Prof. Rhenald Kasali

Dalam Cengkeraman Ilmu Dasar

Setiap bangsa punya pilihan: melahirkan atlet bermedali emas atau perenang yang tak pernah menyentuh air; melahirkan sarjana yang tahu ke mana langkah dibawa atau sekadar membawa ijazah.

Tak terpungkiri, negeri ini butuh lebih banyak orang yang bisa membuat ketimbang pandai berdebat, bertindak dalam karya ketimbang hanya protes. Tak banyak yang menyadari universitas hebat bukan hanya diukur dari jumlah publikasinya, melainkan juga dari jumlah paten dan impact pada komunitasnya.

Pendidikan kita masih berkutat di seputar kertas. Kita baru mahir memindahkan pengetahuan dari buku teks ke lembar demi lembar kertas: makalah, karya ilmiah, skripsi, atau tesis. Kita belum menanamnya dalam tindakan pada memori otot, myelin.

Seorang mahasiswa dapat nilai A dalam kelas marketing, bukan karena dia bisa menerapkan ilmu itu ke dalam hidupnya, minimal memasarkan dirinya, atau memasarkan produk orang lain, melainkan karena ia sudah bisa menulis ulang isi buku ke lembar-lembar kertas ujian.

Pendidikan tinggi sebenarnya bisa dibagi dalam dua kelompok besar: dasar dan terapan. Pendidikan dasar itulah yang kita kenal sejak di SD: matematika, kimia, biologi, fisika, ekonomi, sosiologi, dan psikologi. Terapannya bisa berkembang menjadi ilmu kedokteran, teknik sipil, ilmu komputer, manajemen, desain, perhotelan, dan seterusnya.

Kedua ilmu itu sangat dibutuhkan bangsa memajukan peradaban. Namun, investasi untuk membangun ilmu dasar amat besar, membutuhkan tradisi riset dan sumber daya manusia bermutu tinggi. Siapa menguasai ilmu dasar ibaratnya mampu menguasai dunia dengan universitas yang menarik ilmuwan terbaik lintas bangsa. Negara-negara yang berambisi menguasainya punya kebijakan imigrasi yang khas dan didukung pusat keuangan dan inovasi progresif.

Dengan bekal ilmu dasar yang kuat, bangsa besar membentuk ilmu terapan. Amerika Serikat, Jerman, dan Inggris adalah negara yang dibangun dengan keduanya. Namun, sebagian negara di Eropa dan Asia memilih jalan lebih realistis: fokus pada studi ilmu terapan. Swiss fokus dengan ilmu terapan dalam bidang manajemen perhotelan, kuliner, dan arloji. Thailand dengan ilmu terapan pariwisata dan pertanian. Jepang dengan elektronika. Singapura dalam industri jasa keuangannya.

Tentu terjadi pergulatan besar agar ilmu terapan dapat benar- benar diterapkan. Pada mulanya ilmu terapan dikembangkan di perguruan tinggi untuk mendapat dana riset dan menjembatani teori dengan praktik. Akan tetapi, mindset para ilmuwan tetaplah ilmu dasar yang penekanannya ada pada metodologi dan statistik untuk mencari kebenaran ilmiah yang buntut-nya ialah publikasi ilmiah.

Melalui pergulatan besar, program studi terapan berhasil keluar dari perangkap ilmu dasar. Ilmu Komputer keluar dari Fakultas Matematika dan Manajemen menjadi Sekolah Bisnis. Dari lulusan dengan ”keterampilan kertas”, mereka masuk pada karya akhir berupa aplikasi, portofolio, mock up, desain, dan laporan pemecahan masalah.

Metodologi dipakai, tetapi validitas eksternal (impact dan aplikasi) diutamakan. Hanya pada program doktoral metodologi riset yang kuat diterapkan. Itu pun banyak ilmuwan terapan yang meminjam ilmu dasar atau ilmu terapan lain sehingga terbentuk program multidisiplin seperti arsitektur yang dijodohkan dengan antropologi atau arkeologi, akuntansi dengan ilmu keuangan.

Anak-anak kita

Kemerdekaan yang diraih program studi ilmu terapan di perguruan tinggi melahirkan revolusi pada tingkat pendidikan dasar. Bila mengunjungi pendidikan anak-anak usia dini, TK dan SD di mancanegara, Anda akan melihat kontras dengan di sini. Alih-alih baca-tulis-hitung dan menghafal, mereka mengajarkan executive functioning, yang melatih anak-anak mengelola proses kognisi (memori kerja, reasoning, kreativitas-adaptasi, pengambilan keputusan, dan perencanaan-eksekusi).

Sekarang jelas mengapa kita mengeluh sarjana tak siap pakai: pendidikan didominasi kultur ilmu dasar yang serba kertas dan mengabaikan aplikasi. Perhatikan, Indonesia masih menjadi negara yang mewajibkan lulusan sekolah bisnis (MM) menulis tesis yang pengujinya getol memeriksa validitas internal dan metodologi yang sempit. Kegetolan ini juga terjadi pada banyak penguji program studi perhotelan atau terapan lain yang merasa kurang ilmiah kalau tidak ada pengolahan data secara saintifik.

Saya ingin menegaskan: hal itu hanya terjadi pada negara yang ilmu terapannya masih terbelenggu mindset ilmu dasar. Keluhannya sama: tak siap pakai, kalah dalam persaingan global.

Pertanyaannya hanya satu, kita biarkan terus seperti ini atau dengan legawa kita mulai pembaruan agar para sarjana ilmu terapan mampu menerapkan ilmunya? Itu terpulang pada kesadaran kita, bukan kesombongan atau ego ilmiah.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Belajar Melihat Perspektif

Salah satu latihan yang disukai anak-anak di sekolah kami adalah latihan perspektif. Ada sebuah gunungan di tengah-tengah meja yang membuat seorang anak yang duduk di satu sisi hanya bisa melihat benda-benda yang tampak di depan gunung yang menghadap ke dirinya.

Ketika ditanya guru, apa saja yang bisa ia lihat dari sisinya sambil duduk, anak-anak menyebut semua benda yang tampak di depannya dengan baik. Di situ tampak seekor kambing, pohon kelapa dan sebuah mobil. “Sekarang, bisakah engkau melihat yang aku lihat dari sini?” tanya bu guru yang duduk di sisi seberang. Anak itu menggelengkan kepalanya.

Mereka lalu bertukar tempat duduk. Anak itu tersenyum. Ia lalu menyebut apa saja yang ia lihat dari sisi belakang gunung. “Seekor burung hantu, tulang tengkorak, pohon cemara dan ada orang.” ujarnya.

Sekarang, bisakah engkau melihat apa yang aku lihat dari sini?” tanya bu guru. Anak itu mengangguk-anggukan kepala . “Ya!” ujarnya mantap. “Seekor kambing, pohon kelapa dan sebuah mobil.” Ia lalu menyebutkan semua benda yang ada di atas meja, baik yang hanya bisa dilihat dari sisinya maupun dari sisi yang dilihat gurunya.

Belajar “Melihat”

Berulangkali saya mengatakan, perubahan tidak mungkin bisa dilakukan selama manusia gagal diajak melihat. Silahkan mengadah ke langit. Anda bisa saja berujar, “langit berwarna biru.” Teman di sebelah Anda enggan menoleh ke atas, ia hanya berujar pendek, “tak biru lagi.” Atau “tak semuanya biru”, “hanya sebagian biru,” bahkan “tak sama birunya.”

Sudah hampir pasti setiap perubahan selalu menimbulkan guncangan, atau bahkan mendorong orang melakukan demo. Begitu ada yang berubah, manusia Indonesia belakangan ini menjadi lebih ekspresif dan reaktif.

Seorang diplomat asing yang senang melihat demokrasi di Indonesia berujar, “Di negara saya, orang berpikir dulu, lalu mengambil tema dan turun ke jalan. Di Indonesia, begitu bangun tidur, orang punya kecenderungan berbicara dan mengajak orang lain berdemo.

Untuk apa berdemo kalau suara satu orang saja bisa didengar? Jawabnya jelas, untuk menimbulkan perhatian. Bahkan bisa juga untuk mengancam. Tetapi benarkah demo selalu dilakukan untuk kebaikan banyak orang dan demi perubahan yang lebih baik?

Di UI saya pernah menerima petisi dari satu kelas mahasiswa S3 yang minta jadwal ujian preliminary ditunda satu bulan. Ujian itu sebelumnya tak pernah ada karena program studi sebelumnya diurus mereka yang tidak pernah sekolah doktor berbasiskan kuliah.

Begitu ditata ulang dan diperbaiki, tentu para mahasiswa itu “kegerahan”. Namun setelah saya susuri, ternyata penyebabnya hanya 1 orang yang takut tidak bisa mendapat nilai bagus.

Saya pun memanggil mereka satu persatu dan memisahkan “alang-alang dari padinya“. Akhirnya sumbernya ditemukan. Satu orang yang gelisah telah memprovokasi orang-orang yang siap ujian. Orang-orang baik yang siap mengikuti ujian ternyata kalah mengikuti kehendak satu orang yang paling lemah.

Setelah diajak berdialog, orang yang paling aktif dan galak menentang jadwal ujian secara beramai-ramai ternyata adalah orang paling cengeng ketika dihadapi seorang diri. Sejak saat itu saya menerapkan peraturan, dilarang mengajukan protes beramai-ramai, sebab suara satu orang pun pasti didengar.

Saya memberikan nomor telepon saya kepada seluruh mahasiswa dan mereka boleh protes apa saja. Syaratnya hanya satu: jadilah pemberani yang terbuka. Saya pun wajib mendengarkan dan mencarikan jalan untuk masa depan mereka. Tidak sulit bukan? Tetapi masalahnya, masalah satu orang seringkali dipaksakan menjadi masalah banyak orang dan ini tentu keliru.

Tapi yang jauh lebih penting dari semua itu adalah biasakan melatih orang melihat perspektif. Tugas pemimpin yang bersungguh-sungguh melakukan perubahan adalah mengajak orang lain mampu melihat apa yang ia lihat.

Membukakan mata jauh sebelum sebuah perubahan digulirkan. Orang harus diajak melihat perspektif-perspektif baru sehingga ketika satu pintu tertutup mereka bisa “melihat” pintu-pintu lain yang terbuka.

Jokowi tentu bisa mengubah Jakarta dengan ketulusan dan kejujurannya. Juga Prabowo bisa saja membukakan mata para penegak Hukum di Malaysia bahwa Wilfrida, TKI yang terancam hukuman mati adalah korban woman trafficking yang pantas dibebaskan dari ancaman hukuman mati.

Tetapi untuk memperbaiki perspektif tentang perbedaan keyakinan yang belakangan tumbuh tajam di negeri ini, semua guru harus berani turun melatih anak-anak didiknya melihat Indonesia dari perspektif yang berbeda-beda. Ini kalau kita masih ingin hidup dalam bingkai NKRI dan Pancasila.

Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar, yang terlalu sempit bila dilihat dari satu titik yang dapat bertentangan warnanya dengan titik warna lainnya. Agama atau keyakinan adalah sesuatu begitu agung dan mulia yang mengisi kehidupan manusia dunia-akhirat bagi bangsa ini.

Namun, ia menjadi sangat kecil bila diselewengkan manusia-manusia luka batin yang mempunyai aneka kepentingan dengan isu-isu SARA. Agama tak hanya bisa dilihat dari satu ayat dari sebuah surat untuk membenarkan perilaku-perilaku buruk bertentangan dengan ajaran pokok yang mengajarkan toleransi, kebaikan, dan saling menyayangi.

Indonesia sendiri tengah menghadapi goncangan-goncangan perubahan yang tak pernah berhenti. Dalam goncangan-goncangan itu, kedamaian, dan kesejahteraan hanya bisa dicapai kalau orang yang datang dengan perspektif yang berbeda-beda mau melihat, mendengar, dan membuka pikiran-pikirannya terhadap kesulitan orang lain.

Hari ini di sini kita menjadi mayoritas, esok saat berkelana dan hijrah kita bisa menjadi minoritas yang terasing. Saat itulah kita merasakan, betapa pentingnya arti dukungan dan bantuan orang lain. Tapi itulah awal dari perubahan yang lebih baik: biasa melihat dari sudut yang berbeda.

Ayo latih diri melihat dari titik yang berbeda dan biasa menerima perbedaan sebagai sebuah kekuatan.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Ketika Indonesia dilanda Pesimisme

Indonesia dilanda pesimisme. Duh ini berbahaya sekali. Pesimisme adalah gejala “merasa susah” tanpa dibarengi kemampuan melihat fakta-fakta kemajuan (yang meskipun ada, selalu dipertanyakan kebenarannya). Dalam era social media, pesimisme amat cepat menular. Ia bisa menjadikan suatu bangsa kalah, karena mereka memilih bertengkar, tak sabaran menunggu rebound.

Seorang pengusaha sawit merespon begini: Sewaktu harga TBS (tandan buah segar) Rp 95/kilogram, biaya pokok kami Rp 2 juta-Rp 4 juta per bulan dan perusahaan kami sudah untung. Sekarang harga TBS sudah di atas Rp 1.000 per Kg dan biaya pokok sudah bisa dibuat di bawah Rp 1 juta. Tapi entah kenapa teman-teman pengusaha sawit bilang dewasa ini mereka rugi.

Entah mengapa, juga banyak yang merasa bangsanya menjadi yang paling susah, seakan-akan akan terisolasi. Perasaan susah itu seakan masih bisa sendirian. Padahal ini era borderless, free flow, interconnected, complex relationship. Semua saling mempengaruhi. Satu bangsa susah yang lain jadi ikut terganggu karena kita sudah saling bergantung satu sama lain.

Lalu kalau yang lain ikut susah, kita cuma melihat bahwa mereka masih lebih baik dari kita. Padahal di sana, perilaku yang sama juga terjadi saat mereka melihat kita di sini.

Lantas teman-teman saya menganjurkan langkah berhemat, tunda belanja, tunda investasi. Duh, makin ngeri saja. Kalau semua saran itu dituruti, ekonomi kita bisa makin sulit, tertekan. Bahkan iseng-iseng copas berita negatif saja bisa merugikan diri sendiri. Indonesia bisa dilanda depresi, lalu benar-benar stagnasi.

Tapi syukurlah selalu saja ada orang-orang yang berpikir sebaliknya. Tak percaya dengan situasi itu, mereka justru mengambil langkah investasi besar-besaran. Nah begitu proyeknya selesai, pesaing-pesaingnya masih tertidur, maka cuma dialah yang berjaya.

Susahnya di mana?

Inilah awal dari segala kesulitan itu. Diberitakan penjualan beragam komoditas kuartal pertama 2015 mengalami penurunan: semen turun 3,3 persen, mobil 15 persen, motor 19 persen, properti bahkan turun 50 persen, dan nilai ekspor turun 11,67 persen.

Setelah itu satu persatu perusahaan publik melaporkan penurunan pendapatan bersihnya. Adhi Karya turun 34,5 persen, Agung Podomoro Land 65 persen, Astra International 15,64 persen, Bank Danamon 21,47 persen, Holcim bahkan merosot sebesar 89,78 persen. Dan masih banyak lagi.

Setelah itu, peluru bertubi-tubi diarahkan ke pemerintah yang sudah mengalihkan subsidi BBM. Harga-harga sudah kadung naik, buruh terus menuntut kenaikan upah secara progresif, sementara kurs rupiah tiba-tiba jeblok karena langkah besar Amerika, dan koordinasi antar lembaga belum terlihat solid.

Beras dan gula mulai banyak dijadikan permainan mafioso, apalagi setelah presiden mengumumkan agar jangan lagi impor. Belum lagi pupuk yang harusnya bisa digunakan untuk memicu produktivitas sektor pertanian. Subsidinya masih menjadi permainan para elit.

Dan puncaknya, terjadilah harga-harga saham merosot. IHSG turun 6.4 persen dalam sepekan. Rekan-rekan saya menambahkan dalam daftar jokes. Yang naik adalah penjualan Narkoba (katanya naik 28 persen, cuma bagaimana menghitungnya ya?), miras (naik 63 persen), bisnis prostitusi (naik 200 persen), dan batu akik (katanya ini bisa naik 300 persen).

Pantaslah tarif kencan AA konon bisa mencapai Rp 80 juta-Rp 200 juta. Dan pantas pula Gubernur DKI mengancam akan memperkarakan warganya yang membongkar trotoar bila mengambil batu-batu kali yang diduga batu akik. Ada-ada saja gurauan ini ya.

Tetapi pesimisme semua itu akhirnya secara ilmiah terbaca dalam sebuah indeks, yaitu Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang diukur oleh badan-badan resmi. Meski bukan menggambarkan kenyataan yang sebenarnya, indeks ini sejatinya mengukur persepsi konsumen yang menggambarkan apakah mereka mau melakukan pembelian terhadap barang-barang yang dapat ditunda. Secara hipotetis, semakin pesimis manusia semakin menunda.

Bank Indonesia misalnya, beberapa hari lalu mengumumkan IKK dalam sebulan terakhir yang merosot 9,5 poin. Ini angka kemerosotan yang lumayan merepotkan bagi pemerintahan Jokowi-JK tentunya.

Apalagi kalau kita lihat, proses penurunan itu sudah terjadi terjadi sejak awal tahun. Dari sekitar 120,2 (Januari 2015) menjadi 116,9 ( Maret ), lalu turun lagi menjadi 107,4 (April 2015) angkanya memang masih di atas 100. Ternyata optimisme masih ada.

Tetapi nyali ekonomi bangsa kita mulai menciut. Kalau turunnya lebih tajam lagi, maka saya khawatir akan semakin banyak pesan-pesan negatif yang tidak sehat yang beredar luas di masyarakat yang “merasa susah” meski hidup sebenarnya belum tentu susah-susah amat. Lagi pula apa salahnya berhenti belanja yang tak perlu-perlu amat dalam waktu sesaat?

Pesimisme itu seperti virus. Perasaan susah apa tidak semua tergantung pada tekanan psikologis dari luar yang bisa ditiupkan banyak pihak. Ini membuat orang-orang yang mudah digoyahkan merasa benar-benar susah, meski ia masih tetap kaya.

Apartemennya ada banyak, anak-anaknya sehat, penjualan usahanya masih berputar, tetapi mereka tidak siap menerima berita kesusahan. Itulah realita ekonomi abad ini, abad komersial dan materialisme di mana orang merasa susah kala tak bisa menangguk untung lebih besar.

Di sana juga susah

Perasaan susah itu ternyata beredar luas. Di berbagai grup dalam media sosial yang saya ikuti, selalu saja ada orang-orang yang mudah terganggu dengan berita negatif itu. Lalu semua mulai mengaitkan dengan kehidupannya.

Tetapi kalau ditunjukkan fakta-fakta lain dan ancaman depresi dari penyebaran berita negatif itu, sebagian dari mereka pun masih bisa diajak berpikir jernih.

Maka, meski jalan tol tetap macet, mereka mengaku harga BBM sangat memberatkan. Toh jalan raya keluar kota tetap penuh. Tiket kereta api untuk mudik lebaran begitu cepat habis diborong masyarakat. Pulsa telepon tetap laku. Telkomsel mengklaim mengalami kenaikan pendapatan sebesar 31,1 persen per kuartal I-2015).

Harga kebanyakan properti di kawasan metropolitan terlihat masih tetap naik, tetapi di berbagai group WA para pemilik properti merasa hidup mereka terganggu. Pertikaian antara pemilik unit dan pengembang mulai meruncing dengan sejumlah alasan termasuk kekhawatiran harga unit propertinya bakal terganggu.

Dengan cepat “rasa susah” itu menyebar luas. Seakan-akan kita sedang menuju resesi dan seakan-akan pemerintah ini mudah gagal. Bahkan ada yang mengolok-olok orang lain sebagai “salah pilih” pemimpin.

Benar, bahwa PR yang harus dikerjakan pemerintah masih banyak. Koordinasi belum bekerja dengan baik. Konsistensi masih diperlukan. Beberapa menteri mungkin belum menunjukkan “kinerja” terbaiknya. Mungkin karena merasa kedudukannya telah dijamin oleh partai politik pendukungnya.

Tetapi data berikut ini juga perlu kita renungkan. Ini saya dapatkan dari The Nielsen Global tentang penurunan volume bisnis eceran. Menurut Nielsen penurunan itu sudah terjadi di Asia Pasifik sejak 2013. Dari pertumbuhan sekitar 6-7 persen pada 2012, tiba-tiba pertumbuhan volume retail di kawasan tersebut menjadi 2,7 persen pada kuartal I-2013, hingga hanya 0,3 persen pada kuartal III-2014.

Suasana terburuk justru terjadi di luar negeri. Di Australia, kuartal ke IV-2014 bahkan growth-nya minus 1,1 persen. Jepang lebih buruk lagi yang awal tahun lalu, pertumbuhan ekonominya minus 3,2 persen. China dan India rata-rata mengalami penurunan serupa. Korea bahkan lebih buruk, negatifnya sekitar 3-4 persen.

Di antara negara tetangga, hanya Filipina yang volume bisnisnya masih bagus. Retailnya tumbuh diatas 5 persen akhir tahun lalu. Singapura saja memburuk dan pelanggan-pelanggannya mulai membeli merek-merek yang lebih murah. Wajarlah bila investasi dalam pembangunan pusat-pusat belanja di Asia-Pasifik berhenti .

Ketika disurvei, hampir semua konsumen di Asia mengkhawatirkan kenaikan harga BBM dan volatilitas ekonomi global. Bahkan presiden terbaik pun bisa saja gagal mengendalikan gejolak ekonomi global dalam perekonomian di negaranya. Volatility, uncertainty, complexity dan ambiguity.

Berhenti atau Berhemat?

Jadi harusnya Indonesia bisa lebih bersyukur bahwa kita masih diberi kenikmatan yang tak buruk-buruk amat. Meski mengabaikan fakta-fakta kinerja yang buruk dalam waktu yang singkat, sangatlah tidak bijaksana, saya kira pesimisme bukanlah pilihan sikap usahawan dan profesional yang tepat.

Justru sebaliknya, kita harus cerdas mengambil peluang dari perubahan besar-besaran yang tengah terjadi di Asia-Pasifik, maupun dari kerja keras dari presiden baru. Apa saja? Pertama, properti untuk kalangan rakyat bawah. Ini adalah pasar besar yang sudah pasti akan sangat besar peluangnya. Betul margin-nya tipis. Tapi kalau volume-nya besar, sudah pasti anda akan untung juga kan.

Kedua, bisnis dari proyek-proyek infrastruktur yang baru akan bergerak banyak akhir tahun ini. Semen, bahan bangunan, alat-alat berat , semua akan akan berpindah dari sektor pertambangan ke infrastruktur.

Ketiga, pendidikan keterampilan. MEA sudah pasti memberikan opportunity pada tenaga-tenaga terampil non-sarjana, apalagi bila dilengkapi dengan kemampuan IT, etos kerja positif, dan bahasa Inggris.

Keempat, alternatif pembiayaan selain perbankan. Dengan financial deepening yang dangkal, biaya investasi di sini menjadi mahal. Padahal menurut Gubernur BI, pengusaha Indonesia dikenal gemar berhutang. Tentu saja ini tak akan terjadi kalau pilihan pembiayaannya tak terbatas pada sektor perbankan saja. Maka dibutuhkan banyak alternatif pembiayaan baru, termasuk keuangan syariah dengan akad-akad yang lebih kreatif dan memenuhi hajat pengusaha.

Rasanya masih banyak kesempatan yang terbuka lebar. Apalagi pemerintahnya berkomitmen mempercepat pembangunan infrastruktur, membuat ekonomi lebih seimbang antara barat-timur, transportasi laut, dan tentu saja birokrasi yang lebih agile.

Susah, sudah pasti ada hikmahnya. Kita juga perlu sedikit jeda untuk merenungi hidup kita dalam menghadapi realita baru. Pemerintah ini memang perlu terus di lecut agar tidak lupa bekerja lebih keras lagi. Tetapi kreativitas di pemerintahan dan kalangan usahawan perlu terus dibangun.

Berhenti investasi? Janganlah, itu malah berbahaya bagi kita semua. Pengangguran harus dikurangi, pemerintah harus lebih aktif memberi perangsang ekonomi. Jalan saja terus, siapa cepat dia dapat. Siapa yang benar-benar mampu menjawab kebutuhan pasar, dialah yang akan didekati konsumen. Ayo kita buktikan.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


“Business Model” Baru

Pertarungan di era “surprise economy” bukan lagi seperti yang digambarkan Michael Porter dalam konsep five forces-nya. Itu kata Rita Gunther McGrath. Saya kira ini ada benarnya. Bisnis kita tidak lagi sekedar menghadapi tekanan dari dalam industri oleh para substitute, melainkan juga dari luar industri. Pertarungan itu bahkan terjadi antar business model.

Ini tentu merepotkan, karena kita terbiasa memetakan lawan sebagai mereka yang membuat sesuatu yang sama dengan kita. Padahal pendatang baru bisa saja menggerus usaha kita dengan pendekatan yang sama sekali berbeda. Itulah surprise. Mengejutkan para pegawai yang tiba-tiba bertanya, “who moved my cheese?”.

Saya ajak Anda melihat bagaimana Infomedia “keluar” dari kotak rasa nyamannya dan bertarung dalam business model baru. Seperti cerita saya tentang arloji Swiss yang mayoritas terperangkap inside the odds dengan model bisnis yang lama, para pegawai biasanya sulit diajak melihat dan bergerak dalam dunia yang baru. Di sinilah perubahan mindset amat menentukan.

Yellow Pages

Perangkap sukses di masa lalu bisa membentuk masa depan. Itu dialami oleh insan Infomedia, anak perusahaan PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) yang dulu sangat dikenal dengan Yellow Pages-nya. Ya, siapa yang tak kenal Buku Kuning yang tebal, yang biasa kita pakai untuk mencari alamat dan nomor telepon. Di situ pula, ada bisnis iklan yang besar. Ribuan UMKM memajang data-datanya dalam iklan-iklan display dan mini agar diketahui oleh calon pelanggan.

Waktu berjalan, dunia pun beralih ke dunia digital. Dari kertas, pelanggan beralih ke CD, Web dan seterusnya. Perlahan-lahan bisnis ini mengerucut. Kendali sudah dipindahkan ke dunia digital, perubahan itu terus terjadi. Tak ada yang bisa menandingi mesin pencari yang digagas oleh Google, yang jauh lebih cepat dengan daya jelajah yang tak terbatas. Keduanya memang tidak head on, business model-nya sama sekali berbeda, tetapi daya hancurnya tak terkendali.

Kalau Anda tak menyadari hal ini, bolak-balik Anda akan mengambil langkah inside the odds. Branding, price bundling, exhibition, customer service dan program-program marketing lainnya. Faktanya masalah-masalah yang dihadapi bukan terjadi inside the odds. Anda harus keluar menjelajahi samudera biru yang baru, dengan logika baru.

Tahun kemarin, di Bogor, saya diminta membantu Infomedia yang mengambil langkah keluar. Sewaktu saya tanya pada para eksekutif apa yang dibutuhkan, mereka menjawabnya dengan visi baru itu, namun masalahnya, “semua masih hidup dan berpikir dalam era Yellow Pages”.

Dunia baru yang mereka geluti itu sudah ditemukan, yaitu Business Process Outsourcing (BPO) dan Knowledge Process Outsourcing (KPO). Singkatnya begini. Anda tentu tahu betapa berjayanya India sebagai lokasi global outsourcing perusahaan-perusahaan besar dunia. Mulanya adalah Contact Center atau Client Service. Menurut BPO Market Outlook 2013, bisnis ini berhasil menampung lebih dari 1 juta pencari kerja India, yang sebagian besar adalah kaum muda dan para engineer.

Pertumbuhannya juga tinggi, diperkirakan sekitar sebesar 304 miliar dollar AS pada saat ini. Bahkan para ekonom di India memperkirakan bisnis ini telah menyumbang 7 – 8 persen dari keseluruhan PDB India.

Logika outsourcing di India berbeda benar dengan logika yang kita saksikan disini, yang ramai memicu keributan di kalangan buruh. Outsourcing seperti ini adalah sebuah pencarian global perusahaan untuk fokus pada bisnis inti dan memperkuat kompetensinya.

Tantangan ini disambut oleh Filipina, China dan belakangan juga Malaysia. Mereka kini bertarung habis-habisan dan menjadi lokasi outsourcing perusahaan Fortune 500 yang induknya ada di negara-negara industri maju. Citranya pun bergeser, dari bisnis tak bergengsi dengan “bergaji murah”, tanpa karier dengan kualifikasi pekerja yang rendah dan kini sudah beralih ke BPM (Business Process Management) yang menuntut keahlian-keahlian khusus.

Dari pamflet yang dibuat oleh Nasscom di India, saya membaca bagaimana perusahaan-perusahaan itu mengangkat gengsi calon pekerja. Mereka menjanjikan karier yang menarik, bahkan menawarkan posisi-posisi baru di luar call center. Mereka memperkenalkan BPM dengan mata rantai nilai (Supply Value Chain) yang lebih luas.

Tunjangan-tunjangan kesehatan, kendaraaan, job rotation, sampai dengan pensiun menarik diberikan seperti layaknya perusahaan besar.

Ruang lingkup BPM diperluas hingga pekerjaan-pekerjaan yang saling berhubungan dan memiliki sesuatu kelengkapan seperti layaknya perusahaan-perusahaan besar. Research & Analytics, Legal, Process Outsourcing, Engineering Services, Human Resource, Medical Process, Procurement, hingga Finance dan Accounting.

Apalagi sekarang kita memasuki era data besar (Big Data / BigQuery), ini tentu menjadi bisnis analytics yang sangat menarik. Konsep CRM pun mengalami tantangan-tantangan baru, dan tentu saja peluang usaha besar.

Sekarang tantangannya adalah bagaimana memindahkan orang-orang yang dibesarkan dalam kotak lama “Yellow Pages” ke dalam kotak baru yang belum terbentuk? Inilah persoalannya.

Bisnisnya sangat besar, visinya keren, tetapi berpikirnya mungkin berbeda-beda. Maka saya pun membagikan sebuah puzzle. Dalam tempo sekejap semua orang bisa mengerjakannya menjadi sebuah bujur sangkar. Tetapi manakala saya beri tambahan hanya sebuah puzzle kecil dan menugaskan mereka merangkainya menjadi bujur sangkar yang baru (terlihat seakan-akan mudah), nyatanya tak satu orang pun mampu mengintegrasikannya.

Semua orang terperangkap dengan model bisnis yang lama. Garis lurus di bagian luar, dengan perspektif lama. Ini persis seperti yang dikatakan Albert Einstein: You can not solve new problems by using old solutions. Semua orang dituntut merubah perspektifnya sebelum mengerjakannya.

Seperti itulah mengubah mindset para eksekutif, dari pengalaman panjang kami melakukan transformasi (yang umumnya gagal karena strategi hanya dilakukan dan digeluti di atas kertas).

Yellow Pages tentu tidak menjadi bisnis yang dimatikan. Bisnis itu disapih (spin off) ke dalam perusahaan yang lain, agar perusahaan ini bisa fokus. Infomedia pun bergeser ke dalam portfolio baru yang meliputi CRM, Coorporate Show, Service Operations, dan Business Analytics.

Di India sendiri, juga di Filipina, 58 persen dari revenue BPO-nya, telah beralih ke non-voice services. Dalam perspektif global, Indonesia juga bisa mendukung kesempatan untuk memperbaiki kesejahteraan keluarga dengan bisnis ini. Perspektif baru sangat diperlukan : baik oleh dunia usaha, pekerja, juga regulator.

Yang jelas, kita harus bisa keluar dari bingkai-bingkai berpikir dalam kotak lama, dan bekerja dalam abad transcient yang kreatif.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Pendidikan dan Rantai Kemiskinan

Kisah anak-anak dari keluarga kurang mampu yang berhasil menembus perguruan tinggi sudah sering kita dengar.

Seperti dialami Raeni, anak tukang becak yang meraih IPK 3,96 di Universitas Negeri Semarang. Ia bahkan mendapat tawaran kuliah S-2 ke Inggris.

Setiap kali ke daerah pertanian, saya sering menemukan petani yang melakukan segala upaya agar anak-anaknya jangan lagi jadi petani, dengan menyekolahkan anaknya menjadi sarjana.

Namun, sukseskah mereka memutus mata rantai kemiskinan? Bukankah pada statuta-nya kini PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum, red) wajib memberikan beasiswa 20 persen untuk kalangan kurang mampu?

Aliran kognitif

Kesadaran afirmatif, untuk memberi akses pendidikan seperti di atas bukan hanya ada di sini. Harusnya kita percaya sekolah bisa menjadi anak tangga yang bagus untuk memutus mata rantai kemiskinan. Pendapat umum mengatakan, keluarga miskin melahirkan generasi-generasi yang sama miskinnya karena ketiadaan akses untuk mencapai pendidikan yang tinggi.

Polanya begini: seorang anak lahir dari ibu yang menikah di usia dini, lalu bercerai, ibu harus bekerja keras, pindah dari satu kota ke kota lainnya. Kadang tinggal bersama nenek, menumpang hidup di kawasan yang padat. Anak pergi sekolah dengan perut lapar, sementara teman-teman ikut les Kumon atau dari guru sekolah. Lalu ia pun bosan dengan sekolah, sering tak masuk, prestasi terpuruk, terlibat perkelahian, drop out, punya anak di luar nikah, lalu jatuh miskin lagi. Begitu seterusnya.

Mungkin, jika diberi gizi, perhatian, dan akses agar bisa sekolah lagi, mereka akan bisa keluar dari mata rantai kemiskinan. Namun, penerima Nobel Ekonomi tahun 2000, James Heckman, menggelengkan kepalanya.

Faktanya, hanya 3 persen dari mereka yang bisa menamatkan perguruan tinggi. Padahal, anak-anak dari keluarga biasa mencapai 46 persen. Demikian juga kemampuan memperbaiki ekonomi keluarga : pendapatan tahunan, pengangguran, angka perceraian, dan keterlibatan dalam kriminalitas. Prestasi ekonomi keluarga miskin yang mendapatkan program afirmasi pendidikan ternyata tetap sama dengan anak-anak yang drop out dari sekolah. Apa sebabnya?

Tahun 1994 dua ilmuwan yang dituding rasis (Muray & Herrnstein, dalam Bell Curve) mengarahkan temuannya pada masalah DNA. Namun, berdasarkan kajian ekonometrika, Heckman menemukan masalahnya ada di sekolah itu sendiri. Sekolah-sekolah yang sering kita lihat di sini, terlalu kognitif dan membebani. Sehingga tak akan mampu memutus mata rantai kemiskinan. Sekolah kognitif terlampau mekanistik.

Wajar sekarang kita menyaksikan banyak sarjana menganggur, bahkan yang sudah bekerja kurang efektif. Padahal, mereka tak kalah pengetahuan, indeks prestasi mereka kini bagus-bagus. Cenderung kalah dengan lulusan luar negeri yang hanya menempuh 124 SKS (S-1). Sementara sarjana kita menempuh 144-152 SKS.

Sekolah nonkognitif

Heckman menemukan variabel-variabel nonkognitif yang justru tak diberikan di sekolah menjadi penentu keberhasilan seseorang untuk memutus mata rantai kemiskinan. Variabel itu adalah keterampilan meregulasi diri, mulai dari mengendalikan perhatian dan perbuatan, sampai kemampuan mengelola daya tahan (persistensi), menghadapi tekanan, menunda kenikmatan, ketekunan menghadapi kejenuhan, dan kecenderungan untuk menjalankan rencana.

Nah keterampilan-keterampilan seperti itu, menurut Heckman, sering kali absen dalam sekolah kognitif. Tanpa itu, anak-anak yang dibesarkan dari keluarga menengah ke atas pun akan jatuh pada lembah kemiskinan.

Sekolah kognitif sendiri digemari banyak kalangan kelas menengah karena substitusi atau penguatnya bisa dibeli di ”pasar”, semisal Kumon, guru les, atau orangtua yang rajin memberi latihan. Namun, anak-anak dari kalangan kurang mampu punya banyak keterbatasan. Selain orangtuanya tidak mengerti, mereka juga harus bekerja keras mencari nafkah di luar jam kerja.

”Ilmu-ilmu tertentu itu, seperti kalkulus, sangat mekanistik,” kata Paul Tough (How Children Succeed, 2012).

”Kalau memulai lebih dulu dan banyak berlatih, mereka akan lebih cepat menyelesaikan soal-soalnya. Namun, aspek-aspek nonkognitif tak bisa didapat dengan mudah.”

Itulah sebabnya di PAUD Kutilang Rumah Perubahan, kami mengembangkan metode nonkognitif. Itu pun belum cukup. Guru dan orangtua diwajibkan seminggu sekali mengikuti bimbingan cara membaca anak. Kebiasaan buruk orangtua yang merupakan cerminan dari buruknya aspek nonkognitif tadi menjadi penguat mata rantai kemiskinan di setiap generasi berikutnya.

Bimbingan dan metode nonkognitif itu harusnya dibangun sedari dini. Tantangan-tantangan nonkognitif seperti itu tampaknya berat sekali dibangun di sini, mengingat dua-tiga generasi pendidiknya guru dan dosen kognitif yang rewel dengan kemampuan menghafal, berhitung, atau memindahkan buku ke kertas.

Saya ingin Anda menengok penjelajahan nonkognitif yang saya tanam dalam kelas saya di UI. Satu kelas mahasiswa dikirim ke luar negeri dalam program one person-one nation, lalu pengalamannya mereka tulis dalam buku: 30 Paspor.

Di situ anak-anak belajar menumbuhkan aspek nonkognitif, merefleksikan kehidupan, mengambil keputusan dalam menghadapi kesulitan seorang diri di luar negeri.

Kita percaya pendidikan bisa memutus rantai kemiskinan. Namun, bukan pendidikan superkognitif seperti yang sering kita dengar dari orang-orang yang gemar mendebatkan cuma soal kali-kalian. Padahal, persoalan hidup terbesar, justru ada di soal bagi-bagian. Dan untuk adil membagi dibutuhkan keterampilan hidup nonkognitif.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Arloji Swiss, Kodak, dan Nokia

Pada tahun 1960-an dipergelangan tangan manusia nyaris hanya ada arloji “made in Switzerland.” Jam tangan buatan Swiss itu menguasai market share di atas 60 persen. Tetapi tahun 1980-an market share-nya tinggal 15 persen.

Pada tahun 1970-an , dunia hanya mengenal film roll merek Kodak dan Fuji. Kini Kodak sudah tiada, sedangkan Fuji berevolusi ke dunia digital (lab, health, dan lain-lain). Beberapa tahun lalu, kita juga menyebut Nokia sebagai “HP sejuta umat”, tetapi tahun 2013 lalu kita mendengar divisi handset Nokia diakusisi Microsoft.

Apa yang tengah terjadi dengan Strong Brand itu? Bukankah di Indonesia juga ada ribuan strong brand yang tinggal kenangan?

Ketika berhadapan dengan menurunnya Revenue from Sales, biasanya eksekutif mempersoalkan marketing. Yang satu mengutak-atik branding, yang lain membongkar sales, komisi penjualan, packaging dan seterusnya. Padahal masalahnya bisa jadi bukan di situ. Masalahnya bukan inside the “odds”, melainkan sesuatu yang telah berubah.

Nokia

Siapa yang tak kenal Nokia? Selain pernah menjadi sahabat banyak orang di sini, Nokia adalah Harvard business case study yang sangat menarik. Ia beralih dari merek sepatu menjadi ponsel dengan pendekatan “human touch” dan “connecting people.” Bentuknya jauh lebih fashionable daripada pesaing-pesaingnya: Motorola atau Ericsson.

Dari Nokialah, di Harvard, para eksekutif belajar cara membangun keunggulan daya saing. Ya daya saing perusahaan, daya saing negara (Finland), hingga bagaimana policy makers membangun cluster, industri-industri pelengkap dan kebijakan yang pro-business sehingga menciptakan lapangan kerja yang produktif dan kreatif. Kita berpikir, sekali daya saing didapat maka dengan prinsip itu akan di dapat sustainability. Dan itu artinya kesejahteraan.

Tetapi, ketika Microsoft mengakusisi divisi handset Nokia dengan nilai 7,2 miliar dollar AS. Para investor bereaksi negatif, karena keduanya, baik Microsoft maupun Nokia, sama-sama sedang berada dalam kubangan kesakitan. Semua orang tahu, penjualan PC dunia sedang drop, sehingga Microsoft perlu beralih ke bisnis mobile devices. Artinya industrinya sendiri tengah berubah.

Namun Nokia sendiri seperti juga tengah berada dalam kubangan kesulitan yang sama. Global market share-nya mengerucut, tinggal 15 persen. Ketika kesulitan terjadi, eksekutif Nokia melakukan hal serupa seperti perusahaan-perusahaan lainnya: mengutak-atik keunggulan brand-nya.

Mereka lalu menjalin hubungan dengan Microsoft, yang tertarik menggunakan software windows phone. Tetapi solusi ini keliru. Brand Microsoft tak mampu membuat Nokia lebih baik. Pasar telah beralih ke Android dan Nokia selalu terlambat menanggapinya. Bagi sebagian besar analis, akuisisi ini juga tak mampu menjadikan Microsoft seperti Apple yang telah terlanjur memiliki loyalis dalam kategori mobile devices.

Kekacauan seperti di Nokia juga pernah terjadi di Kodak beberapa tahun yang lalu, tak lama setelah masa-masa sulit industri roll film di 1970-1980 an yang terjadi akibat kenaikan harga perak (bahan baku processing lab photography yang penting). Kendati di tahun 1980-an harga perak telah kembali stabil, eksekutif Kodak memilih duduk manis. Padahal pada tahun 1980-an Sony mulai menjelajahi kamera digital, dan Fuji segera menangkap peluang itu.

Di bawah Minoru Onishi, Fuji menambah dana riset untuk teknologi digital. Pada tahun 1999, total investasi risetnya di area ini mencapai 2 miliar dollar AS. Sehingga pada tahun 2003, mereka telah memiliki lebih dari 5.000 digital processing labs. Mereka juga menjelajahi dunia kesehatan (rontgent), office automation, dan manufaktur untuk floppy disk.

Bagaimana reaksi Kodak? Kodak masih berkutat di seputar marketing: branding, location, pricing, packaging, advertising dan seterusnya. Ketika Fuji telah menguasai digital lab processing, Kodak baru memiliki beberapa puluh unit saja. Inilah awal kemunduran Kodak, dengan resiko brand yang kuat pun bisa mati kalau hanya menjalankan marketing strategy saja. Sales drop bukanlah melulu akibat marketing salah, melainkan sesuatu telah berubah.

Reaksi serupa juga terjadi di Modern Group, distributor tunggal roll film Fuji di sini. Modern Group juga mengalami kesulitan ketika bisnis roll film tak lagi digemari pasar. Sales revenue nya dalam bisnis ini drop dari Rp 2 triliun (2002) tinggal menjadi hanya Rp 212 miliar (2010) dan terus merosot. Beruntung mereka segera berubah.

Di bawah Henry Honoris, Modern Grup menjelajahi dunia baru dengan bussines model 7 Eleven yang sama sekali baru, yang dilengkapi dengan fasilitas nongkrong anak muda. Bisnis inilah yang kini menyelamatkan Modern Group.

Analisis Industri

Kebanyakan kita umumnya belajar marketing dari tokoh-tokoh lama yang mengedepankan pentingnya mengeksploitasi keunggulan-keunggulan dan keunikan-keunikan diri. Dengan analisis industri model Five-forces, kita menjadi yakin bahwa competitive advantage perlu terus diperkuat dengan hal-hal strategis di dalam brand itu.

Tetapi di awal abad 21, business landscape telah berubah total. Analisis industri yang dulu kita lakukan dalam masing-masing industri telah berubah. Para pelaku perubahan tak lagi bermain dalam area yang sama, sehingga persaingan sudah berubah menjadi antar industri, bahkan antar business model. Dalam buku Cracking Zone, saya memperkenalkan kategori baru dalam industri yang saya sebut sebagai Cracker, yang artinya orang-orang yang memperbaharui industri.

Nah bila, wabah crackership sudah melebar kemana-mana, competitive advantages jelas menjadi persoalan baru dan marketing tidak bisa lagi berjalan sendiri. Bahkan strong brand bisa saja tiba-tiba beralih menjadi problematic brand. Apalagi bila eksekutif puncaknya sudah terlalu dimanjakan oleh berbagai fasilitas yang membuat mereka merasa nyaman.

Mereka akan sangat mudah digoyang para business-modelist baru yang tiba-tiba merampok keunggulan mereka. Itulah yang tengah terjadi di hampir semua industri dan melahirkan teori transient dalam analisis industri baru.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Keluar dari Zona Nyaman III

Krisis ekonomi yang dahsyat di tahun 1998 telah berlalu satu generasi. Mungkin tidak banyak generasi baru yang mampu membayangkan betapa mengerikannya perubahan dan gejolak ekonomi politik kala itu. Mereka tahunya gadget, kartu kredit, liburan ke luar negeri, mall, AirAsia, dan sekolah sampai S-2. Tetapi tidak bagi sebagian generasi yang lain.

Hamid, teman kuliah saya dulu di FEUI, termasuk salah satunya. Ijazah dari FEUI yang sangat laku sebelum krismon tiba-tiba kehilangan daya ungkit dalam mencari pekerjaan. Kantor konsultannya yang dulu dibangun bersama ekonom terkemuka dari luar negeri kehilangan seluruh kliennya. Ribuan pegawai terkena PHK.

Dasinya kini tergantung kumal di depan lemari kayu. Minggu lalu sepulang dari acara pelantikan Sekda Banten atas undangan teman sebangku saya di SMP dulu, Rano Karno, saya memutuskan untuk mengunjungi daerah binaan Hamid di sekitar Banten. Ia menjemput saya di Pasar Baros, Serang.

Berkaus oblong, ditemani seorang eksportir ikan, kami lalu menuju bengkelnya yang tak jauh dari pasar itu. Di kaki gunung yang sejuk dan dikelilingi persawahan yang luas, saya menyaksikan hasil sebuah kerja keras, wujud dari upaya keluar dari zona nyamannya. Saya berharap refleksi ini hendaknya menjadi perhatian bagi para eksekutif muda.

Dua Dunia yang Berbeda
Keluar dari zona nyaman, ibarat berenang di lautan yang berbeda. Dari lautan tenang yang dihuni jutaan manusia, Hamid melipir, berenang dengan gaya yang berbeda mengarungi samudera luas. Dan ini butuh keahlian baru yang dalam bahasa bisnis disebut ekspansi kapabilitas. Dari kapabilitas seorang konsultan menjadi penebang kayu. Jangan salah, ia seorang pecinta alam.

Dari alam dia belajar tentang macam-macam jenis kayu. Ia menjadi tahu bahwa kayu yang bagus hanyalah yang batangnya sudah tua dan mati di pohon. Kelak pohon itu akan roboh. Lalu tunas-tunas muda bermunculan.

Hamid menjadi pemasok kayu-kayu langka dari pohon yang sudah mati dan tumbang. Maka, ia pun meninggalkan Jakarta, tinggal bersama orang-orang kampung. Begitu mendengar ada pohon tumbang, ia pun mendatanginya dan melakukan negosiasi. Lama-lama penduduk kampung jadi tahu siapa yang harus dihubungi.

Tak jarang, penduduk menawarkan pohon-pohon yang masih hidup karena butuh uang. Tetapi, Hamid pantang menebang pohon-pohon hidup itu, ia pun membayar pohon-pohon itu, dengan syarat tak boleh ditebang sebelum ajal menjemputnya. Ia jadi punya stok hidup di mana-mana. Sampai-sampai koleksinya menjadi rebutan para seniman kayu. Jangan heran, furnitur dari kayu tua miliknya dihargai jutaan dollar AS setelah diolah oleh desainer terkenal.

Lantas apa yang ia lakukan? Pohon-pohon berdiameter besar yang masih hidup itu ia biakkan. Ia lakukan berbagai teknik agar pohon bergenetika baik itu memberikan ribuan keturunan. Dari stek pucuk sampai kultur jaringan.

Maka, dalam pemasarannya ia selalu mengatakan: kalau Anda membeli meja kayu ukuran besar dari saya, ada ribuan pohon yang kembali kita tanam.

Hamid punya beragam kayu yang dipanen dari budidaya milik penduduk yang dijual kepadanya. Volumenya memang tidak masif, tetapi ia punya beragam jenis kayu dari kayu besi sampai sengon, dari kayu nangka tua hingga kayu sawo.

Waktu saya tengok workshop-nya, seorang pengusaha sedang memilih jenis-jenis kayu yang akan dipakai untuk galeri yang akan dibangun di daerah Jakarta Selatan. Saya tertegun menyaksikan kehebatannya menjelaskan karakter macam-macam jenis kayu. Saya sendiri mengoleksi beberapa meja ukuran besar. Salah satunya memiliki panjang 9 meter dengan lebar 1,5 meter. Bentuknya saya biarkan alami.

Memang kayu telah menjadi barang langka yang amat dilindungi. Kita tentu perlu menjaga kelestarian alam agar bumi ini tetap terjaga keseimbangannya. Maka, diperlukan pengusaha-pengusaha baru yang tahu cara menjaga keseimbangan itu.

Ekspansi Kapabilitas
Menjadi pengusaha adalah salah satunya. Namun, tentu tak semua orang bisa, mau melakukannya atau memiliki panggilan ke sana. Anda tentu tak harus menjadi pengusaha untuk keluar dari zona nyaman. Saya harus katakan, sebagai karyawan pun kita perlu terus-menerus melakukan ekspansi dari kapabilitas yang kita miliki.

Kalau Anda menjadi wartawan, kalau mau survive dalam karier, Anda pun perlu melakukan ekspansi keahlian dari wartawan seni dan gaya hidup menjadi reporter ekonomi, politik, atau olahraga. Dari sekadar membuat reportase dengan keahlian menembus narasumber dan melakukan investigasi, menjadi editor perumus kebijakan editorial, bahkan menjadi praktisi manajemen yang mengurus logistik dan keuangan. Dari wartawan harian ke wartawan online yang ritmenya berbeda dan seterusnya. Itulah yang saya namakan sebagai learning zone.

Demikian juga kalau Anda menjadi seorang insinyur. Industri yang dijelajahi perusahaan tempat Anda bekerja pun berevolusi. Dari sekadar usaha konstruksi menjadi EPC (Enginering Procurement dan Construction), bahkan belakangan banyak construction company yang berevolusi menjadi investment company. Kapabilitas Anda menjadi ujian Anda, sehingga Anda bisa terus berkarier di sana atau menjadi obsolete (usang) dan tersingkir.

Semua usaha dan industri berevolusi, tak ada lagi yang bertahan kalau mereka sekadar transit. SDM pun berevolusi. Bukan hanya hard skill-nya, melainkan juga life skill-nya. Dulu Anda melayani atasan, kini kita wajib memimpin 360 derajat.

Dulu sebagai dosen kita mengajar serba teori, kini harus lebih banyak memberikan ilmu dengan praktik. Dulu membaca saja cukup. Kini kita harus aktif melakukan ekplorasi. Dulu Anda bisa memimpin dengan perintah, kini dengan contoh. Dulu siapa yang mencuri bisa menjadi komandan asal dekat dengan penguasa, kini mereka terganjal.

Semua itu mengajarkan pada kita pentingnya melakukan ekspansi kapabilitas, yang artinya kita harus terlatih keluar-masuk dari zona nyaman. Kapabilitas itu menyangkut keterampilan, sikap, cara, sistem, dan pengetahuan.

Sahabat saya, Hamid, terlihat begitu agile (tangkas). Ia tak merasakan beban untuk keluar dari zona nyaman karena sejak kecil biasa hidup di lapangan, padahal tak sedikit dari teman kami yang kini hidup dalam beragam kesulitan atau kepura-puraan. Mereka menyangkal terhadap perubahan, bahkan mengutuknya dengan amat sinikal.

Ketika kita mendapatkan skill di usia muda, kita sering berpikir dan keahlian atau pengetahuan itu sudah final dan bisa kita bawa untuk memberi nafkah bagi hidup sampai pensiun. Padahal, keahlian dan pengetahuan itu berubah, berkembang terus, sementara fisik kita menua dan otot-otot mulai melemah. Kita tak akan bisa menggunakan kenyamanan itu sebagai SIM hidup selamanya. Maka, saya lebih senang menyebut pensiun dini sebagai karier kedua.

Jadi keahlian atau sekolah kita yang “tamat” itu bisa memerangkap kita. Itulah zona nyaman. Dan mukjizat tidak ada di zona itu.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Keluar dari Zona Nyaman II

Awal tahun ini saya mengunjungi dua orang sahabat lama saya. Yang satunya, Jodi, pengepul manggis di Cibadak-Sukabumi dan satunya lagi, Hamid, tukang kayu di Banten. Keduanya memilih hidup jauh dari keramaian: di tengah-tengah kampung di kaki gunung yang sepi, memulai kembali kehidupan dari bawah.

Tetapi jangan salah, 20 tahun lalu keduanya dikenal sebagai yuppie (young-urban professional atau young upwardly-mobile professional). Muda, berdasi, bersedan mewah, dan mudah mendapatkan kedudukan. Kata yuppie sendiri saat itu begitu lekat dengan lulusan universitas terkemuka atau MBA yang bergaji mahal karena bergerak di sektor keuangan.

Krisis moneter 1998 menghancurkan ekonomi keluarga mereka. Ijazah sarjana dari perguruan tinggi (satunya lulusan MBA dari Dallas Texas, satunya lagi sarjana ekonomi UI), tak menjamin kemudahan apa-apa.

Saya khawatir banyak kaum muda berusia 30-40an yang tengah menghadapi perubahan dewasa ini tak menyadari hidupnya pun sesungguhnya sama-sama fragile. Bedanya dengan yang lain, keduanya memilih keluar dari zona nyaman mencari “kesaktian” dan mukjizat dari zona-zona tidak nyaman.

Saya mulai dulu dengan si pengepul manggis. Minggu depan kita obroli si tukang kayu. Ini sekalian penjelasan bagi mas-mas, oom-oom dan adik-adik yang tak mau naik angkot karena sudah biasa naik mobil Audi. Ya, kalau mau naik Audi terus monggo saja, meski suatu ketika uangnya untuk merawat Audi sudah tidak ada lagi dan otot sudah kadung tua. Hehe.

Kalah judi
Hidup ini ibarat berjudi. Kalau sudah kecanduan, manusia sulit keluar dari perangkap itu. Otak Anda akan memerintahkan kaki, tangan dan hati melakukan hal yang sama berulang-ulang karena sudah familiar.

Itulah zona nyaman. Kita hanya ingin melakukan hal-hal yang sudah menjadi kompetensi kita, kendati kini telah dimiliki banyak orang dimana-mana. Membuat kita kehilangan daya jual, substitutable (mudah diigantikan), lalu menjadi obsolete (usang), ketinggalan zaman karena umur.

Realistis saja, kelak kalangan terpelajar, akan menjadi tenaga yang kemahalan bagi industri. Hanya sebagian kecil dari para senior yang didapuk menjadi direksi. Selebihnya bisa dianggap menjadi “beban” (liability) ketimbang “aset”. Apalagi kalau terperangkap dalam zona nyaman penuh keluhan dan kegalauan. Nah sebelum merasa disia-siakan, kita tentu perlu keluar dari zona itu, masuk ke zona belajar.

Kita menjadi buta kala kita diberi banyak kemudahan dan kenikmatan. Seperti yang dialami Jodi. Ketika banknya bangkrut, ia banting setir menjadi agen asuransi. Karena hebat jualan, setiap 3 bulan dia bisa membeli mobil mewah baru.

Kawan-kawannya sering dibuat heran. Betapa mudahnya kehidupan yang ia jalani. Semua berpikir ia akan bisa menikmati hari tua dengan tabungan besar dan pensiun di usia muda. Tetapi kenyataan berubah di tahun 1998, aliran uang masuk terhenti: pekerjaannya pun lenyap. Tetapi hobinya untuk menikmati hiburan malam tak pernah lenyap.

Persis seperti ratusan eksekutif ibukota yang saat itu terkena PHK. Meski nilai pesangonnya besar-besar, mereka tetap memakai dasi di pagi hari dan meminta sopirnya membawa dirinya ke “kantor” (yang bukan tempat kerjanya), mengunjungi teman, menghibur diri dari satu kafe ke kafe lainnya.

Didorong rasa kasihan, saya pernah memberikan orang-orang ini pekerjaan, tetapi banyak yang tidak tahan bertarung melawan kesulitan pada tahap entrepreneurial, dengan pegawai yang belum berpengalaman, apalagi gajinya tak besar.

Jodi menjalani zona nyaman itu dengan penuh kepura-puraan (bahwa everything’s gonna be OKAY) selama 5 tahun sampai semua teman-temannya sudah tak mau membantu lagi. Dia masih ingat nasehat saya ketika menerima buku Change. “Sebelum rasa sakitmu melebihi rasa takutmu, kau belum akan berubah.”

Maka sahabat-sahabatnya pun menjauhi demi menyakiti dirinya. Ketika itulah, pemain band yang mempunyai suara rock dan jagoan sepakbola ini pun pergi ke Cibadak, menempati sepetak tanah milik orangtuanya yang lama tak diurus. Di situ ia memulai hidup baru menjadi pengepul manggis.

Waktu ia menelepon dari lokasi persembunyiannya, saya merasa ia belum berubah. Ia meyakinkan saya tentang hidup barunya. Kami abaikan. Sampai suatu ketika saya ada urusan di Sukabumi dan meluangkan waktu mengunjunginya.

Pinggang saya hampir copot rasanya. Jalan rusak berkilo-kilo meter saya tempuh untuk menemuinya. Kemarin, tukang kebun yang mau saya tempatkan untuk mengurus kebun manggis milik Rumah Perubahan di sana saja terlihat ketakutan dan minta agar tak ditempatkan di sana. Di gubuk sederhana, Jodi tinggal bersama para tukang kebun.

Di kampung itu ia dipanggil opa, dan sejak opa ikut berbisnis manggis, petani-petani mulai bisa membangun rumah karena ia tak memainkan harga seperti para tengkulak.

Waktu pulang saya dioleh-olehi dua peti manggis yang waktu saya baca di Google, ternyata disebutkan kampung itu terkenal sebagai penghasil manggis ter-enak di seluruh Indonesia.

Zona Belajar
Kalau manusia gigih untuk keluar dari zona nyamannya, maka ia tidak otomatis akan sukses. Selama 6 tahun lebih, Jodi bergelut dalam zona baru yang saya sebut sebagai zona belajar (learning zone). Ia benar-benar jungkir balik, berkeringat, dan bersepeda motor melewati jalan-jalan berlumpur yang licin.

Di situ ia belajar hidup efisien, berbagi perasaan dengan orang desa, mempelajari perilaku petani dan eksportir. Dari biasa mengeluh kini rumahnya mulai didatangi kalangan berdasi yang sebentar lagi akan pensiun.

Mereka semua adalah rekan-rekan kerja Jodi yang “berhasil selamat” dari krisis moneter tahun 1998, tetap hidup dalam zona nyaman, namun kini justru merasa hidupnya penuh ancaman. Makanya dalam tulisan yang lalu saya katakan zona nyaman itu cuma sebuah ilusi. Ia malah justru tidak aman dan samasekali tidak nyaman. (baca: Keluar dari Zona Nyaman )

Setahun yang lalu ia memulai usaha penggergajian kayu dengan satu mesin menyusul banyaknya orang yang menanam sengon. Kemarin, saya lihat mesinnya sudah empat buah, ditambah mesin-mesin canggih lainnya.

Asetnya sudah di atas Rp 2 miliar lebih. Bulan depan ia akan mengambil alih bangunan pabrik milik nasabah sebuah bank. Rumah Perubahan berencana memindahkan lokasi pembuatan alat-alat permainan edukatif ke lokasi ini. Jodi membuka lapangan kerja bagi 200an orang karyawan unskill yang masih prasejahtera.

Dengan menjelajahi zona belajar, Jodi bukan memperdalam kompetensinya. Ia mengeksplorasi kapabilitas baru. Apa bedanya dengan Fuji yang mengekspansi kapabilitasnya dalam dunia digital, atau Modern Group yang mengekspansi kapabilitasnya ke dalam dunia retail? Sementara mereka yang tak belajar lagi, apa bedanya dengan Kodak dan Nokia?

Renungan bagi kaum muda
Dari Jodi, kita belajar bagaimana manusia keluar dari zona nyaman. Padahal di banyak kantor-kantor di Jakarta saya sering bertemu dengan para owner dan CEO perusahaan yang mengeluh bagaimana menangani pegawai-pegawainya yang terbelenggu dalam zona nyaman.

Tentu bukan maksudnya agar mereka berhenti atau di pensiun-dinikan, melainkan bagaimana agar mereka mau belajar tentang cara-cara baru dalam bekerja, menjadi manusia yang selalu produktif, ngeh terhadap perubahan, dan tetap dinamis.

Masalahnya, kompetisi menghadapi MEA ini semakin keras. Bukan dari pendatang-pendatang dari negeri seberang, melainkan dari sesama pemain-pemain lokal yang semakin kreatif.

Sejalan dengan itu tekanan pada sisi cost structure di sini makin terasa. Depresiasi rupiah, kongesti di pelabuhan, kenaikan biaya upah dan harga BBM, semuanya sungguh menekan.

Sementara itu, melewati usia 33, semua eksekutif mulai ingin menikmati hidup enak, mulai banyak minta cuti, dengan biaya entertainment dan asuransi kesehatan yang makin mahal.

Menurut hemat saya, para pegawai pun harus belajar menangani perasaan-perasaannya, juga menjadi lebih adaptif dalam mempelajari masa depan. Kami di Rumah Perubahan sudah setahun ini aktif diminta banyak kementerian, BUMN dan perusahaan swasta untuk melatih para karyawan agar terlatih keluar dari zona nyaman.

Akhirnya perlu saya sampaikan bahwa berselancar dalam Zona belajar itu meletihkan, kadang itu memang pahit. Anda juga boleh bilang hidup dalam kepahitan ini unethical. Boleh saja. But this your life, your family life, and remember those you love.

Kalau kita mau hidup enak, ya kita harus belajar terus, tak boleh ada tamatnya, meski tak ada ijazahnya. Artinya, ya kerja keras, kerja lebih gigih, lebih bertanggungjawab dan memberi lebih.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”