelah kenaikan harganya dirasa cukup, mereka yang bersekongkol kemudian mulai menjual saham yang dimilikinya.

Alhasil, harga saham perusahaan tadi mulai melorot. Investor yang kalap tadi pun gigit jari. Mereka pun melakukan cut loss. Fenomena batu akik, anturium atau ikan louhan adalah fenomena cornering. Ada banyak pihak yang terlibat dalam mind game lalu memainkan psikologi pasar dengan mengembus-hembuskan berbagai isu untuk membuat harga melonjak.

Lalu histeria massa pun tercipta. Setelah harganya mencapai titik tertentu dan keuntungan yang diperoleh dianggap cukup, mereka pun perlahan-lahan melepas kendali pasar. Lantas harga pun bergerak turun. Tinggallah warga biasa yang keasyikan bermain, tinggal dalam impian yang tiba-tiba hari sudah petang dan harus bangun.

Histeria massa seperti itu erat kaitannya dengan perilaku irasional. Dalam ilmu ekonomi, perilaku irasional pun terjadi di mana-mana. Salah satu bentuknya pengulangan-pengulangan tadi. Kita pernah terkena demam ikan louhan. Lalu kita juga pernah dilanda demam anturium. Kini kita tengah mengulang kembali demam yang sama, yakni demam batu akik.

Ke depan, mungkin masih akan ada sejumlah demam lain. Bagi saya, fenomena semacam ini adalah “penyakit sosial”. Ini terjadi di mana-mana. Ketika akal sehat sudah tak bisa menerima, kita pun masuk dalam perilaku yang irasional. Itu sebabnya Andrew Normal Wilson, penulis biografi asal Inggris, menulis begini: “The fact that logic cannot satisfy us, awakens an almost insatiable hunger for the irrational.”


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Muda dan Selalu Gelisah

Akhir 2014, saya berkunjung ke Banyuwangi. Ini adalah kunjungan kesekian setelah lebih dari 30 tahun lalu menyeberangi Pelabuhan Ketapang menuju Gilimanuk, Bali. Kala itu, KAI masih punya rute Jakarta–Denpasar. Berikutnya saya melakukan safari dengan mobil dari Situbondo sampai ujung Blambangan, lalu ke Jember dan seterusnya.

Tentu saja bayangan masa lalu tentang Banyuwangi masih melekat kuat: kecil, terpencil, tradisional. Setelah itu, Jember dan Banyuwangi diramaikan berita tentang perang santet. Maka, tanpa program city branding pun, kalau ditanyakan pikiran orang kala itu, Banyuwangi ya kota santet.

Tapi, waktu berlalu. Semuanya berubah. Tak ada lagi kesan itu. Kini malah banyak berita positif. Saya menemui beragam keluarga Indonesia yang memilih Banyuwangi sebagai tujuan wisata. Rombongan pemda tak habis-habisnya melakukan studi banding.

Waktu saya tanya, mereka mengatakan Banyuwangi sudah memiliki sistem laporan keuangan terpadu yang belum dimiliki pemda lain. Perencanaan sampai pengawasan sudah IT-based, transparan, dan integrated. Ini tentu memudahkan birokrasi.

Di kaki gunung yang menuju Kawah Ijen yang indah, saya bertemu pasangan muda dari Prancis yang melakukan midnight hiking untuk menyaksikan indahnya blue fire yang diberitakan National Geographic. Saya juga di traktir kelapa muda dan ikan bakar di Pantai Pulau Merah, menikmati kopi Using ditemani bupati dengan tarian gandrung di Rumah Adat Suku Using yang dikelola secara profesional, serta menikmati sejumlah event yang diadakan pemda hampir setiap minggu untuk menjamu wisatawan-wisatawannya.

Lebih dari itu, geliat ekonominya bergerak begitu cepat. Banyak kawasan industri dan bangunan baru yang bermunculan. Semuanya tertata rapi.

Berubah

Banyuwangi bisa berubah menjadi seperti itu?

Betul, memang kondisi di desa-desa belum seperti di kota. Tapi, jalan-jalan yang membelah persawahan di sana sudah beraspal dan bisa dilalui kendaraan roda empat. Ini memudahkan akses petani dalam menjual hasil-hasil pertaniannya.

Wisata di Banyuwangi juga berkembang pesat. Lokasi-lokasi wisata di sana tertata rapi. Tidak seperti lazimnya di banyak daerah yang dibiarkan kumuh, tak berdaya menghadapi PKL, atau memang bupatinya tertidur. Di kawah Ijen saja, para pemikul belerang diberi sepatu dan kaus khusus sehingga tak terlihat kumuh.

Selain Kawah Ijen, ada Green Bay yang bisa dikombinasikan dengan hutan tropis Taman Nasional Meru Betiri dan Pulau Tabuhan. Lalu, air terjun Lider, Watu Dodol, dan Pantai Plengkung yang dikenal sebagai pantai terbaik untuk surfing dengan putaran ombak tinggi yang tak pernah ada habisnya.

Belum lagi tempat pertapaan di Alas Purwo yang terkenal mistis. Konon dulu presiden sampai memerintahkan agar membawa pohon beringin dari hutan Alas Purwo untuk ditempatkan di Taman Mini. Waktu saya tanya seorang peziarah, dia mengatakan: ”Pakunya Pulau Jawa ini hanya ada tiga: Banten-Solo dan satu lagi di sini. Kesaktian Banyuwangi tak terkira”. Baiklah, kita kembali ke pertanyaan tadi. Bagaimana Banyuwangi bisa berubah menjadi seperti itu?

Digugu dan Ditiru

Mengurus Indonesia itu sebetulnya tidak terlalu sulit. Sebab, bangsa kita suka meniru. Mereka juga sangat menghormati orang tua, tokoh-tokoh masyarakat, dan para pemimpinnya. Mereka dianggap sosok teladan. Dalam bahasa Jawa, layak digugu dan ditiru atau dijadikan guru. Jadi, kalau pemimpinnya bekerja keras dan jujur, rakyat kita pun akan meniru. Kita pasti sudah menjadi negara maju sejak dulu. Sayangnya, di banyak tempat hal itu tidak terjadi.

Kondisi di Banyuwangi berbeda. Saya melihat Bupati Abdullah Azwar Anas betul-betul bekerja keras untuk rakyatnya. Kadang saya heran, kapan istirahatnya? Muda, gelisah, gairah melayani dan berpikir kreatif, tak mudah marah, serta terus melakukan perubahan dan berpromosi untuk kedatangan wisatawan. Semangatnya meluap-luap untuk memajukan Banyuwangi.

Pertumbuhan ekonomi di sana pada 2012 mencapai 7,18 persen, di atas rata-rata nasional yang 6,12 persen. Masyarakat Banyuwangi juga rajin menabung. Jumlah dana mereka di bank tumbuh lebih dari 20 persen. Begitu juga penyaluran kreditnya terus naik.

Infrastruktur terus dibangun. Pada 2012, mereka membangun jalan sepanjang 250 kilometer. Lalu, setahun kemudian sepanjang 300 km. Ini termasuk jalan di pedesaan untuk mempermudah akses warga pedalaman ke pusat kota.

Panjang landasan Bandara Blimbingsari dinaikkan dari 1.400 meter menjadi 1.800 meter. Kini Garuda Indonesia dan Wings Air secara rutin sudah terbang ke sana.

Pelabuhan Tanjungwangi yang lautnya dalam pun direvitalisasi. Di sana juga ada galangan kapal milik generasi kedua ilmuwan asal Swedia yang menikah dengan perempuan Using: Liza Lundin, yang lalu memboyong keluarga dan teknologinya di sini, PT Lundin Industry. Kapal-kapal buatan Lundin yang berbahan komposit banyak dipesan dunia.

Saya masih menyimpan banyak catatan. Namun, ada dua hal yang ingin saya apresiasi. Pertama, sikap teguh bupati dalam menolak pembangunan mall. Katanya, mall baru boleh dibangun kalau indeks pembangunan manusia di Banyuwangi sudah di atas 7,6. Dia lebih suka investor membangun hotel untuk menyambut wisatawan.

PNS-nya juga dilarang menyediakan buah impor. Pertanian jeruk, manggis, dan buah naga pun kembali hidup. Bahkan, untuk menjenguk orang sakit, dia mendorong pembesuk membawa buah lokal.

Catatan kedua, aplikasi cyber city yang diterapkan secara luas sejalan dengan peremajaan taman-taman kota. Taman Makam Pahlawan Wisma Raga Satria ditata ulang sehingga rapi dan nyaman untuk remaja berkumpul sambil menenteng laptop.

Aplikasi cyber juga diterapkan di pemerintahan, termasuk untuk badan pelayanan perizinan terpadu (BPPT) dengan sistem online. Ini tentu memudahkan investor. Maka, saya tak heran jika investasi yang masuk di Banyuwangi terus naik.

Bupati Anas masih menyimpan obsesi yang lain. Dia ingin warga Banyuwangi tak usah mencari kerja ke luar daerah. Cukup di Banyuwangi. Mungkin tak mudah menggapai obsesi ini. Tapi, perkembangannya menggembirakan. Jumlah TKI asal Banyuwangi terus menurun.

Andai saja kita memiliki banyak pemimpin seperti Anas, makmurlah negeri ini.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Networking

Suatu kali saya membawa keluarga untuk makan malam bersama di sebuah resto di kawasan Ancol, Jakarta. Saya tidak melakukan reservasi terlebih dahulu karena saya pikir pengunjungnya bakal biasa-biasa saja. Dugaan saya ternyata meleset. Pengunjung membeludak.

Saya akhirnya melakukan reservasi, tapi resepsionis tak bisa menjanjikan karena sudah ada rombongan lain yang konon kenalan pimpinan. Saya sempat menyerah dan berencana membatalkan acara makan malam tersebut. Namun, karena perjalanan sudah jauh dan kalau dibatalkan banyak anggota rombongan yang kecewa, saya tidak tega.

Akhirnya, saya menelepon Budi Karya, sahabat saya yang ketika itu masih menjadi salah seorang direktur di Ancol.

Semula saya hanya ingin bertanya nomor telepon pemilik resto tersebut. Tapi, yang saya dapat ternyata lebih dari itu, nama saya dipanggil waitress dan diberi tempat duduk spesial. Singkatnya, rombongan kami pun bisa masuk. Acara makan malam kami berakhir dengan menyenangkan. Malam itu juga saya langsung menelepon Budi Karya, menyampaikan terima kasih atas bantuannya.

Pengalaman seperti di Ancol tadi ternyata tak hanya sekali saya alami. Saya pernah menghadapi masalah yang terkait dengan pengurusan paspor, visa di kedutaan asing, perubahan itenerary di bandara, izin kegiatan di pemda atau kepolisian, dan sebagainya yang semuanya beres dalam waktu sekejap.

Anda mungkin bisa dengan mudah menyebut pengalaman saya tadi dengan satu kata: koneksi. Tetapi, saya menyebutnya sebagai networking.

Sebagian kita menganggap networking adalah semacam jaringan persahabatan. Saya menganggapnya lebih dari itu. Bagi saya, networking adalah aset. Nilainya bisa setara atau bahkan lebih ketimbang aset-aset lainnya, seperti bahan baku, mesin, atau peralatan kerja lainnya.

Sebagaimana layaknya sumber daya lain, aset yang berupa networking juga mesti kita pelihara. Persis seperti mesin, kalau lama tidak kita gunakan dan tak pernah diberi pelumas, ia mungkin macet. Lalu, bagaimana memelihara aset yang berupa networking?

Hubungan Jangka Panjang

Saya punya cerita lain lagi. Suatu pagi saya terima BBM yang bunyinya begini: “Seorang pemerkosa girang setengah mati, karena hanya dijatuhi hukuman penjara satu tahun. Tapi, ia kemudian pingsan ketika diberitahu bahwa alat bukti kejahatannya disita oleh negara untuk dimusnahkan.”

Anda tahu, BBM itu saya terima dari seorang CEO BUMN papan atas di Indonesia. Saya mengenalnya sekitar tiga tahun lalu. Sejak pertama kali berkenalan, setiap dua minggu atau sebulan sekali, ia selalu menyapa saya dengan bertanya apa kabar.

Seiring waktu, ia terus berkirim BBM. Mulanya saya berpikir mungkin dia hanya akan bertahan terus berkirim BBM selama setahun. Setelah itu mulai berkurang, semakin jarang, dan akhirnya berhenti sama sekali. Nyatanya tidak. BBM-nya terus mengalir.

Saya tahu, kadang BBM humor yang dia kirimkan adalah copy paste dari humor yang juga diterimanya via BBM. Meski begitu, saya sama sekali tidak merasa ia sedang menganggap remeh. Saya juga tidak terganggu. Malah senang. Bayangkan ketika kepala tengah pening memikirkan urusan pekerjaan, kita menerima BBM humor yang bisa membuat kita tersenyum-senyum sendiri. Menyegarkan.

Sesekali saya juga membalasnya dengan humor yang lain. Kali lain cukup merespons dengan mengetik hahaha atau ikon smiley.

Apa yang dilakukan oleh sahabat saya itu adalah ibarat memberikan pelumas pada mesin networking kami. Kita tahu, dalam dunia bisnis, tidak pernah ada makan siang yang gratis. Dan, BBM humor tadi adalah salah satu menu “makan siang” yang murah.

Lantas, apa yang biasa saya pakai untuk memelihara hubungan? Tentu saya juga senang mengoleh-olehi sahabat saya dengan apa saja yang saya dapatkan dari luar negeri.

Di Jakarta, kalau tidak air embun Purence, saya biasa mengirim Tempe Embun buatan Rumah Perubahan atau buku-buku karya saya. Dan saya menyenangi hubungan yang seperti ini. Di rumah, saya kadang menerima kiriman buku, kopi, buah-buahan, atau bahkan nasi tumpeng dari para mantan mahasiswa saya di masa lalu.

Rasanya, hubungan seperti ini bukan gratifikasi, toh nilainya tak seberapa.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Misfit vs Problem Solver

“Jika Anda mengambil 20 karyawan terbaik Microsoft, saya pastikan Microsoft (dengan sisa karyawannya) akan menjadi perusahaan yang sama sekali tidak penting.”

Bill Gates

Kalimat tersebut sejatinya keluar dari mulut Bill Gates, pendiri yang juga pemilik Microsoft, tetapi kini pantas diucapkan oleh hampir semua taipan papan atas Indonesia. Nasib mereka ada di tangan orang-orang penting yang loyal, gesit, dan berdedikasi.

Bagi sebagian kita, ucapan Bill Gates tadi mungkin terdengar mengejutkan. Bagaimana mungkin, perusahaan sebesar Microsoft, yang pada tahun 2014 mampu membukukan pendapatan USD77,85 miliar, profit USD21,86 miliar, dan memiliki 122.935 karyawan yang tersebar di seluruh dunia, hanya bergantung kepada segelintir orang? Nyatanya begitu.

Setidak-tidaknya, jika kita percaya pada pengakuan Bill Gates. Namun sejatinya fenomena semacam itu tak hanya terjadi di Microsoft, tetapi juga pada hampir semua perusahaan.

Baik perusahaan multinasional sekelas Microsoft maupun yang hanya berskala nasional. Lalu, siapakah kelompok 20 orang terbaik tersebut?

Kita pakai saja formula Jack Welch. Menurut mantan CEO General Electric tersebut, dari seluruh karyawan perusahaan, sebanyak 20% merupakan top performer (bahkan dalam banyak hal, hukum Pareto ini dapat difokuskan lagi menjadi hanya 0,1%), lalu 70% akan menjadi middle performer, dan 10% sisanya adalah low performer.

Agak mirip dengan ucapan George Bernard Shaw yang menyebutkan hanya 2% manusia yang benar-benar mau berpikir dalam hidup ini. Nah mereka yang berpikir itulah yang mencari jalan, memimpin perubahan, mengambil inisiatif dan risiko, serta menemukan masa depan.

Banyak perusahaan menyebut kelompok top performer dengan istilah yang berbeda-beda. Ada yang menyebutnya winning team, key persons, champion team, atau superkeepers.

Adapun saya menyebutnya sebagai great drivers (lihat buku Self Driving, 2014). Apa pun sebutannya dan berapa pun persentasenya (yang jelas mereka adalah bagian yang amat kecil), orang-orang pilihan itu adalah harta tak kelihatan yang menjadi kekayaan perusahaan. Mereka mempunyai kinerja prima dan mampu menginspirasi koleganya. Inilah sosok- sosok yang dinilai mampu membangun kompetensi utama perusahaan.

Dalam kasus Microsoft, mereka adalah orang-orang yang tahu betul software yang kelak menjadi kebutuhan masyarakat. Lalu, tahu bagaimana menciptakan kebutuhan, kapan mesti diluncurkan, perusahaan mana yang mesti diakuisisi untuk mewujudkan gagasan tersebut, dan memastikan bahwa software tersebut tak memiliki pesaing. Jadi, mereka bukan sekadar sekelompok orang yang mengantisipasi datangnya masa depan, melainkan menciptakan masa depan itu sendiri.

Mereka bukan mengantisipasi permintaan, tetapi justru menciptakan permintaan.

Bagi banyak perusahaan, ternyata gampang-gampang susah mengenali orang-orang unggulan yang seperti ini. Sebab selain jumlahnya tidak banyak, mereka biasanya kurang suka menonjolkan diri. Mereka kurang suka banyak bicara karena terlalu asyik bekerja. Jadi bekerja adalah passion mereka.

Mereka biasanya juga memiliki mindset sebagai problem solvers. Kalau ada masalah, orientasinya bukan mencari siapa yang salah, tetapi apa yang salah dan yang lebih penting lagi bagaimana memperbaikinya. Apa yang mereka lakukan ini mirip dengan ungkapan Betty Williams, pemenang hadiah Nobel Perdamaian tahun 1976: ”There’s no use talking about the problem, unless you talk about the solution.”

Suka Mencari Kesalahan

Di dunia ini, kita hidup berpasang- pasangan. Jika ada siang, tentu ada malam. Jika ada putih, ada pula warna hitam. Ada pro, ada pula yang kontra. Begitu pula untuk the winning team atau para great driver, mereka juga memiliki pasangannya. Oleh sebagian perusahaan pasangannya itu disebut sebagai the fatalist, the losser, trouble maker atau kalau Lance Berger & Dorothy Berger biasa mengistilahkan mereka dengan sebutan misfit.

Saya menyebutnya sebagai bad passengers dan bad drivers. Ada yang bermental driver, tetapi perilakunya merusak, hanya menggosok orang lain agar menentang atau melakukan tindakan tak produktif, banyak mengeluh dan mengambil energi orang lain.

Adapun bad passengers, sudah cuma menumpang, merusak yang lain pula. Sama seperti tipe top performer, agak gampang-gampang susah mengidentifikasi tipe-tipe orang yang termasuk dalam kelompok misfit atau bad passengers (dan bad drivers) itu. Kita butuh waktu yang cukup untuk membaca mereka.

Di Rumah Perubahan kami perlu waktu tiga hari untuk mengajak mereka membuka diri dan me-restorasi kembali mental itu. Itu pun sebaiknya diikat dengan program recoding DNA yang menjadi tugas para atasan begitu mereka kembali. Para misfit ini biasanya lebih suka mencari siapa yang salah dan sibuk membesar-besarkan masalah.

Mereka gampang mengeluh, selalu tidak puas. Komplain melulu. Mereka juga lebih suka melihat kelemahan orang lain ketimbang kelebihannya dan tak suka melihat orang sukses. Mereka ini biasanya juga kritikus ulung. Setelah kami pelajari, ternyata mereka sejatinya terdiri atas orang-orang yang butuh kasih sayang kita, dengan segudang masalah batiniah.

Adapun perilaku buruknya yang diungkapkan secara terbuka ternyata hanyalah sebuah bentuk pengalihan saja dari rasa ”sakit”- nya yang tak terperikan. Bagi yang mengikuti ribut-ribut antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan DPRD, yang benar-benar tak ikut-ikutan secara ideologis atau bisnis, tentu kita bisa dengan mudah menemukan siapa misfit-nya.

Bagi Anda yang pernah menonton film In Good Company, mungkin bisa menemukannya dalam sosok Dan Foreman, seorang head of executive sales & advertising berusia 51 tahun. Itu dimulai ketika perusahaan Foreman diakuisisi dan dia dimutasi. Foreman ditempatkan sebagai bawahan dari seorang eksekutif bau kencur yang baru lulus sekolah yang usianya baru 26 tahun.

Coba bayangkan kalau Anda ditempatkan pada posisi Foreman: dulunya eksekutif andal, karena suasana berubah, segala kenikmatannya diambil orang lain, heroisme-nya pun beralih, membuatnya ia berbalik menjadi pembuat ulah. Menghadapi orang-orang yang seperti Foreman kini menjadi pengalaman yang biasa bagi saya. Itulah sebabnya mudah bagi saya mengidentifikasinya, seberapa pun mereka memasang topeng atau tipu muslihat.

Dalam membantu proses transformasi, hal seperti ini pun bisa kita atasi asalkan pemimpinnya teguh, tak buru-buru diganti, dan tentu saja bukan kompromi yang diambil. Bukannya apa-apa, banyak orang yang membacanya seakan-akan ini adalah konflik besar yang butuh juru damai. Padahal solusinya bukan kompromi, tetapi sebuah perubahan mendasar.

Sebetulnya tidak sulit-sulit amat menghadapi para misfit. Dalam beberapa segi, beberapa di antara mereka dapat kita ubah menjadi sumber daya. Para misfit ini tidak terbentuk dengan sendirinya. Juga tidak terbentuk seketika. Membutuhkan proses yang panjang dan waktu yang lama sampai akhirnya mereka terbentuk menjadi seperti itu.

Menurut Dave Ulrich & Norm Smallwood (2004), sekitar 70% proses pembelajaran sebenarnya terjadi dalam aktivitas sehari-hari, dalam pekerjaan sehari-hari. Lalu, 20%-nya diperoleh lewat sharing pengalaman dan observasi, belajar dari para role model atau melalui proses mentoring.

Sementara yang 10% sisanya belajar dalam kelas-kelas formal, training, workshop atau seminar. Melihat besarnya porsi pembelajaran dari pekerjaan sehari-hari, penting bagi kita untuk sesegera mungkin mengoreksi kekeliruan. Membiarkan kekeliruan berlarut-larut akan membuat kita terbiasa, lalu membudaya dan akhirnya tertanam menjadi mindset. Kalau sudah begini, susah mengubahnya.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Ketakutan

Potret kecemasan kita menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) barangkali tergambar di Kota Tangerang Selatan. Di sana, menjelang akhir September 2013, puluhan dokter yang bekerja di Rumah Sakit Umum (RSU) Kota Tangerang Selatan itu melakukan aksi unjuk rasa ke kantor wali kota.

Mereka di antaranya menyuarakan suara menolak kehadiran dokter-dokter asing asal Malaysia yang bekerja di rumah sakit tersebut. Berapa banyak dokter asing yang bekerja, yang disebutkan untuk melakukan transfer knowledge, di RSU tersebut? Hanya dua! Keduanya adalah dokter spesialis bidang ortopedi.

Reaktif dan Inkonsistensi

Respons yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan juga barangkali mewakili gambaran sikap reaktif kita dalam menanggapi permasalahan tersebut. Dinas Kesehatan kota tersebut memecat lima dokter yang melakukan aksi unjuk rasa tersebut karena dianggap melakukan tindak indisipliner dengan meninggalkan tugas. Sementara dokter-dokter lain yang ikut melakukan aksi unjuk rasa mendapat surat peringatan pertama dan kedua.

Jika kedatangan dua dokter asing itu saja sudah membuat ramai Tangerang Selatan, apalagi bila saat era MEA resmi diberlakukan pada akhir 2015?

Saya membaca di berbagai media online, menurut perkiraan Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PFKI), sebanyak 870 dokter asing siap menyerbu pasar Indonesia saat MEA berlaku. Tak diberitakan berapa banyak dokter kita yang punya nyali sebaliknya, berpraktik di negeri jiran. Itu baru praktik kedokteran untuk memberikan layanan kesehatan primer, belum yang lebih advance.

Jika ditambah dokter-dokter spesialis, jumlahnya pasti lebih dari itu. Bukankah kita sering mendengar “dokter-dokter kita jauh lebih hebat dari dokter lulusan negeri tetangga”, atau “mereka itu dulu belajarnya juga di sini”. Coba saja tengok fakultas-fakultas kedokteran di Jakarta, Yogyakarta, dan Medan. Banyak sekali mahasiswa asal Malaysia. Dalam soal liberalisasi ekonomi dan perdagangan, pemerintah kita memang sering mengeluarkan kebijakan yang saling bertolak belakang.

Tak mengherankan kalau praktiknya di lapangan menjadi kurang memotivasi kita untuk membangun keunggulan daya saing.

Kita dikenal sangat agresif dalam melakukan liberalisasi pasar, namun belakangan sering terhenyak karena kita ternyata belum sepenuhnya siap dan dipersiapkan. Kasus para dokter di Tangerang Selatan hanyalah salah satu contoh. Kasus-kasus serupa masih sangat banyak.

Dalam industri perbankan, kita dengan mudah menemukan cabang-cabang bank asing di pusat-pusat kota. Tapi, cobalah temukan dan cari cabang bank kita yang bisa menembus negara-negara tetangga. Sulit!

Kolega saya dari kalangan perbankan mengeluhkan, bukan saja sulit membuka outlet, melainkan juga sekadar membangun jaringan mesin ATM di sana juga sulit. Padahal, negara tersebut banyak mempekerjakan tenaga kerja Indonesia dan sangat dimudahkan menjaring nasabah di sini.

Di pusat-pusat perbelanjaan dengan mudah kita menemukan berbagai produk impor, mulai dari produk manufaktur sampai produk pertanian. Kita bahkan kewalahan menghadapi serbuan produk-produk garmen dan tekstil dari China.

Begitu pula jeruk brastagi atau jeruk pontianak yang kalah bersaing dengan jeruk ponkam yang diimpor dari China. Menjelang Imlek, jeruk santang selalu menyerbu pusat-pusat perbelanjaan kita.

Kalau kita baca di berbagai media, sikap pemerintah sendiri terbelah. Mantan menteri Perindustrian MS Hidayat mengaku gelisah dan gugup menghadapi era MEA. Persisnya, ia merasa Indonesia belum siap menghadapi MEA. Salah satu penyebabnya adalah mahalnya biaya logistik kita yang masih mencapai 16 persen dari total biaya produksi.

Padahal, di negara-negara lain biasanya biaya logistik hanya mencapai 4-10 persen dari total biaya. Mahalnya biaya logistik itulah yang menyebabkan produk-produk Indonesia bisa kalah bersaing dengan produk dari negara-negara tetangga.

Kita semua tentu tahu penyebab tingginya biaya logistik di negeri ini. Pungli, korupsi, tak ada keberanian memutuskan, dan terlalu takut menghadapi preman. Selain itu, kondisi infrastruktur dan manajemen kita juga yang buruk. Siapa yang tidak pusing menghadapi kemacetan yang menggila ketika angin barat dan musim hujan tiba.

Petarung Bukan Anak Rumahan

Tapi, saya senang juga mendengar ada menteri kita yang optimistis walau baru hanya semampu melihat bahwa MEA bukan ancaman, melainkan peluang. Karena dalam menghadapi MEA, saya menilai kondisi kita sebetulnya tidak jelek-jelek amat. Perusahaan semen kita, PT Semen Indonesia Tbk, sudah masuk ke pasar negara tetangga, Vietnam dan Kamboja, dengan mengakuisisi pabrik semen yang ada di sana. Tahun kemarin Semen Indonesia mengakuisisi pabrik semen di Myanmar.

Kita tahu sejak 2013 perusahaan semen ini sudah menjadi yang terbesar di Asia Tenggara, mengalahkan kompetitornya dari Thailand, Siam Cement. Jika pada 2013 volume produksi Siam Cement mencapai 23 juta ton per tahun, Semen Indonesia sudah 27 juta ton. Dalam industri penerbangan, usaha patungan kita juga jagoan. Maskapai penerbangan Lion Air melebarkan sayapnya hingga ke China, India, dan Bangladesh. Lion Air mendirikan perusahaan penerbangan Malindo Air, berpatungan dengan perusahaan asal Malaysia.

Ketika airlines Singapura dan Malaysia merugi, Garuda Indonesia justru mendapat pujian dari Skytrax. Dalam industri jasa konstruksi kita juga hebat. PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) misalnya jauh sebelumnya sudah dipercaya ikut membangun jalan tol di Aljazair, flyover di pusat Kota Kuala Lumpur, Malaysia, jembatan di Sungai Mekong, Vietnam, dan gedung bertingkat di Manila, Filipina. WIKA kini sedang bersiap-siap melanjutkan ekspansinya ke Myanmar dan Timor Leste.

Selain potret-potret tersebut, secara makro kondisi kita juga membaik. Saya cek ini dari data Global Competitiveness Index (GCI) yang setiap tahun selalu dikeluarkan oleh World Economic Forum. Memang tahun lalu kita sempat turun dari posisi ke-46 menjadi ke-50. Namun, data terakhir yang dirilis GCI menyebutkan peringkat kita naik lumayan tajam, menjadi ke-38. Meski begitu, kita tak boleh ge-er dulu. Meski naik, peringkat daya saing kita masih kalah dibandingkan dengan Malaysia (peringkat ke-24), Thailand (peringkat ke-37), dan Brunei (ke-26).

Saya tak menyebut Singapura karena peringkatnya jauh sekali di atas kita. Singapura menempati peringkat kedua dunia. Itulah modal kita menghadapi MEA. Masih jauh dari memuaskan, tetapi juga tidak jelek-jelek amat. Maka itu, ketimbang sibuk dengan ketakutan dan merengek meminta pemerintah melakukan berbagai proteksi regulasi, lebih baik kita terus mengasah daya saing dengan memperbaiki diri (dan kompetensi). Itu jauh lebih sehat.

Menjadi petarung itu butuh gizi dan nyali, bukan menjadi “anak mami” yang selalu merengek dan minta perlindungan. Perantau yang menyerang pasar asing jauh lebih hebat daripada anak rumahan yang gampang merajuk.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Berakhirnya Bank (Yang Kita Kenal)

Ucapan Bill Gates yang saya kutip minggu lalu dalam kolom ini rupanya tak bisa dianggap enteng. Katanya, “Banking is necessary, banks are not“.

“Ya, kita perlu perbankan, tapi banknya tidak”. Aduh, gimana dong kita yang bekerja di bank? Gates tidak main-main. Selain PayPal, Google Wallet, dan Apple Pay, kini ada Zopa, Square, dan Amazon Payments. Semuanya bukan bank, melainkan para inovator dalam dunia digital. Semuanya menjalankan fungsi perbankan yang jauh lebih efisien dan efektif. Kini bank-bank lokal kita pun mulai melirik M-Pesa (mobile money) yang populer di Kenya.

Sekadar diketahui, satu dari tiga pemakai mobile money dunia yang dua tahun lalu baru mencapai 60 juta pelanggan, adalah orang Kenya. Pasalnya, 80% dari semua ponsel (yang jumlahnya sudah melebihi populasi Kenya) telah bertransaksi melalui M-Pesa. Menurut kajian US News & World Report, dalam 30 tahun ke depan, uang kertas, kartu kredit, dan kartu debit akan menjadi sejarah.

Dalam 20 tahun, bahkan pekerjaan para teller yang menjadi ujung tombak pelayanan bank akan berakhir, hanya ada petugas yang menangani loan dan investasi yang jumlahnya terbatas. Uang akan digantikan oleh sinyal ponsel yang memudahkan jutaan transaksi antar umat manusia. Tak mengherankan bila lapangan pekerjaan sektor perbankan di banyak negara mulai menyusut. Bayangkan kalau konsep branchless bank yang tengah digadang-gadangkan di sini menjadi masif.

Change and Crisis

Semua itu tentu akan memicu ledakan dunia kerja di sektor keuangan. Kita harus siap memasuki evolusi ini yang akan melahirkan krisis kedua yang levelnya sedikit di bawah ledakan multidimensi yang kita alami pada 1998. Kalaupun kejutannya agak ringan, mungkin karena ia lebih bersifat evolutif saja, sehingga tak terjadi seketika dan merata.

Saya kutipkan Anda dengan dua kalimat yang sangat provokatif. Dari paparan Jo Caudron, pendiri dan CEO Dear Media, perusahaan konsultan media digital. Bunyinya begini. Pertama, “The future is about permanently dealing with change and going in and out of moments of crisis”. Kedua, “Are you ready to deal with this in your business context?” Sebagai penulis buku cHaNgE!, sejatinya saya cukup familier dengan ungkapan tersebut.

Saya sudah mengumandangkannya sejak lama, bahkan ketika istilah “perubahan” masih belum begitu akrab di telinga sebagian besar masyarakat kita. Kini, saya ingin menantang Anda.

Siapkah Anda untuk senantiasa menghadapi perubahan evolutif maupun revolutif? Siapkah Anda untuk senantiasa berada dalam situasi krisis? Bukan untuk menakut-nakuti, tetapi ini yang kerap saya jumpai.

Sebagian kita menganggap perubahan sebagai sesuatu yang menakutkan. Mengapa? Sebab perubahan jelas menuntut kita untuk juga berubah, beradaptasi dan mempersiapkannya selagi kita bisa membaca dan mengantisipasinya. Sekali lagi, bukan menakut-nakuti, tapi kita semua harus dibekali dengan prinsip-prinsip Agility, agar tangguh keluar dari segala zona yang melenakan : zona nyaman.

Dan, ini bagian yang paling menakutkan, kapan kita mestinya berubah? Jawabannya adalah kemarin!

Itu sebabnya di Rumah Perubahan, saya tengah menyiapkan sebuah game yang kelak akan saya namakan agility experience yang dapat Anda gunakan untuk melatih diri. Jadi, kita selalu terlambat untuk berubah. Itulah yang menyebabkan perubahan menjadi sangat menakutkan.

Perubahan Konsumen

Pada kolom minggu lalu, saya sudah menulis tentang kelak di dunia kita hanya akan ada dua warga negara: digital native dan digital immigrant. Siapa mereka? Digital native adalah anak-anak kita sekarang ini. Mereka sejak lahir sudah akrab dengan berbagai produk teknologi, tanpa perlu bersusah payah mempelajarinya terlebih dahulu.

Sementara kita adalah digital immigrant. Untuk bisa memakai berbagai produk teknologi, kita harus belajar habis-habisan. Kita harus membaca buku manualnya. Bahkan bertanya kiri-kanan. Juga kepada anak-anak kita yang bahkan mungkin belum pernah memakainya, tetapi ketika diberi kesempatan sebentar saja untuk mencoba, mereka langsung paham dan bisa menggurui kita.

Saya ingin menambahkan data survei tentang konsumen baru. Pertama, dari sisi alokasi waktu. Dari 18 jam yang mereka miliki per hari (enam jam untuk tidur), tiga jam lebih mereka alokasikan untuk browsing di internet. Berselancar di dunia digital berkamera sosial seperti yang saya ulas dalam buku Camera Branding. Di dunia maya tersebut mereka mencari segala hal yang dianggap perlu. Lalu, selama tiga jam lebih, juga mereka habiskan untuk aktif melakukan social networking.

Mereka masih menonton televisi, tapi mungkin hanya sekitar dua jam. Selebihnya rata-rata sekitar satu-dua jam mereka habiskan untuk bermain video games, nonton film di bioskop, mendengarkan radio, menjawab e-mail, SMS, atau aplikasi lainnya, ngobrol tentang berita atau produk-produk terbaru. Hanya sekitar setengah jam yang mereka habiskan untuk membaca koran atau majalah.

Kedua, adanya berbagai produk teknologi betul-betul mengubah cara-cara pelanggan bank berinteraksi dengan perbankan. Ini datanya. Hampir 60% pelanggan bank berinteraksi dengan perangkat mobile-nya. Mereka bisa bertransaksi 20-30 kali per bulan. Bagaimana dengan pengguna tablet? Jumlahnya berkisar 17%.

Mereka bertransaksi 7-10 kali per bulan. Pemakai ATM hanya sekitar 8% dari seluruh pelanggan, dan bertransaksi hanya 3-5 kali per bulan. Phone banking, jumlah penggunanya mungkin lebih banyak, berkisar 12%. Namun, pengguna phone banking hanya bertransaksi 5-10 kali per tahun. Sekali lagi, per tahun. Bukan per bulan.

Lalu, berapa banyak di antara para pelanggan yang masih bertransaksi secara tradisional dengan datang langsung ke bank? Mungkin hanya tinggal sekitar 3%. Di sana mereka hanya bertransaksi 1-2 kali per tahun. Lagi, per tahun.

Bahkan, bukan hanya customer yang berubah perilakunya akibat hadirnya teknologi digital. Perilaku korporasi pun berubah. Contohnya Amazon, mereka mengubah harga jual produknya hingga 2,5 juta kali per hari. Sebagai perbandingan, Walmart dan Best Buy hanya mengubah harganya 50.000 kali per bulan.

Dua Survei

Itulah perubahan yang terjadi di kalangan customer dan korporasi. Lalu, bagaimana bank mesti menyikapi perubahan tersebut? Kalau perbankan menganggap customer adalah segala-galanya, berikut saya kutipkan beberapa riset yang memaparkan apa saja sebenarnya yang mereka harapkan dari perbankan.

Pertama, saya kutip dari The Financial Brand dalam survei yang mereka lakukan pada 2014. Gambarannya begini. Sebanyak 81% pelanggan selalu bertanya-tanya, apa reward yang saya peroleh dari bank? Jadi buat bank di sini, silakan mulai dipikirkan, apa kira-kira reward yang bakal kalian berikan untuk para pelanggan. Lalu, 61% pelanggan juga ingin kemudahan dalam mengakses layanan perbankan.

Intinya, mereka ingin bisa mengakses layanan, terutama rekening mereka, dimana saja, kapan saja. Kemudian yang menarik, 58% pelanggan ingin diperlakukan secara personal. Silakan Anda pikirkan kira-kira seperti apa bentuk layanan yang personal.

Masih ada lagi. Sebanyak 55% pelanggan ingin perbankan memberikan masukan atau saran tentang bagaimana mereka bisa meningkatkan kekayaannya. Ini saya lihat belum banyak dilakukan oleh perbankan kita.

Mungkin banyak bank yang sudah menyediakan layanan wealth management, tapi belum berdampak signifikan bagi peningkatan kekayaan nasabahnya. Sisanya, sekitar 52% pelanggan ingin perbankan memberikan masukan tentang kapan mereka mesti membelanjakan uangnya dan kapan mesti menabung.

Well, semakin tidak mudah bukan untuk menjadi seorang bankir. Bukan seperti masa lalu, di mana Anda tinggal menerima dana dari pihak ketiga dan menyalurkannya dalam bentuk kredit.

Keinginan customer berubah, bank pun mesti berubah. Saya akan melengkapinya sedikit lagi dengan survei lain yang dilakukan Accenture, 2014. Sebagian agak mirip dengan survei The Financial Brand. Potretnya begini. Sebanyak 51% pelanggan ingin pihak bank proaktif memberikan rekomendasi tentang produk dan jasa perbankan yang sesuai dengan kebutuhan finansial mereka.

Kemudian, 48% pelanggan ingin pihak bank memberikan analisis yang real time, bahkan forward looking, tentang aktivitas belanja pelanggan. Masih ada dua lagi. Sebanyak 71% pelanggan ternyata lebih suka hubungan yang bersifat transaksional dengan pihak perbankan.

Kemudian 27%, pelanggan lebih suka branchless digital bank. Jadi cabang-cabang bank cukup digital saja, tak perlu memiliki berupa gedung atau kantor yang berupa fisik. Itulah perubahan aspirasi dari para pelanggan bank akibat hadirnya teknologi digital.

Awalnya terjadi tidak merata, tapi lambat laun semua kena dampaknya, dari sebuah gelombang besar kejutan teknologi dari satu negara ke negara lainnya. Siapkah Anda, para bankir, untuk berubah?


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Manusia “Rigid” akan Sulit Sendiri

Dalam perjalanan pulang ke Jakarta dari Frankfurt, salah seorang CEO perusahaan terkemuka Indonesia duduk di sebelah saya. Pria berkebangsaan India yang sangat berpendidikan itu bercerita tentang karier dan perusahaannya.

Gerak keduanya (karier dan perusahaannya) begitu lincah, tidak seperti kita, yang masih rigid (red: kaku; tidak fleksibel; sulit berubah), terperangkap pola lama, seakan-akan semua layak dipagari, dibuat sulit. Perusahaan sulit bergerak, impor-ekspor bergerak lambat, dwell time tidak konsisten. Ini sama seperti karier sebagian dari kita, terkunci di tempat. Akhirnya, kita hanya bisa mengeluh.

Pria itu dibesarkan di India, kuliah S-1 sampai selesai di sana, menjadi alumnus Fulbright, mengambil S-2 di Amerika Serikat, lalu berkarier di India sampai usia 45 tahun. Setelah itu, ia menjadi CEO di perusahaan multinasional dari Indonesia.

Perusahaannya baru saja mengambil alih sebuah pabrik besar di Frankfurt. Namun karena orang di Frankfurt masih kurang yakin dipimpin eksekutif dari emerging countries, (red: negara berkembang) ia membujuk pemasoknya dari Italia agar ikut memiliki saham minoritas di Frankfurt. Dengan kepemilikan itu, pabrik di Frankfurt dikelola eksekutif dari Eropa (Italia).

Solved!

Itu adalah gambaran dari agility. Kelincahan bergerak yang lahir dari fenomena borderless world. Anehnya juga, kita mendengar begitu banyak orang yang cemas menghadapi perubahan. Dunia sudah lebih terbuka, mengapa harus terus merasa sulit? Susah di sini, bisa bergeser ke benua lain. Tak ada lagi yang sulit. Ini tentu harus disyukuri.

Serangan Tenaga Kerja

Belum lama ini, kita membaca berita tentang kegusaran seseorang yang tulisannya di-forward ke mana-mana melalui media sosial. Mulai dari keagresifan angka pertumbuhan yang berkurang, sampai serangan tenaga kerja dari Tiongkok.

Berita itu di-forward ke sana kemari sehingga seakan-akan tak ada lagi masa depan di sini. Yang mengherankan buat saya, mengapa ia tidak pindah saja bekerja dan berimigrasi ke negara yang dipikirnya hebat itu?

Bekerja atau berkarir di luar negeri tentu akan menguntungkan bangsa ini. Pertama, Anda akan memberi kesempatan kerja kepada orang lain yang kurang beruntung. Kedua, Anda akan mendapatkan wisdom bahwa hal serupa, komplain yang sama, ternyata juga ada di luar negeri.

Rekan saya, CEO yang saya temui di pesawat Lufthansa tadi, mengeluhkan tentang negerinya. “Orang Indonesia baik-baik, bekerja di Indonesia menyenangkan. Kalau diajari sedikit, bangsa Anda cepat belajar. Pikiran dan tindakannya terstruktur. India tidak! Di India, politisi selalu mengganggu pemerintah. Irama kerja buruh tidak terstruktur. Pertumbuhan ekonomi terlalu cepat, membuat persaingan menggila. Rakyatnya makin konsumtif dan materialistis.” Kalimat itu ia ucapkan berkali-kali.

Susah? Kerja lebih Profesional!

Di Italia, guide saya, seorang kepala keluarga berusia muda, mengantar saya melewati ladang-ladang anggur di Tuscany, menolak menemani makan siang yang disajikan mitra kerja Rumah Perubahan di rumahnya yang indah. “Biarkan saya hanya makan salad di luar. Saya dilarang makan enak saat mengemudi.” ujarnya.

Kepada putra saya, ia mengajari. “Saat bekerja, kita harus bekerja, harus profesional, gesit, dan disiplin. Cari kerja itu sulit, mempertahankannya jauh lebih sulit. Kita harus lebih kompetitif dari orang lain kalau tetap ingin bekerja.” ujarnya.

Di dalam vineyard-nya yang indah, rekan saya menyajikan aneka makanan Italia yang lezat, lengkap dengan demo masak dan ritual mencicipi wine yang dianggap sakral. Di situ, mereka berkeluh kesah tentang perekonomian Eropa yang terganggu Yunani belakangan ini. Lagi-lagi, mereka menyebutkan bahwa kehidupan yang nyaman itu ada di Pulau Dewata, Bali; dan Pulau Jawa.

Ketika saya ceritakan bahwa kami di Indonesia juga sedang susah, dia mendengarkan baik-baik. Dari dulu kalian terlalu rendah hati, selalu merasa paling miskin dan paling susah. Ketika kalian sudah menjadi bangsa yang kaya, tetap merasa miskin. Namun, saya tak pernah melihat bangsa yang lebih kaya, lebih merdeka, lebih bahagia daripada Indonesia. Saya pun terdiam.

Di Singapura, saya mengirim berita tentang komplain terhadap masalah dollar AS dan ancaman kesulitan kepada rekan lain yang sudah lima tahun ini berkarir di sana. Ia pun menjawab ringan, “Suruh orang-orang itu kerja di sini saja.

Tak lama kemudian, ia pun meneruskan. “Kalau sudah kerja di sini, baru tahu apa artinya kerja keras dan hidup yang fragile (red: rapuh; mudah hancur).

Saya jadi teringat curhat habis-habisan yang ia utarakan saat saya berobat ke negeri itu. “Mana bisa kongkow-kongkow, main Facebook, nge-tweet saat jam kerja? Semua harus disiplin, berani maju, kompetitif, dan siap diberhentikan kalau hasil kerja buruk. Di negeri kita (Indonesia), saya masih bisa bersantai-santai, karyawan banyak, hasil kerja tidak penting, yang penting bos tidak marah saja.” ujarnya.

Saat itu, ia tengah menghadapi masa probation atau percobaan, dan sungguh khawatir kursinya akan direbut pekerja lain dari India, Turki, dan Perancis yang bahasa Inggrisnya lebih bagus, serta ritme kerjanya lebih cepat. Ternyata, bekerja di negeri yang perekonomiannya bagus itu juga tidak mudah. Padahal, di sana, mereka lihat bahwa kerja yang enak itu ya di sini.

Bangsa Merdeka jangan Cengeng

Saya makin terkekeh membaca berita yang disebarluaskan para haters melalui grup-grup WA bahwa pemerintah sekarang tidak perform, membiarkan sepuluh ribuan buruh dari Tiongkok melesak masuk ke negeri ini. Sungguh, saya tak gusar dengan serangan tenaga kerja itu. Yang membuat saya gusar adalah kalau hal serupa dilakukan bangsa-bangsa lain terhadap tenaga kerja asal Indonesia di luar negeri.

Penyebar berita kebencian itu mestinya lebih rajin jalan-jalan ke luar negeri. Bukankah dunia sudah borderless, tiket pesawat juga sudah jauh lebih murah. Cara menginap juga sangat mudah dan murah. Kalau saja ia rajin, maka ia akan menemukan fakta-fakta ini: Sebanyak 300.000 tenaga kerja Indonesia bekerja di Taiwan. Sebanyak 250.000 lainnya di Hongkong. Lebih dari 100.000 orang ada di Malaysia. Selain itu, perusahaan-perusahaan kita sudah mulai mengepung Nigeria, Myanmar, dan Brasil, bahkan juga Kanada dan Amerika.

Jadi bagaimana ya? Kok baru dikepung 10.000 orang saja, kita sudah rasial? Ini tentu mengerikan.

Lalu dari grup WA para alumnus sekolah belakangan ini juga mendapat kiriman teman-teman yang kini berkarir di mancanegara. Delapan keluarga teman kuliah saya ada di Kanada, beberapa di Jerman dan Eropa, puluhan di Amerika Serikat, dan yang terbanyak tentu saja di Jakarta. Semakin banyak orang kita yang berkarir bebas di mancanegara. Karier mereka tidak rigid.

Jadi, janganlah kita cengeng. Beraninya hanya curhat dan komplain, tetapi tak berbuat apa-apa. Bahkan, beraninya hanya menyuarakan kebencian, atau paling-paling cuma mengajak berantem dan membuat akun palsu bertebaran. Kita juga jangan mudah berprasangka.

Syukuri yang sudah didapat. Kecemasan hanya mungkin diatasi dengan berkomitmen untuk bekerja lebih jujur, lebih keras, lebih respek, lebih profesional, dan memberi lebih.

Kalau Anda merasa Indonesia sudah “berbahaya”, ya belain dong. Kalau Anda merasa tak senang dengan orang lain (dan bangsa ini, red.), ya sudah, pindah saja ke luar negeri. Mudah kok. Di sana Anda akan mendapatkan wisdom atas kata-kata dan perbuatan sendiri. Di sana, kita baru bisa merasakan kayanya Indonesia. Di sana, kita baru tahu bahwa tak ada hidup yang mudah.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Menjadikan Perubahan sebagai Sebuah Pesta Besar

Dalam setiap proses perubahan, selalu ada dua kelompok yang saling berhadapan, yakni antara tokoh perubahan dengan kelompok yang akan diubah. Seringkali antara pemimpin baru yang datang dari luar melawan pegawai, birokrat atau pejabat-pejabat lama yang kurang melayani keluar.

Dalam konteks nasional, juga terjadi antara yang terpilih dengan yang terkalahkan. Padahal, mereka menjanjikan perubahan, kata sucinya adalah persatuan untuk memberantas kemiskinan dan kebodohan. Bukan berhadap-hadapan sendiri untuk membodohi rakyat, atau menggagalkan pemenang dalam memberantas kemiskinan.

Berhadap-hadapan adalah rumusnya orang yang belum dewasa, yang masih mudah dipanas-panasi, dan hanya menguntungkan musuh publik. Percuma saja berperang menghadapi bangsa sendiri.

Mengasihi yang Kalah

Secara psikologis, “persepsi” kalah atau dikalahkan ternyata berdampak sangat buruk dalam perubahan. Itu sebabnya pada bab terakhir buku cHaNgE! yang saya tulis tahun 2005, saya memperkenalkan konsep “pesta perubahan”. Saya sudah mempraktikkannya dalam berbagai kesempatan saat memimpin transformasi, mungkin Anda bisa mencontohnya.

Mungkin karena adanya di bab akhir buku cHaNgE!, banyak pemimpin yang tidak selesai membacanya, sehingga yang diingat hanya proses dialektis antara change makers dengan ”lawan-lawan”-nya yang diwarnai resistensi.

Lantas dimana pestanya?

Coba belajar dari tokoh-tokoh berikut ini. Emirsyah Satar, sewaktu dihadang para pilot Garuda yang melakukan ancaman-mogok, menutup demo sambil bertukar jaketnya dengan topi yang dipakai pimpinan asosiasi pilot. Senyum lebarnya yang disorot kamera televisi menyejukkan suasana.

Dalam buku From One Dollar to Billion Dollars Company, Anda juga bisa melihat foto, bagaimana CEO ini mengajak bawahannya berpesta “membersihkan” kabin pesawat pada tengah malam.

Ignatius Jonan juga memimpin “pesta perubahan” di PT KAI dengan menaikkan gaji para “pejuang keluarga” di perusahaan itu dan piket bersama mereka. Fotonya yang terlelap di bangku kereta saat memantau transportasi mudik mendapat pujian publik.

Joko Widodo, mengajak makan siang dan malam sebanyak 54 kali para pedagang yang menempati taman kota di Solo sebelum diajak pindah. Kepindahan mereka bahkan dikirap dengan pasukan kraton, lokasi barunya pun diiklankan berbulan-bulan lewat media lokal. Baliho dan umbul-umbul bak sebuah bazar nasional menghiasi kepindahan mereka yang puluhan tahun sulit diajak berubah.

Berkali-kali saya juga melakukan hal yang sama dalam skala kecil. Berpesta adat dengan masyarakat di pulau terpencil sebelum memulai integrated farming dengan metode kewirausahaan sosial. Menunya cuma kopi panas, ubi rebus dan sirih-pinang. Di UI saat memimpin program doktoral saya juga mengajak para dosen, staf dan office boy berlibur ke Senggigi di pulau Lombok untuk membuat hati mereka riang dan lebih siap melayani mahasiswa.

Di Pulau Adonara, NTT, saya bertemu dengan Kamilus Tupen, yang mengajak warganya berkebun dengan pendekatan adat: sambil bernyanyi, memakai tenun adat, menanam kebun. Metode hutang tenaga menggantikan hutang bank konvensional.

Ketika masa panen tiba, rakyat sudah punya uang, rumah-rumah mereka sekarang sudah layak huni karena perubahan dibuat bak sebuah pesta besar. Bukan sebuah gerakan perubahan biasa dengan pidato camat atau pejabat. Padahal ini gerakan kewirausahaan sosial untuk menjalankan misi yang bahasa kerennya dikenal sebagai financial inclusion.

Mereka semua mengasihi orang-orang yang diajak berubah, bukan dimusuhi atau dijadikan ancaman untuk saling berhadapan seperti politisi pasca-pemilu. Mereka hanyut dalam situasi dan menerima perubahan sebagai sebuah “hadiah Tuhan”.

Transformasi di BPD, Sebuah Contoh

Beberapa tahun belakangan ini kita juga saksikan perubahan besar-besaran pada bank-bank lokal di daerah yang didorong OJK.

Digempur oleh bank-bank BUMN dan asing, peningkatan kesejahteraan di daerah bisa mematikan Bank-bank Pembangunan Daerah. Padahal spirit bank-bank daerah di masa lalu “ngeri-ngeri sedap”: kepanjangan tangan aparat, feodal, karyawannya koneksi pejabat daerah, orientasinya terbatas pada kabupaten masing-masing alias tak mau dipindahtugaskan, uangnya hanya disimpan dalam bentuk SBI, inovasi tidak ada, pelayanan publik begitu buruk karena orientasi mereka hanyalah melayani atasan pemprov atau pemkab.

Nah, demi menjadikan mereka “local champion”, bank sentral pun mendorong perubahan. Maka masuklah direksi-direksi baru yang datang dari kalangan profesional. Hampir semuanya mendatangkan CEO dan direksi dari Bank Mandiri, BNI, Danamon, BII dan seterusnya.

Ndilalah, jabatan-jabatan itu sudah lama diincar pejabat-pejabat karir internal, apakah kepala divisi atau pimpinan-pimpinan cabang utama. Tentu mereka kaget.

Suka atau tidak, keduanya akan saling berhadap-hadapan. Yang satu modalnya legitimasi OJK (lolos uji) dan profesionalisme. Yang satunya lagi hubungan kedaerahan, jaringan ke dalam, dan dukungan politik lokal. Akibatnya, dewasa ini hampir semua perubahan di BPD kacau balau.

Sekitar 7 BPD terkatung-katung tanpa dirut. Yang direkomendasikan OJK dihadang di dalam, yang diusulkan dari dalam tak lulus fit and proper test di OJK. Partai politik–kalau gubernurnya nakal–mengambil kesempatan terlalu dalam dengan mendorong orang-orang yang low competence naik keatas (agar mudah dikendalikan) dan suasananya menjadi setengah chaos.

Jadilah mereka saling berahadap-hadapan, konflik, dan sebagian harus berhadapan dengan hukum.

Apa yang harus dilakukan para change leaders dari luar?

Sederhana saja, jangan langsung bekerja. Buatlah perubahan ini “as if” sebagai sebuah pesta besar seperti yang bisa dibaca dalam buku Change atau yang dilakukan para pemimpin perubahan yang saya sebutkan tadi.

Tapi yang lebih penting, semua pihak harus sadar, bahwa kita tidak tengah saling berhadap-hadapan. Sambil berjalan, tingkatkanlah kompetensi para eksekutif di lapis kedua dan ketiga, kirim mereka melihat dunia yang lebih luas. Ajak mereka mengunjungi bank-bank besar di luar negeri agar mata mereka terbuka.

Kalau bank punya uang, jangan ragu gunakan demi kemajuan para pemimpin di lini tengah, ketimbang dipakai buat menyuap aparat. Lebih baik buat mereka gembira, lalu bekerja lebih bersemangat dan sama-sama berjuang menghadapi musuh di luar. Nanti biarkan mereka yang bertarung menghadapi para medioker yang bebal terhadap pembaharuan, atau mereka yang berpolitik untuk mendapatkan jabatan direksi.

Perubahan sulit dilakukan kalau tidak ada persatuan. Dan persatuan butuh kecerdikan, kerendahatian, self driving, kemampuan mendatangi, bukan kesombongan atau merasa paling benar. Artinya perlu rekonsiliasi dan agility. Tapi buat apa juga ya saling berahadap-hadapan. Masa orang dewasa masih mau di adu domba menjadi tontonan publik?


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”