eTraining Indonesia

Dalam Cengkeraman Ilmu Dasar

Setiap bangsa punya pilihan: melahirkan atlet bermedali emas atau perenang yang tak pernah menyentuh air; melahirkan sarjana yang tahu ke mana langkah dibawa atau sekadar membawa ijazah.

Tak terpungkiri, negeri ini butuh lebih banyak orang yang bisa membuat ketimbang pandai berdebat, bertindak dalam karya ketimbang hanya protes. Tak banyak yang menyadari universitas hebat bukan hanya diukur dari jumlah publikasinya, melainkan juga dari jumlah paten dan impact pada komunitasnya.

Pendidikan kita masih berkutat di seputar kertas. Kita baru mahir memindahkan pengetahuan dari buku teks ke lembar demi lembar kertas: makalah, karya ilmiah, skripsi, atau tesis. Kita belum menanamnya dalam tindakan pada memori otot, myelin.

Seorang mahasiswa dapat nilai A dalam kelas marketing, bukan karena dia bisa menerapkan ilmu itu ke dalam hidupnya, minimal memasarkan dirinya, atau memasarkan produk orang lain, melainkan karena ia sudah bisa menulis ulang isi buku ke lembar-lembar kertas ujian.

Pendidikan tinggi sebenarnya bisa dibagi dalam dua kelompok besar: dasar dan terapan. Pendidikan dasar itulah yang kita kenal sejak di SD: matematika, kimia, biologi, fisika, ekonomi, sosiologi, dan psikologi. Terapannya bisa berkembang menjadi ilmu kedokteran, teknik sipil, ilmu komputer, manajemen, desain, perhotelan, dan seterusnya.

Kedua ilmu itu sangat dibutuhkan bangsa memajukan peradaban. Namun, investasi untuk membangun ilmu dasar amat besar, membutuhkan tradisi riset dan sumber daya manusia bermutu tinggi. Siapa menguasai ilmu dasar ibaratnya mampu menguasai dunia dengan universitas yang menarik ilmuwan terbaik lintas bangsa. Negara-negara yang berambisi menguasainya punya kebijakan imigrasi yang khas dan didukung pusat keuangan dan inovasi progresif.

Dengan bekal ilmu dasar yang kuat, bangsa besar membentuk ilmu terapan. Amerika Serikat, Jerman, dan Inggris adalah negara yang dibangun dengan keduanya. Namun, sebagian negara di Eropa dan Asia memilih jalan lebih realistis: fokus pada studi ilmu terapan. Swiss fokus dengan ilmu terapan dalam bidang manajemen perhotelan, kuliner, dan arloji. Thailand dengan ilmu terapan pariwisata dan pertanian. Jepang dengan elektronika. Singapura dalam industri jasa keuangannya.

Tentu terjadi pergulatan besar agar ilmu terapan dapat benar- benar diterapkan. Pada mulanya ilmu terapan dikembangkan di perguruan tinggi untuk mendapat dana riset dan menjembatani teori dengan praktik. Akan tetapi, mindset para ilmuwan tetaplah ilmu dasar yang penekanannya ada pada metodologi dan statistik untuk mencari kebenaran ilmiah yang buntut-nya ialah publikasi ilmiah.

Melalui pergulatan besar, program studi terapan berhasil keluar dari perangkap ilmu dasar. Ilmu Komputer keluar dari Fakultas Matematika dan Manajemen menjadi Sekolah Bisnis. Dari lulusan dengan ”keterampilan kertas”, mereka masuk pada karya akhir berupa aplikasi, portofolio, mock up, desain, dan laporan pemecahan masalah.

Metodologi dipakai, tetapi validitas eksternal (impact dan aplikasi) diutamakan. Hanya pada program doktoral metodologi riset yang kuat diterapkan. Itu pun banyak ilmuwan terapan yang meminjam ilmu dasar atau ilmu terapan lain sehingga terbentuk program multidisiplin seperti arsitektur yang dijodohkan dengan antropologi atau arkeologi, akuntansi dengan ilmu keuangan.

Anak-anak kita

Kemerdekaan yang diraih program studi ilmu terapan di perguruan tinggi melahirkan revolusi pada tingkat pendidikan dasar. Bila mengunjungi pendidikan anak-anak usia dini, TK dan SD di mancanegara, Anda akan melihat kontras dengan di sini. Alih-alih baca-tulis-hitung dan menghafal, mereka mengajarkan executive functioning, yang melatih anak-anak mengelola proses kognisi (memori kerja, reasoning, kreativitas-adaptasi, pengambilan keputusan, dan perencanaan-eksekusi).

Sekarang jelas mengapa kita mengeluh sarjana tak siap pakai: pendidikan didominasi kultur ilmu dasar yang serba kertas dan mengabaikan aplikasi. Perhatikan, Indonesia masih menjadi negara yang mewajibkan lulusan sekolah bisnis (MM) menulis tesis yang pengujinya getol memeriksa validitas internal dan metodologi yang sempit. Kegetolan ini juga terjadi pada banyak penguji program studi perhotelan atau terapan lain yang merasa kurang ilmiah kalau tidak ada pengolahan data secara saintifik.

Saya ingin menegaskan: hal itu hanya terjadi pada negara yang ilmu terapannya masih terbelenggu mindset ilmu dasar. Keluhannya sama: tak siap pakai, kalah dalam persaingan global.

Pertanyaannya hanya satu, kita biarkan terus seperti ini atau dengan legawa kita mulai pembaruan agar para sarjana ilmu terapan mampu menerapkan ilmunya? Itu terpulang pada kesadaran kita, bukan kesombongan atau ego ilmiah.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Belajar Melihat Perspektif

Salah satu latihan yang disukai anak-anak di sekolah kami adalah latihan perspektif. Ada sebuah gunungan di tengah-tengah meja yang membuat seorang anak yang duduk di satu sisi hanya bisa melihat benda-benda yang tampak di depan gunung yang menghadap ke dirinya.

Ketika ditanya guru, apa saja yang bisa ia lihat dari sisinya sambil duduk, anak-anak menyebut semua benda yang tampak di depannya dengan baik. Di situ tampak seekor kambing, pohon kelapa dan sebuah mobil. “Sekarang, bisakah engkau melihat yang aku lihat dari sini?” tanya bu guru yang duduk di sisi seberang. Anak itu menggelengkan kepalanya.

Mereka lalu bertukar tempat duduk. Anak itu tersenyum. Ia lalu menyebut apa saja yang ia lihat dari sisi belakang gunung. “Seekor burung hantu, tulang tengkorak, pohon cemara dan ada orang.” ujarnya.

Sekarang, bisakah engkau melihat apa yang aku lihat dari sini?” tanya bu guru. Anak itu mengangguk-anggukan kepala . “Ya!” ujarnya mantap. “Seekor kambing, pohon kelapa dan sebuah mobil.” Ia lalu menyebutkan semua benda yang ada di atas meja, baik yang hanya bisa dilihat dari sisinya maupun dari sisi yang dilihat gurunya.

Belajar “Melihat”

Berulangkali saya mengatakan, perubahan tidak mungkin bisa dilakukan selama manusia gagal diajak melihat. Silahkan mengadah ke langit. Anda bisa saja berujar, “langit berwarna biru.” Teman di sebelah Anda enggan menoleh ke atas, ia hanya berujar pendek, “tak biru lagi.” Atau “tak semuanya biru”, “hanya sebagian biru,” bahkan “tak sama birunya.”

Sudah hampir pasti setiap perubahan selalu menimbulkan guncangan, atau bahkan mendorong orang melakukan demo. Begitu ada yang berubah, manusia Indonesia belakangan ini menjadi lebih ekspresif dan reaktif.

Seorang diplomat asing yang senang melihat demokrasi di Indonesia berujar, “Di negara saya, orang berpikir dulu, lalu mengambil tema dan turun ke jalan. Di Indonesia, begitu bangun tidur, orang punya kecenderungan berbicara dan mengajak orang lain berdemo.

Untuk apa berdemo kalau suara satu orang saja bisa didengar? Jawabnya jelas, untuk menimbulkan perhatian. Bahkan bisa juga untuk mengancam. Tetapi benarkah demo selalu dilakukan untuk kebaikan banyak orang dan demi perubahan yang lebih baik?

Di UI saya pernah menerima petisi dari satu kelas mahasiswa S3 yang minta jadwal ujian preliminary ditunda satu bulan. Ujian itu sebelumnya tak pernah ada karena program studi sebelumnya diurus mereka yang tidak pernah sekolah doktor berbasiskan kuliah.

Begitu ditata ulang dan diperbaiki, tentu para mahasiswa itu “kegerahan”. Namun setelah saya susuri, ternyata penyebabnya hanya 1 orang yang takut tidak bisa mendapat nilai bagus.

Saya pun memanggil mereka satu persatu dan memisahkan “alang-alang dari padinya“. Akhirnya sumbernya ditemukan. Satu orang yang gelisah telah memprovokasi orang-orang yang siap ujian. Orang-orang baik yang siap mengikuti ujian ternyata kalah mengikuti kehendak satu orang yang paling lemah.

Setelah diajak berdialog, orang yang paling aktif dan galak menentang jadwal ujian secara beramai-ramai ternyata adalah orang paling cengeng ketika dihadapi seorang diri. Sejak saat itu saya menerapkan peraturan, dilarang mengajukan protes beramai-ramai, sebab suara satu orang pun pasti didengar.

Saya memberikan nomor telepon saya kepada seluruh mahasiswa dan mereka boleh protes apa saja. Syaratnya hanya satu: jadilah pemberani yang terbuka. Saya pun wajib mendengarkan dan mencarikan jalan untuk masa depan mereka. Tidak sulit bukan? Tetapi masalahnya, masalah satu orang seringkali dipaksakan menjadi masalah banyak orang dan ini tentu keliru.

Tapi yang jauh lebih penting dari semua itu adalah biasakan melatih orang melihat perspektif. Tugas pemimpin yang bersungguh-sungguh melakukan perubahan adalah mengajak orang lain mampu melihat apa yang ia lihat.

Membukakan mata jauh sebelum sebuah perubahan digulirkan. Orang harus diajak melihat perspektif-perspektif baru sehingga ketika satu pintu tertutup mereka bisa “melihat” pintu-pintu lain yang terbuka.

Jokowi tentu bisa mengubah Jakarta dengan ketulusan dan kejujurannya. Juga Prabowo bisa saja membukakan mata para penegak Hukum di Malaysia bahwa Wilfrida, TKI yang terancam hukuman mati adalah korban woman trafficking yang pantas dibebaskan dari ancaman hukuman mati.

Tetapi untuk memperbaiki perspektif tentang perbedaan keyakinan yang belakangan tumbuh tajam di negeri ini, semua guru harus berani turun melatih anak-anak didiknya melihat Indonesia dari perspektif yang berbeda-beda. Ini kalau kita masih ingin hidup dalam bingkai NKRI dan Pancasila.

Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar, yang terlalu sempit bila dilihat dari satu titik yang dapat bertentangan warnanya dengan titik warna lainnya. Agama atau keyakinan adalah sesuatu begitu agung dan mulia yang mengisi kehidupan manusia dunia-akhirat bagi bangsa ini.

Namun, ia menjadi sangat kecil bila diselewengkan manusia-manusia luka batin yang mempunyai aneka kepentingan dengan isu-isu SARA. Agama tak hanya bisa dilihat dari satu ayat dari sebuah surat untuk membenarkan perilaku-perilaku buruk bertentangan dengan ajaran pokok yang mengajarkan toleransi, kebaikan, dan saling menyayangi.

Indonesia sendiri tengah menghadapi goncangan-goncangan perubahan yang tak pernah berhenti. Dalam goncangan-goncangan itu, kedamaian, dan kesejahteraan hanya bisa dicapai kalau orang yang datang dengan perspektif yang berbeda-beda mau melihat, mendengar, dan membuka pikiran-pikirannya terhadap kesulitan orang lain.

Hari ini di sini kita menjadi mayoritas, esok saat berkelana dan hijrah kita bisa menjadi minoritas yang terasing. Saat itulah kita merasakan, betapa pentingnya arti dukungan dan bantuan orang lain. Tapi itulah awal dari perubahan yang lebih baik: biasa melihat dari sudut yang berbeda.

Ayo latih diri melihat dari titik yang berbeda dan biasa menerima perbedaan sebagai sebuah kekuatan.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Ketika Indonesia dilanda Pesimisme

Indonesia dilanda pesimisme. Duh ini berbahaya sekali. Pesimisme adalah gejala “merasa susah” tanpa dibarengi kemampuan melihat fakta-fakta kemajuan (yang meskipun ada, selalu dipertanyakan kebenarannya). Dalam era social media, pesimisme amat cepat menular. Ia bisa menjadikan suatu bangsa kalah, karena mereka memilih bertengkar, tak sabaran menunggu rebound.

Seorang pengusaha sawit merespon begini: Sewaktu harga TBS (tandan buah segar) Rp 95/kilogram, biaya pokok kami Rp 2 juta-Rp 4 juta per bulan dan perusahaan kami sudah untung. Sekarang harga TBS sudah di atas Rp 1.000 per Kg dan biaya pokok sudah bisa dibuat di bawah Rp 1 juta. Tapi entah kenapa teman-teman pengusaha sawit bilang dewasa ini mereka rugi.

Entah mengapa, juga banyak yang merasa bangsanya menjadi yang paling susah, seakan-akan akan terisolasi. Perasaan susah itu seakan masih bisa sendirian. Padahal ini era borderless, free flow, interconnected, complex relationship. Semua saling mempengaruhi. Satu bangsa susah yang lain jadi ikut terganggu karena kita sudah saling bergantung satu sama lain.

Lalu kalau yang lain ikut susah, kita cuma melihat bahwa mereka masih lebih baik dari kita. Padahal di sana, perilaku yang sama juga terjadi saat mereka melihat kita di sini.

Lantas teman-teman saya menganjurkan langkah berhemat, tunda belanja, tunda investasi. Duh, makin ngeri saja. Kalau semua saran itu dituruti, ekonomi kita bisa makin sulit, tertekan. Bahkan iseng-iseng copas berita negatif saja bisa merugikan diri sendiri. Indonesia bisa dilanda depresi, lalu benar-benar stagnasi.

Tapi syukurlah selalu saja ada orang-orang yang berpikir sebaliknya. Tak percaya dengan situasi itu, mereka justru mengambil langkah investasi besar-besaran. Nah begitu proyeknya selesai, pesaing-pesaingnya masih tertidur, maka cuma dialah yang berjaya.

Susahnya di mana?

Inilah awal dari segala kesulitan itu. Diberitakan penjualan beragam komoditas kuartal pertama 2015 mengalami penurunan: semen turun 3,3 persen, mobil 15 persen, motor 19 persen, properti bahkan turun 50 persen, dan nilai ekspor turun 11,67 persen.

Setelah itu satu persatu perusahaan publik melaporkan penurunan pendapatan bersihnya. Adhi Karya turun 34,5 persen, Agung Podomoro Land 65 persen, Astra International 15,64 persen, Bank Danamon 21,47 persen, Holcim bahkan merosot sebesar 89,78 persen. Dan masih banyak lagi.

Setelah itu, peluru bertubi-tubi diarahkan ke pemerintah yang sudah mengalihkan subsidi BBM. Harga-harga sudah kadung naik, buruh terus menuntut kenaikan upah secara progresif, sementara kurs rupiah tiba-tiba jeblok karena langkah besar Amerika, dan koordinasi antar lembaga belum terlihat solid.

Beras dan gula mulai banyak dijadikan permainan mafioso, apalagi setelah presiden mengumumkan agar jangan lagi impor. Belum lagi pupuk yang harusnya bisa digunakan untuk memicu produktivitas sektor pertanian. Subsidinya masih menjadi permainan para elit.

Dan puncaknya, terjadilah harga-harga saham merosot. IHSG turun 6.4 persen dalam sepekan. Rekan-rekan saya menambahkan dalam daftar jokes. Yang naik adalah penjualan Narkoba (katanya naik 28 persen, cuma bagaimana menghitungnya ya?), miras (naik 63 persen), bisnis prostitusi (naik 200 persen), dan batu akik (katanya ini bisa naik 300 persen).

Pantaslah tarif kencan AA konon bisa mencapai Rp 80 juta-Rp 200 juta. Dan pantas pula Gubernur DKI mengancam akan memperkarakan warganya yang membongkar trotoar bila mengambil batu-batu kali yang diduga batu akik. Ada-ada saja gurauan ini ya.

Tetapi pesimisme semua itu akhirnya secara ilmiah terbaca dalam sebuah indeks, yaitu Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang diukur oleh badan-badan resmi. Meski bukan menggambarkan kenyataan yang sebenarnya, indeks ini sejatinya mengukur persepsi konsumen yang menggambarkan apakah mereka mau melakukan pembelian terhadap barang-barang yang dapat ditunda. Secara hipotetis, semakin pesimis manusia semakin menunda.

Bank Indonesia misalnya, beberapa hari lalu mengumumkan IKK dalam sebulan terakhir yang merosot 9,5 poin. Ini angka kemerosotan yang lumayan merepotkan bagi pemerintahan Jokowi-JK tentunya.

Apalagi kalau kita lihat, proses penurunan itu sudah terjadi terjadi sejak awal tahun. Dari sekitar 120,2 (Januari 2015) menjadi 116,9 ( Maret ), lalu turun lagi menjadi 107,4 (April 2015) angkanya memang masih di atas 100. Ternyata optimisme masih ada.

Tetapi nyali ekonomi bangsa kita mulai menciut. Kalau turunnya lebih tajam lagi, maka saya khawatir akan semakin banyak pesan-pesan negatif yang tidak sehat yang beredar luas di masyarakat yang “merasa susah” meski hidup sebenarnya belum tentu susah-susah amat. Lagi pula apa salahnya berhenti belanja yang tak perlu-perlu amat dalam waktu sesaat?

Pesimisme itu seperti virus. Perasaan susah apa tidak semua tergantung pada tekanan psikologis dari luar yang bisa ditiupkan banyak pihak. Ini membuat orang-orang yang mudah digoyahkan merasa benar-benar susah, meski ia masih tetap kaya.

Apartemennya ada banyak, anak-anaknya sehat, penjualan usahanya masih berputar, tetapi mereka tidak siap menerima berita kesusahan. Itulah realita ekonomi abad ini, abad komersial dan materialisme di mana orang merasa susah kala tak bisa menangguk untung lebih besar.

Di sana juga susah

Perasaan susah itu ternyata beredar luas. Di berbagai grup dalam media sosial yang saya ikuti, selalu saja ada orang-orang yang mudah terganggu dengan berita negatif itu. Lalu semua mulai mengaitkan dengan kehidupannya.

Tetapi kalau ditunjukkan fakta-fakta lain dan ancaman depresi dari penyebaran berita negatif itu, sebagian dari mereka pun masih bisa diajak berpikir jernih.

Maka, meski jalan tol tetap macet, mereka mengaku harga BBM sangat memberatkan. Toh jalan raya keluar kota tetap penuh. Tiket kereta api untuk mudik lebaran begitu cepat habis diborong masyarakat. Pulsa telepon tetap laku. Telkomsel mengklaim mengalami kenaikan pendapatan sebesar 31,1 persen per kuartal I-2015).

Harga kebanyakan properti di kawasan metropolitan terlihat masih tetap naik, tetapi di berbagai group WA para pemilik properti merasa hidup mereka terganggu. Pertikaian antara pemilik unit dan pengembang mulai meruncing dengan sejumlah alasan termasuk kekhawatiran harga unit propertinya bakal terganggu.

Dengan cepat “rasa susah” itu menyebar luas. Seakan-akan kita sedang menuju resesi dan seakan-akan pemerintah ini mudah gagal. Bahkan ada yang mengolok-olok orang lain sebagai “salah pilih” pemimpin.

Benar, bahwa PR yang harus dikerjakan pemerintah masih banyak. Koordinasi belum bekerja dengan baik. Konsistensi masih diperlukan. Beberapa menteri mungkin belum menunjukkan “kinerja” terbaiknya. Mungkin karena merasa kedudukannya telah dijamin oleh partai politik pendukungnya.

Tetapi data berikut ini juga perlu kita renungkan. Ini saya dapatkan dari The Nielsen Global tentang penurunan volume bisnis eceran. Menurut Nielsen penurunan itu sudah terjadi di Asia Pasifik sejak 2013. Dari pertumbuhan sekitar 6-7 persen pada 2012, tiba-tiba pertumbuhan volume retail di kawasan tersebut menjadi 2,7 persen pada kuartal I-2013, hingga hanya 0,3 persen pada kuartal III-2014.

Suasana terburuk justru terjadi di luar negeri. Di Australia, kuartal ke IV-2014 bahkan growth-nya minus 1,1 persen. Jepang lebih buruk lagi yang awal tahun lalu, pertumbuhan ekonominya minus 3,2 persen. China dan India rata-rata mengalami penurunan serupa. Korea bahkan lebih buruk, negatifnya sekitar 3-4 persen.

Di antara negara tetangga, hanya Filipina yang volume bisnisnya masih bagus. Retailnya tumbuh diatas 5 persen akhir tahun lalu. Singapura saja memburuk dan pelanggan-pelanggannya mulai membeli merek-merek yang lebih murah. Wajarlah bila investasi dalam pembangunan pusat-pusat belanja di Asia-Pasifik berhenti .

Ketika disurvei, hampir semua konsumen di Asia mengkhawatirkan kenaikan harga BBM dan volatilitas ekonomi global. Bahkan presiden terbaik pun bisa saja gagal mengendalikan gejolak ekonomi global dalam perekonomian di negaranya. Volatility, uncertainty, complexity dan ambiguity.

Berhenti atau Berhemat?

Jadi harusnya Indonesia bisa lebih bersyukur bahwa kita masih diberi kenikmatan yang tak buruk-buruk amat. Meski mengabaikan fakta-fakta kinerja yang buruk dalam waktu yang singkat, sangatlah tidak bijaksana, saya kira pesimisme bukanlah pilihan sikap usahawan dan profesional yang tepat.

Justru sebaliknya, kita harus cerdas mengambil peluang dari perubahan besar-besaran yang tengah terjadi di Asia-Pasifik, maupun dari kerja keras dari presiden baru. Apa saja? Pertama, properti untuk kalangan rakyat bawah. Ini adalah pasar besar yang sudah pasti akan sangat besar peluangnya. Betul margin-nya tipis. Tapi kalau volume-nya besar, sudah pasti anda akan untung juga kan.

Kedua, bisnis dari proyek-proyek infrastruktur yang baru akan bergerak banyak akhir tahun ini. Semen, bahan bangunan, alat-alat berat , semua akan akan berpindah dari sektor pertambangan ke infrastruktur.

Ketiga, pendidikan keterampilan. MEA sudah pasti memberikan opportunity pada tenaga-tenaga terampil non-sarjana, apalagi bila dilengkapi dengan kemampuan IT, etos kerja positif, dan bahasa Inggris.

Keempat, alternatif pembiayaan selain perbankan. Dengan financial deepening yang dangkal, biaya investasi di sini menjadi mahal. Padahal menurut Gubernur BI, pengusaha Indonesia dikenal gemar berhutang. Tentu saja ini tak akan terjadi kalau pilihan pembiayaannya tak terbatas pada sektor perbankan saja. Maka dibutuhkan banyak alternatif pembiayaan baru, termasuk keuangan syariah dengan akad-akad yang lebih kreatif dan memenuhi hajat pengusaha.

Rasanya masih banyak kesempatan yang terbuka lebar. Apalagi pemerintahnya berkomitmen mempercepat pembangunan infrastruktur, membuat ekonomi lebih seimbang antara barat-timur, transportasi laut, dan tentu saja birokrasi yang lebih agile.

Susah, sudah pasti ada hikmahnya. Kita juga perlu sedikit jeda untuk merenungi hidup kita dalam menghadapi realita baru. Pemerintah ini memang perlu terus di lecut agar tidak lupa bekerja lebih keras lagi. Tetapi kreativitas di pemerintahan dan kalangan usahawan perlu terus dibangun.

Berhenti investasi? Janganlah, itu malah berbahaya bagi kita semua. Pengangguran harus dikurangi, pemerintah harus lebih aktif memberi perangsang ekonomi. Jalan saja terus, siapa cepat dia dapat. Siapa yang benar-benar mampu menjawab kebutuhan pasar, dialah yang akan didekati konsumen. Ayo kita buktikan.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


“Business Model” Baru

Pertarungan di era “surprise economy” bukan lagi seperti yang digambarkan Michael Porter dalam konsep five forces-nya. Itu kata Rita Gunther McGrath. Saya kira ini ada benarnya. Bisnis kita tidak lagi sekedar menghadapi tekanan dari dalam industri oleh para substitute, melainkan juga dari luar industri. Pertarungan itu bahkan terjadi antar business model.

Ini tentu merepotkan, karena kita terbiasa memetakan lawan sebagai mereka yang membuat sesuatu yang sama dengan kita. Padahal pendatang baru bisa saja menggerus usaha kita dengan pendekatan yang sama sekali berbeda. Itulah surprise. Mengejutkan para pegawai yang tiba-tiba bertanya, “who moved my cheese?”.

Saya ajak Anda melihat bagaimana Infomedia “keluar” dari kotak rasa nyamannya dan bertarung dalam business model baru. Seperti cerita saya tentang arloji Swiss yang mayoritas terperangkap inside the odds dengan model bisnis yang lama, para pegawai biasanya sulit diajak melihat dan bergerak dalam dunia yang baru. Di sinilah perubahan mindset amat menentukan.

Yellow Pages

Perangkap sukses di masa lalu bisa membentuk masa depan. Itu dialami oleh insan Infomedia, anak perusahaan PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) yang dulu sangat dikenal dengan Yellow Pages-nya. Ya, siapa yang tak kenal Buku Kuning yang tebal, yang biasa kita pakai untuk mencari alamat dan nomor telepon. Di situ pula, ada bisnis iklan yang besar. Ribuan UMKM memajang data-datanya dalam iklan-iklan display dan mini agar diketahui oleh calon pelanggan.

Waktu berjalan, dunia pun beralih ke dunia digital. Dari kertas, pelanggan beralih ke CD, Web dan seterusnya. Perlahan-lahan bisnis ini mengerucut. Kendali sudah dipindahkan ke dunia digital, perubahan itu terus terjadi. Tak ada yang bisa menandingi mesin pencari yang digagas oleh Google, yang jauh lebih cepat dengan daya jelajah yang tak terbatas. Keduanya memang tidak head on, business model-nya sama sekali berbeda, tetapi daya hancurnya tak terkendali.

Kalau Anda tak menyadari hal ini, bolak-balik Anda akan mengambil langkah inside the odds. Branding, price bundling, exhibition, customer service dan program-program marketing lainnya. Faktanya masalah-masalah yang dihadapi bukan terjadi inside the odds. Anda harus keluar menjelajahi samudera biru yang baru, dengan logika baru.

Tahun kemarin, di Bogor, saya diminta membantu Infomedia yang mengambil langkah keluar. Sewaktu saya tanya pada para eksekutif apa yang dibutuhkan, mereka menjawabnya dengan visi baru itu, namun masalahnya, “semua masih hidup dan berpikir dalam era Yellow Pages”.

Dunia baru yang mereka geluti itu sudah ditemukan, yaitu Business Process Outsourcing (BPO) dan Knowledge Process Outsourcing (KPO). Singkatnya begini. Anda tentu tahu betapa berjayanya India sebagai lokasi global outsourcing perusahaan-perusahaan besar dunia. Mulanya adalah Contact Center atau Client Service. Menurut BPO Market Outlook 2013, bisnis ini berhasil menampung lebih dari 1 juta pencari kerja India, yang sebagian besar adalah kaum muda dan para engineer.

Pertumbuhannya juga tinggi, diperkirakan sekitar sebesar 304 miliar dollar AS pada saat ini. Bahkan para ekonom di India memperkirakan bisnis ini telah menyumbang 7 – 8 persen dari keseluruhan PDB India.

Logika outsourcing di India berbeda benar dengan logika yang kita saksikan disini, yang ramai memicu keributan di kalangan buruh. Outsourcing seperti ini adalah sebuah pencarian global perusahaan untuk fokus pada bisnis inti dan memperkuat kompetensinya.

Tantangan ini disambut oleh Filipina, China dan belakangan juga Malaysia. Mereka kini bertarung habis-habisan dan menjadi lokasi outsourcing perusahaan Fortune 500 yang induknya ada di negara-negara industri maju. Citranya pun bergeser, dari bisnis tak bergengsi dengan “bergaji murah”, tanpa karier dengan kualifikasi pekerja yang rendah dan kini sudah beralih ke BPM (Business Process Management) yang menuntut keahlian-keahlian khusus.

Dari pamflet yang dibuat oleh Nasscom di India, saya membaca bagaimana perusahaan-perusahaan itu mengangkat gengsi calon pekerja. Mereka menjanjikan karier yang menarik, bahkan menawarkan posisi-posisi baru di luar call center. Mereka memperkenalkan BPM dengan mata rantai nilai (Supply Value Chain) yang lebih luas.

Tunjangan-tunjangan kesehatan, kendaraaan, job rotation, sampai dengan pensiun menarik diberikan seperti layaknya perusahaan besar.

Ruang lingkup BPM diperluas hingga pekerjaan-pekerjaan yang saling berhubungan dan memiliki sesuatu kelengkapan seperti layaknya perusahaan-perusahaan besar. Research & Analytics, Legal, Process Outsourcing, Engineering Services, Human Resource, Medical Process, Procurement, hingga Finance dan Accounting.

Apalagi sekarang kita memasuki era data besar (Big Data / BigQuery), ini tentu menjadi bisnis analytics yang sangat menarik. Konsep CRM pun mengalami tantangan-tantangan baru, dan tentu saja peluang usaha besar.

Sekarang tantangannya adalah bagaimana memindahkan orang-orang yang dibesarkan dalam kotak lama “Yellow Pages” ke dalam kotak baru yang belum terbentuk? Inilah persoalannya.

Bisnisnya sangat besar, visinya keren, tetapi berpikirnya mungkin berbeda-beda. Maka saya pun membagikan sebuah puzzle. Dalam tempo sekejap semua orang bisa mengerjakannya menjadi sebuah bujur sangkar. Tetapi manakala saya beri tambahan hanya sebuah puzzle kecil dan menugaskan mereka merangkainya menjadi bujur sangkar yang baru (terlihat seakan-akan mudah), nyatanya tak satu orang pun mampu mengintegrasikannya.

Semua orang terperangkap dengan model bisnis yang lama. Garis lurus di bagian luar, dengan perspektif lama. Ini persis seperti yang dikatakan Albert Einstein: You can not solve new problems by using old solutions. Semua orang dituntut merubah perspektifnya sebelum mengerjakannya.

Seperti itulah mengubah mindset para eksekutif, dari pengalaman panjang kami melakukan transformasi (yang umumnya gagal karena strategi hanya dilakukan dan digeluti di atas kertas).

Yellow Pages tentu tidak menjadi bisnis yang dimatikan. Bisnis itu disapih (spin off) ke dalam perusahaan yang lain, agar perusahaan ini bisa fokus. Infomedia pun bergeser ke dalam portfolio baru yang meliputi CRM, Coorporate Show, Service Operations, dan Business Analytics.

Di India sendiri, juga di Filipina, 58 persen dari revenue BPO-nya, telah beralih ke non-voice services. Dalam perspektif global, Indonesia juga bisa mendukung kesempatan untuk memperbaiki kesejahteraan keluarga dengan bisnis ini. Perspektif baru sangat diperlukan : baik oleh dunia usaha, pekerja, juga regulator.

Yang jelas, kita harus bisa keluar dari bingkai-bingkai berpikir dalam kotak lama, dan bekerja dalam abad transcient yang kreatif.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Satu Jalan Menuju Kaya, Banyak Jalan Menuju Sukses

Ibu saya berkali-kali menasihati saya, kata beliau hanya ada satu resep kaya raya. “Hidup hemat !” Bekas bos saya, almarhum Bapak M.S. Kurnia, juga mengatakan hal yang sama.

Ibaratnya kita punya dua saku. Saku kanan adalah tempat uang masuk. Saku kiri adalah tempat uang keluar. Selama uang keluar jauh lebih sedikit dengan uang masuk. Kita bakal aman. Ada uang lebih – maka ada kesempatan menabung. Hanya dengan cara ini kita bisa kaya raya. Tidak ada jalan lain. Tidak ada resep lain. Cuma satu ini.

Bill Gates, orang terkaya di dunia, pernah membela kebiasaan-nya naik pesawat di kelas ekonomi. Kata beliau, apakah kita duduk di kelas bisnis atau kelas ekonomi, semua penumpang tiba pada saat yang bersamaan. Jadi buat apa menghamburkan uang duduk di kelas bisnis. Begitu kilah Bill Gates.

Seorang konglomerat Indonesia, senang sekali memakai baju batik. Ketika saya tanya kenapa, ia berbisik bahwa baju batik itu warna-warni, sehingga tidak mudah kotor. Dan menurut mantu sang konglomerat, mertuanya bisa memakai baju batik itu berkali-kali, sampai ia merasa kotor, dan baru mencucinya. Ia sangat berhemat di ongkos cuci.

Beda lagi dengan konglomerat yang satu ini, ia senang punya kantor yang berdesak-desakan dengan anak dan mantu. Kalau ditanya mengapa, ia selalu menjawab biar akrab. Alasan utamanya, menghemat ongkos.

Seorang pengusaha di Surabaya, punya strategi lain, ia menugaskan supirnya untuk selalu menghafal promosi gencar kartu kredit. Ia selalu makan bersama klien hanya di restoran yang memberikan diskon terbesar.

Jadi kalau anda bertemu orang kaya raya, dan mereka punya kebiasaan aneh, jangan menuduh mereka pelit. Tapi itu rahasia kaya raya yang sesungguhnya. Hidup hemat dengan berbagai kebiasaan dan disiplin.

Kebalikannya, banyak teman-teman saya, yang punya komentar, ” ….. kenapa yah orang-orang yang mendapatkan uang secara mudah selalu tidak bertahan?”. Uangnya cepat habis. Sehingga ada istilah uang panas. Yang cepat menguap dan hilang begitu saja.

Saya kebetulan pernah menemani belanja bersama seorang pejabat di Hongkong. Dan dalam hanya 2 jam, sang pejabat menghabiskan uang hampir 500 juta rupiah. Saya sampai garuk-garuk kepala. Sang ajudan berbisik kepada saya, “Habis duitnya datang dengan gampang sih !”. Saya cuma meringis.

Secara psikologis, kata teman saya yang kebetulan adalah pemerhati gaya hidup, kebanyakan orang yang mencari uang dengan mudah, maka mereka juga cenderung untuk menghabiskan uangnya dengan mudah dan boros. Kebalikannya orang yang sangat susah mencari uang, yang tahu berkeringat bercampur darah, maka polanya untuk menggunakan uang cenderung hati-hati dan juga sangat hemat. Ini perbedaan yang sebenarnya.

Maka persepsi yang salah banyak juga beredar. Misalnya ada juga sih, teman-teman saya yang punya strategi beda. Kalau mau kaya? Cari uang sebanyak-banyaknya. Sehingga bisa boros seenaknya. Demikian moto hidup mereka.

Fokus mereka ada pada mencari uang. Dan bukan berhemat menyimpan uang. Strategi ini jelas berbahaya. Sekali saja sumber uang mereka kering. Mereka akan kelabakan tanpa tabungan.

Sukses tidak sama dengan Kaya

Yang sering bikin kabur adalah persepsi bahwa sukses dan kaya raya itu satu paket. Kata Mpu Peniti – mentor saya – “Sukses itu artinya sangat mahir dalam satu bidang sehingga dapat dikatakan dia-lah jagoan-nya”.

Betapa banyak atlet olah raga kita yang dulunya sangat berprestasi namun ternyata tidak begitu baik kondisi ekonominya. Demikian juga sejumlah artis dan penyanyi yang sangat terkenal dan sukses, tetapi kondisi ekonominya tidak sesukses karirnya. Tak terhitung juga pelukis dan seniman yang sangat sukses dalam karirnya, tetapi kehidupan ekonominya tidak secermerlang karirnya.

Sukses dan kaya raya, ternyata dua hal yang sangat berbeda. Konsep ini yang semestinya kita dalami. Bahwa anda bisa saja sukses dalam satu bidang – namun bilamana anda tidak kaya raya, jangan anda berkecil hati. Karena memang keduanya butuh cara dan strategi yang sangat berbeda.

Sukses Dulu, atau Kaya Dulu?

Jadi dalam hidup ini – mana yang anda pilih? Atau mana yang anda harus lakukan terlebih dahulu? Sukses dulu baru kaya raya? Atau kaya raya dulu baru anda sukses?

Sejujurnya, buat saya pribadi, pertanyaan ini tidak pernah hinggap di kepala saya. Pertanyaan ini baru muncul setelah dalam satu kuliah saya, dosen saya bertanya dengan serius dan filosofis, “Apa gunanya kaya raya? Dan kenapa kita harus kaya raya? Apa kaya raya adalah tujuan hidup semua orang?”.

Mendengar pertanyaan seperti itu, kami para mahasiswa yang berada di usia idealis, menjawabnya secara idealis pula. Ada yang menjawab secara filosofis, bahwa dengan kaya raya, ia bisa menolong orang banyak. Berbuat amal. Khas jawaban seorang “Philanthropist”. Yang lain menjawab secara politis, bahwa itu adalah cita-cita semua orang. Plus sejumlah jawaban yang berbeda-beda. Tapi tidak ada satu jawaban-pun yang sesuai dengan keinginan dosen saya.

Terus terang kami semua terkejut, ketika sang dosen menjawab pendek : “Praktis !”. Dosen saya memberikan argumen, bahwa kekayaan yang berlimpah membuat kita praktis bisa berbuat banyak hal.

Bisa menolong orang. Bisa liburan kemana-mana. Dan bisa membeli banyak hal. Namun, apakah kekayaan berlimpah membuat kita berbahagia?

Itu 100% bergantung pada orangnya. Tapi jawaban itulah yang mengubah hidup saya. Saya sampai pada sebuah persimpangan pemikiran. Bahwa situasi yang paling ideal, adalah kita harus, dan wajib sukses menjadi seseorang. Entah itu pengusaha. Artis. Sastrawan. Penulis. Apapun! Dan kesuksesan itu harus bisa kita komersialkan, sehingga memberikan kita nafkah yang baik. Itu idealnya.

Lalu dimana batas sukses itu. Jawabannya tidak terbatas. Tergantung pada ketekunan dan kerja keras kita.

Filosofi Makan

Peristiwa ini memberikan saya sebuah kearifan khusus untuk menghadapi kehidupan ini. Mpu Peniti – mentor saya – menasehati saya dengan sebuah perumpamaan.

Kata beliau, hidup ini tidak beda dengan makan. Tuhan memberikan pelajaran yang sangat sakral dalam hal bagaimana kita makan.

Pertama kata Mpu Peniti, kita jangan malu terhadap rasa lapar kita. Kita juga harus belajar mengerti rasa lapar kita. Artinya, dalam hidup ini, kita sudah diberikan naluri yang secara alami membentuk cita-cita dan ambisi kita.

Orang yang tidak mengerti rasa laparnya, akan makan sebisanya dan sepuasnya. Orang yang tidak mengerti cita-cita dan ambisinya, hanya akan maju terus tanpa rencana, dan berprestasi apa adanya.

Kedua, orang yang bijak pasti akan merencanakan apa yang dimakan pagi. Apa yang dimakan siang. Dan apa yang dimakan malam. Ia juga tidak akan seadanya memuaskan rasa laparnya, tetapi makan dengan makanan yang penuh nutrisi dan bergizi. Sehingga apa yang ia makan tidak hanya memuaskan rasa lapar, tetapi memberi manfaat yang maksimal bagi tubuhnya.

Orang yang bijak dan paham dengan rencana hidupnya, juga akan demikian. Karir yang ditempuhnya, bukan asal karir, tetapi jalan menuju cita-citanya. Bila tidak, maka karirnya akan menguras sekian tahun dari hidupnya dengan percuma.

Ketiga, orang yang bijak tidak akan makan sepuas-puasnya sampai melewati kenyang. Ia tidak akan serakah. Dan menjadi pemuas nafsu lapar semata. Tapi ia akan makan secukupnya. Karena tahu bahwa masih ada makan siang, makan malam dan makan pagi esok hari.

Orang yang bijak akan mengerti untuk menabung rasa laparnya untuk yang berikutnya. Ia akan hemat dengan rasa kenyang. Menyisakannya untuk berikutnya. Ia akan disiplin menabung. Hal yang sama dengan sukses dan rejeki. Perlu ditabung untuk yang berikutnya.

Bilamana ketiga hal tersebut dijalankan dengan seksama, maka “makan”, menjadi sebuah pengalaman yang sangat menyenangkan. Lapar adalah berkah. Kenyang menjadi kemenangan yang bisa kita kenang setiap saat.

Orang yang tidak tahu artinya makan, seringkali malas makan atau makan seadanya. Sehingga makan menjadi masalah yang merembet pada penyakit. Orang yang mengerti makan, tidak akan diperbudak oleh nafsu.

Makan boleh jadi bukan semata untuk hidup. Tetapi hidup bisa juga untuk makan. Orang yang mengerti makan, akan berdoa sebelum dan sesudah makan, bersyukur atas rejeki yang dihidangkan.

Memuaskan rasa lapar hanya ada satu cara yaitu makan. Kaya raya juga hanya ada satu cara yaitu hidup hemat. Tetapi apa yang akan anda makan tergantung dengan selera dan nafsu makan. Sukses anda juga tergantung pada ambisi dan cita-cita anda. Sukses punya banyak jalan. Ini yang harus kita nikmati dalam kehidupan ini. Sukses punya banyak jalan dan kemungkinan.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Sukses sebagai pegawai atau merdeka sebagai pengusaha?

Sekitar 300 tahun sebelum Masehi, Pingala di India menulis Chanda Sutra. Sebuah literatur bergaya Sutra yang terdiri dari 8 bab. Literatur yang cukup singkat ini adalah awal dan dasar dari teori kode “binary” yaitu 1 dan 0, yang sekarang menjadi bahasa universal komputer.

Lalu tokoh matematika dan filsuf Inggris Eugene Paul Curtis di abad ke 17, berusaha menterjemahkan logika kedalam bilangan matematika. Sayang, pemikirannya diacuhkan banyak orang. Lalu Curtis menggunakan literatur Tiongkok kuno yaitu I Ching, buku tentang perubahan yang juga menggunakan kode “binary”.

Baik teori Pingala dan I Ching akhirnya menguatkan teori Curtis bahwa kehidupan kita dapat disederhanakan lewat hal yang sama. Hidup adalah sama dengan kode “binary”. Hanya saja Curtis belum menemukan sistem yang ia cari.

Barulah pada tahun 1847, ahli matematika dan filsuf George Boole, berhasil meneruskan pemikiran Curtis menjadi teori yang dikenal dengan Aljabar Boole. Yang kemudian diterapkan ke dalam sirkuit listrik elektronik dengan pendekatan “on” dan “off” yang sangat sederhana.

Claude Shannon pada tahun 1937, menggunakan teori kode “binary” menjadi penerapan aplikasi yang menguntungkan di elektronik dan komputer. Semenjak itu dunia berubah total. Dan hidup kita, percaya atau tidak, sangat bergantung pada kode “binary” itu.

Teman saya, seorang guru matematika, mengambil sikap bijaksana. Dan ia memiliki sebuah pemikiran sederhana. Bahwa hidup ini murni 100% pilihan. Seperti juga konsep “on” dan “off”.

Rahasianya, ketika anda memilih satu pilihan tertentu, tinggal bagaimana meningkatkan peluang keberhasilan bahwa pilihan kita itu menjadi yang terbaik dan menguntungkan.

Bayangkan anda di sebuah kamar. Bilamana anda memilih menyalakan lampu – katakan saja bahwa pilihan anda itu adalah “on”, maka bagaimana memanfaatkan ruangan yang terang benderang dengan cahaya lampu. Misalnya saja dengan belajar – membaca atau menyelesaikan sebuah pekerjaan.

Sebaliknya kalau anda memilih mematikan lampu – atau “off”. Ruangan kamar akan gelap gulita, maka tantangan berikutnya adalah bagaimana anda memanfaatkan situasi yang gelap gulita. Katakan saja – anda memanfaatkan ruangan yang gelap tersebut untuk meditasi, istirahat, merenung atau juga untuk tidur.

Dengan memahami konsep ini, maka tidak ada satu pun pilihan hidup yang buruk. Semuanya baik. Semuanya sempurna. Asalkan anda menjalani pilihan anda dengan konsisten. Dan membuat pilihan anda tersebut menjadi sebuah keberuntungan hidup. Menjadikan pilihan anda yang terbaik buat anda. Itu kunci rahasianya.

Jadi jangan terpengaruh dengan ajakan, seruan dan motivasi dari orang lain yang mengatakan bahwa anda harus begini, dan anda harus begitu. Mpu Peniti, mentor spiritual saya, bertutur bahwa seringkali seseorang gagal melakukan sesuatu karena semata-mata itu bukan pilihan-nya. Tetapi pilihan dan ajakan orang lain.

Mas Teguh, teman saya dari Surabaya, awal mula selalu gagal dalam melakukan apa saja. Teguh meniti karir mulanya sebagai seorang pegawai negeri. Merasa hidupnya hanya menjadi olok-olok, ketika berumur 36 tahun ia sengaja menghadiri sebuah seminar motivasi. Dan dalam seminar itu ia terinspirasi menjadi seorang entrepreneur. Lalu ia berhenti menjadi pegawai negeri dan mulai-lah ia mengarungi badai kehidupan sebagai seorang pengusaha.

Mulai dari agen MLM, asuransi, penjual burger, hingga broker saham dan sejumlah bidang usaha lainnya. Teguh merasa tetap di garis semula. Ia tidak mengalami kemajuan. Malah hampir bercerai dengan istrinya, karena dalam 10 tahun terakhir ia hanya menghabiskan uang saja.

Untunglah istrinya penyabar, dan mertua-nya sangat mendukung setiap usahanya. Dengan penuh rasa penyesalan ia bertemu dengan saya. Mengaku bahwa 10 tahun hidupnya sia-sia dan penuh sengsara. Padahal ia selalu penuh motivasi dan terus mencoba. Ia tidak pernah putus asa. Ia selalu penuh semangat. Tetapi ia merasa sangat jauh dari cita-citanya.

Dengan penuh rasa kasihan, saya mengajak ia bertemu dengan Mpu Peniti, mentor spiritual saya. Dia bercerita panjang lebar. Dan Mpu Peniti, menyimaknya dengan sangat seksama. Lalu di akhir cerita, dengan suara perlahan, Mpu Peniti, bertanya apa cita-cita-nya yang sesungguhnya?

Teguh terhenyak sesaat. Ia ragu. Sekian menit kemudian ia menjawab dengan penuh keraguan : “Yah, sama seperti teman-teman yang lain. Sukses dan banyak uang”.

Mpu Peniti lalu tersenyum, “Bilamana Mas Teguh ragu dan tidak yakin dengan tujuan dan cita-cita hidup yang sesungguhnya. Bagaimana Allah bisa membantu untuk memberikan apa yang Mas Teguh inginkan?” .

Teguh termangu. Ia pulang mirip serdadu kalah. Seminggu kemudian ia mengirim SMS, nadanya gembira. “Mas, aku tau apa yang harus aku pilih sekarang”.

Itu SMS Teguh setahun yang lalu. Lalu kemarin ada SMS dari Teguh. Ia mengajak saya melihat bengkelnya. Sejak SMA Teguh sudah pandai mengutak-atik mesin motor. Ia tahu merawat mesin. Dan mahir mereparasi serta merenovasi motor tua.

Sehabis pertemuan dengan Mpu Peniti, ia merenung dan nuraninya berbisik untuk memanfaatkan hobinya. Maka ia lalu membuka bengkel mobil. Sekalian usaha jual beli mobil bekas. Usahanya berhasil dengan baik.

Teguh kini sangat berbahagia. Ia mengaku telah memilih dengan tepat. Disamping ia menikmati hidupnya, penghasilan-nya juga sangat bagus. Keluarganya juga ikut senang. Istrinya mengaku ikut berbahagia.

Jadi kalau anda ingin berbahagia seperti mas Teguh, belajarlah memilih dengan teliti. Jangan mudah percaya dengan omongan dan ajakan orang lain, bahwa pilihan ini atau pilihan itu yang terbaik. 100% bohong. Tidak ada pilihan yang terbaik untuk semua orang. Yang ada, hanyalah pilihan terbaik untuk satu orang.

Jangan iri dan cemburu, apabila anda melihat seseorang sukses menjadi seseorang. Atau seseorang berhasil kaya raya menjadi seseorang. Pilihlah yang terbaik untuk anda. Jalani dengan tekun. Penuh percaya diri. Maka anda akan sukses dan atau kaya raya sekaligus. Dan akhirnya anda akan hidup sangat berbahagia.

Pegawai atau Pengusaha?

Lalu mana yang harus kita pilih? Menjadi Pegawai seumur hidup? Atau menjadi Pengusaha? Lagi-lagi jawaban-nya tergantung pilihan anda. Menjadi seorang pegawai barangkali resikonya lebih kecil. Tetapi perjuangan dan upayanya jauh lebih besar.

Gaji pegawai menengah dan atas dari perusahaan terkenal sangat memungkinkan diatas 50 juta sebulan bahkan ratusan juta. Bilamana anda sukses meniti karir menjadi direktur dan presiden direktur sebuah perusahaan papan atas, gaji-nya juga bisa milyaran sebulan.

Menjadi pegawai bukan pilihan jelek. Pilihan yang sangat bagus. Cuma, anda harus sadar bahwa hanya ada beberapa direktur, dan hanya ada satu presiden direktur. Anda juga harus sadar bahwa semakin tua usia anda semakin besar pula resiko anda.

Seseorang yang dipecat perusahaan-nya ketika berumur diatas 40 tahun, akan sangat susah mencari pekerjaan setara, dengan gaji setara pula.

Itu sebabnya jangan asal jadi pegawai. Anda perlu taktik dan strategi untuk mendaki keatas. Itu bilamana anda sudah mantap ingin jadi pegawai seumur hidup.

Menjadi pengusaha, juga bukanlah pilihan lebih baik dari pilihan menjadi pegawai. Memang ada plus dan minusnya. Pertama resikonya lebih besar. Karena 100% anda yang menentukan. Modal dan jenis usaha, semuanya anda yang melakukan. Resiko rugi dan bangkrut selalu ada.

Karena resikonya barangkali lebih besar, maka hasilnya juga lebih besar. Kalau jadi pegawai penghasilan anda ditentukan oleh gaji, dan kenaikan gaji peluangnya sangat terbatas. Maka kalau jadi pengusaha, berapa yang anda dapat, ditentukan 100% oleh ketekunan anda. Dan anda punya peluang melipat gandakan bisnis anda kapan saja, dan sebesar apa-pun.

Peluangnya sangat terbuka lebar. Hari ini anda untung cuma 10 juta, tahun depan bisa untung satu milyar. Bisa saja. Dan mungkin saja.

Jadi pegawai, anda harus disiplin, kerja jam 09.00 pagi pulang jam 17.00 sore. Bilamana jadi pengusaha, anda bebas 100%, bisa masuk kantor kapan saja. Pulang kapan saja. Atau juga tidak masuk sama sekali.

Saya sendiri memilih menjadi pengusaha sejak tahun 1990. Semata lebih cocok dengan adrenalin saya. Tidak mudah. Awalnya sangat sulit dan penuh perjuangan. Tetapi karena ini pilihan hidup saya, maka saya membulatkan tekad.

Rahasianya sederhana, selalu mengambil sikap positif. Tekun dan sabar. Yang terakhir, melakukannya dengan penuh semangat dan kegigihan. Hasilnya sangat membahagiakan saya.

Saya pikir bahagia adalah pilihan setiap orang. Apakah anda pegawai atau pengusaha anda berhak bahagia. Barangkali, inilah akhir dan cita-cita kita semua!


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Pendidikan dan Rantai Kemiskinan

Kisah anak-anak dari keluarga kurang mampu yang berhasil menembus perguruan tinggi sudah sering kita dengar.

Seperti dialami Raeni, anak tukang becak yang meraih IPK 3,96 di Universitas Negeri Semarang. Ia bahkan mendapat tawaran kuliah S-2 ke Inggris.

Setiap kali ke daerah pertanian, saya sering menemukan petani yang melakukan segala upaya agar anak-anaknya jangan lagi jadi petani, dengan menyekolahkan anaknya menjadi sarjana.

Namun, sukseskah mereka memutus mata rantai kemiskinan? Bukankah pada statuta-nya kini PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum, red) wajib memberikan beasiswa 20 persen untuk kalangan kurang mampu?

Aliran kognitif

Kesadaran afirmatif, untuk memberi akses pendidikan seperti di atas bukan hanya ada di sini. Harusnya kita percaya sekolah bisa menjadi anak tangga yang bagus untuk memutus mata rantai kemiskinan. Pendapat umum mengatakan, keluarga miskin melahirkan generasi-generasi yang sama miskinnya karena ketiadaan akses untuk mencapai pendidikan yang tinggi.

Polanya begini: seorang anak lahir dari ibu yang menikah di usia dini, lalu bercerai, ibu harus bekerja keras, pindah dari satu kota ke kota lainnya. Kadang tinggal bersama nenek, menumpang hidup di kawasan yang padat. Anak pergi sekolah dengan perut lapar, sementara teman-teman ikut les Kumon atau dari guru sekolah. Lalu ia pun bosan dengan sekolah, sering tak masuk, prestasi terpuruk, terlibat perkelahian, drop out, punya anak di luar nikah, lalu jatuh miskin lagi. Begitu seterusnya.

Mungkin, jika diberi gizi, perhatian, dan akses agar bisa sekolah lagi, mereka akan bisa keluar dari mata rantai kemiskinan. Namun, penerima Nobel Ekonomi tahun 2000, James Heckman, menggelengkan kepalanya.

Faktanya, hanya 3 persen dari mereka yang bisa menamatkan perguruan tinggi. Padahal, anak-anak dari keluarga biasa mencapai 46 persen. Demikian juga kemampuan memperbaiki ekonomi keluarga : pendapatan tahunan, pengangguran, angka perceraian, dan keterlibatan dalam kriminalitas. Prestasi ekonomi keluarga miskin yang mendapatkan program afirmasi pendidikan ternyata tetap sama dengan anak-anak yang drop out dari sekolah. Apa sebabnya?

Tahun 1994 dua ilmuwan yang dituding rasis (Muray & Herrnstein, dalam Bell Curve) mengarahkan temuannya pada masalah DNA. Namun, berdasarkan kajian ekonometrika, Heckman menemukan masalahnya ada di sekolah itu sendiri. Sekolah-sekolah yang sering kita lihat di sini, terlalu kognitif dan membebani. Sehingga tak akan mampu memutus mata rantai kemiskinan. Sekolah kognitif terlampau mekanistik.

Wajar sekarang kita menyaksikan banyak sarjana menganggur, bahkan yang sudah bekerja kurang efektif. Padahal, mereka tak kalah pengetahuan, indeks prestasi mereka kini bagus-bagus. Cenderung kalah dengan lulusan luar negeri yang hanya menempuh 124 SKS (S-1). Sementara sarjana kita menempuh 144-152 SKS.

Sekolah nonkognitif

Heckman menemukan variabel-variabel nonkognitif yang justru tak diberikan di sekolah menjadi penentu keberhasilan seseorang untuk memutus mata rantai kemiskinan. Variabel itu adalah keterampilan meregulasi diri, mulai dari mengendalikan perhatian dan perbuatan, sampai kemampuan mengelola daya tahan (persistensi), menghadapi tekanan, menunda kenikmatan, ketekunan menghadapi kejenuhan, dan kecenderungan untuk menjalankan rencana.

Nah keterampilan-keterampilan seperti itu, menurut Heckman, sering kali absen dalam sekolah kognitif. Tanpa itu, anak-anak yang dibesarkan dari keluarga menengah ke atas pun akan jatuh pada lembah kemiskinan.

Sekolah kognitif sendiri digemari banyak kalangan kelas menengah karena substitusi atau penguatnya bisa dibeli di ”pasar”, semisal Kumon, guru les, atau orangtua yang rajin memberi latihan. Namun, anak-anak dari kalangan kurang mampu punya banyak keterbatasan. Selain orangtuanya tidak mengerti, mereka juga harus bekerja keras mencari nafkah di luar jam kerja.

”Ilmu-ilmu tertentu itu, seperti kalkulus, sangat mekanistik,” kata Paul Tough (How Children Succeed, 2012).

”Kalau memulai lebih dulu dan banyak berlatih, mereka akan lebih cepat menyelesaikan soal-soalnya. Namun, aspek-aspek nonkognitif tak bisa didapat dengan mudah.”

Itulah sebabnya di PAUD Kutilang Rumah Perubahan, kami mengembangkan metode nonkognitif. Itu pun belum cukup. Guru dan orangtua diwajibkan seminggu sekali mengikuti bimbingan cara membaca anak. Kebiasaan buruk orangtua yang merupakan cerminan dari buruknya aspek nonkognitif tadi menjadi penguat mata rantai kemiskinan di setiap generasi berikutnya.

Bimbingan dan metode nonkognitif itu harusnya dibangun sedari dini. Tantangan-tantangan nonkognitif seperti itu tampaknya berat sekali dibangun di sini, mengingat dua-tiga generasi pendidiknya guru dan dosen kognitif yang rewel dengan kemampuan menghafal, berhitung, atau memindahkan buku ke kertas.

Saya ingin Anda menengok penjelajahan nonkognitif yang saya tanam dalam kelas saya di UI. Satu kelas mahasiswa dikirim ke luar negeri dalam program one person-one nation, lalu pengalamannya mereka tulis dalam buku: 30 Paspor.

Di situ anak-anak belajar menumbuhkan aspek nonkognitif, merefleksikan kehidupan, mengambil keputusan dalam menghadapi kesulitan seorang diri di luar negeri.

Kita percaya pendidikan bisa memutus rantai kemiskinan. Namun, bukan pendidikan superkognitif seperti yang sering kita dengar dari orang-orang yang gemar mendebatkan cuma soal kali-kalian. Padahal, persoalan hidup terbesar, justru ada di soal bagi-bagian. Dan untuk adil membagi dibutuhkan keterampilan hidup nonkognitif.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Cerita Sebungkus Garam

Bulan Ramadhan yang lalu, Mpu Peniti mentor saya, titip agar saya membeli sebungkus garam buat beliau. Mulanya saya garuk-garuk kepala terheran-heran. Buat apa sebungkus garam. Beliau cuma tertawa, dan menjawab singkat – “Buat masak makanan buka puasa”.

Maka 2 jam sebelum puasa saya sudah tiba di rumah Mpu Peniti dengan sebungkus garam. Beliau gembira betul melihat saya membawa sebungkus garam pesanan beliau. Garam tersebut dibawanya ke dapur, dan Mpu Peniti sibuk memasak.

Saya menunggu di teras belakang. Sehabis sholat setelah bedug berbuka puasa, Mpu Peniti mengajak saya makan. Menunya sangat sederhana. Nasi putih, tahu dan tempe goreng, serta tumis kangkung.

Entah kenapa saya seperti tersihir, makan dengan sangat lahap. Rasanya enak luar biasa. Sebuah pengalaman yang sangat magis. Awalnya saya pikir saya dikerjai Mpu Peniti. Tapi ternyata tidak.

Sehabis makan beliau baru cerita. Bahwa nasi tadi di tanak dengan air kelapa dan dibubuhi sedikit garam supaya gurih. Sedangkan tahu dan tempe sebelum digoreng direndam di-air garam dan bawang putih. Dan tumis kangkung di tumis dengan cabe, bawang merah, dan garam.

Tapi mengapa bisa begitu enak ? Mpu Peniti hanya tertawa terkekeh-kekeh. Karena resepnya memang sangat rahasia.

Pada akhirnya beliau bertutur juga. Tentang pelajaran hidup yang beliau ingin turunkan kepada saya. Maka berceritalah beliau tentang budaya prihatin.

Beliau menasehati saya agar selalu hidup prihatin. Menurut Mpu Peniti, prihatin bukanlah artinya kita harus menyiksa diri kita. Hidup serba susah.

Pertama-tama, “prihatin” lebih kepada alam pikir kita. Sebuah “state of mind”. Bahwa kita dalam kepekaan berpikir. Sehingga panca indera kita menjadi lebih tajam dan fokus. Dalam hal ini, Mpu Peniti mencontohkan nasi yang di tanak dengan campuran air kelapa dan garam.

Betapa sering kita mengabaikan nasi. Yang kita pentingkan selalu adalah lauk-nya. Kita sering menganggap nasi apa adanya. Tetapi ketika nasi di tanak dengan resep khusus bersama air kelapa dan garam, maka nasi yang tidak pernah kita anggap, malah menjadi kelezatan tersendiri. Nasi tampil menjadi yang utama. Garam mirip dengan prihatin. Ketika hidup ini menjadi sedemikian hambar, maka prihatin menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa.

Bayangkan anda berada di sebuah ruangan. Lalu anda menyetel musik sekeras-kerasnya. Maka bukan kemerduan dan keindahan musik yang anda dengarkan, melainkan suara yang sangat bising yang membuat anda sangat terganggu.

Tetapi bilamana anda turunkan suaranya hingga ke tingkat yang pas, maka yang terdengar adalah suara musik yang sangat indah. Konsep prihatin sama dengan menurunkan suara musik ke level yang bisa kita nikmati. Bilamana kita telah terlatih dengan gaya hidup prihatin maka apresiasi kita terhadap kesenangan, kebahagiaan, dan kepuasan menjadi berlipat ganda.

Ibaratnya kita sudah terbiasa makan sangat sederhana, suatu hari kita dijamu dengan makanan mewah. Maka kepuasan dan kebahagiaan kita akan menjadi luar biasa. Tetapi, bilamana kita sudah terbiasa makan mewah setiap hari maka kita menjadi mati rasa. Kebal ! Tingkat kepuasan dan kebahagiaan kita menjadi susah dijangkau.

Maka dengan menambahkan sedikit garam saja kepada sang nasi, Mpu Peniti berhasil mengubah nasi yang sangat sederhana menjadi sebuah hidangan spektakuler. Prihatin justru menjadi alat kreatif untuk menyetel kebahagiaan hidup kita. Prihatin justru membantu kita untuk lebih bahagia, lebih puas dan lebih menghargai hidup.

Peranan garam dalam masakan kedua, yaitu tahu dan tempe goreng punya makna tersendiri, tutur Mpu Peniti. Merendam tahu dan tempe dengan rempah-rempah bawang putih, sebenarnya sudah merupakan sebuah kesempurnaan tersendiri, tetapi menambahnya dengan garam dalam jumlah yang pas, menjadi keajaiban tersendiri, buktinya tahu dan tempe goreng menjadi lezat luar biasa.

Hal yang sama dengan budaya prihatin. Bilamana kita sudah terbiasa hidup prihatin, percaya atau tidak, kita akan punya panca indera tambahan. Yaitu, kita menjadi tahu diri terhadap penderitaan orang lain. Ini adalah kualitas pemimpin yang sangat penting. Apakah pemimpin bisnis atau pemimpin bangsa. Tanpa panca indera ini, pemimpin akan buta penderitaan terhadap mereka-mereka yang dipimpin-nya.

Teman saya seorang HRD manajer di sebuah perusahaan besar. Sehabis kenaikan BBM, ia mengajukan proposal untuk memperbaiki gaji dan upah di-perusahaan-nya. Kebetulan presiden direktur sudah generasi kedua. Masih muda. Namun sejak kecil, sudah hidup mewah dan berlimpah. Hingga SMP sekolah di Singapura. Lalu melanjutkan ke Inggris.

Sejak kecil hingga dewasa, hidupnya dikelilingi pembantu dan supir. Semua kebutuhan-nya selalu dilayani tanpa terkecuali. Semua permintaan-nya harus ada. Ia tidak pernah sekalipun hidup susah. Ia tidak tahu artinya menderita. Prihatin tidak ada dalam kamus hidupnya.

Maka ketika ia disodori proposal penyesuaian gaji dan upah, dengan serta merta ditolaknya. Malah manajer HRD itu dimarahi habis-habisan. Sang presiden menuduh teman saya ingin kudeta.

Teman saya dengan lesu menceritakan semua pengalaman itu, dan mengatakan bahwa andaikata proposal itu diberikan kepada ayah sang presiden direktur, maka situasinya akan sangat berbeda. Proposal itu pasti akan dipertimbangkan dengan seksama, dan teman saya yakin, bahwa proposal itu akan dikabulkan minimal sebagian, sesuai dengan kemampuan perusahaan.

Bedanya, sang ayah mulai dari bawah, mulai dari kondisi hidup miskin dan mendirikan perusahaan. Setelah sukses sang ayah masih menjalankan hidup prihatin. Karena pernah hidup susah dan menderita, sang ayah sangat mengerti dan menyelami penderitaan karyawan-nya. Ia punya panca indera itu. Maka prihatin disini menjadi garam yang melengkapi. Garam yang menciptakan keajaiban.

Buddha mengalami jalan hidup yang sama. Seorang pangeran yang seumur hidupnya di penjara oleh kelimpahan dan kemewahan istana. Dan ketika ia menyamar keluar istana, dan melihat penderitaan rakyat. Ia dengan suka rela membuka mata hatinya, lalu mengisinya dengan keprihatinan.

Buddha lalu belajar hidup prihatin. Meditasi, bertapa, dan mencoba memahami penderitaan rakyatnya. Dan akhirnya Buddha mencapai titik pencerahan tertinggi. Ini adalah kualitas pemimpin yang semakin langka. Negara dan bangsa membutuhkan pemimpin seperti ini, yang mau prihatin. Mengerti penderitaan rakyat. Bukan mengejar kesenangan. Bukan mengejar kekayaan. Dan bukan pula mengejar kesempurnaan citra.

Dalam masakan ketiga, tumis kangkung, garam tidak tampil di depan. Tetapi di belakang cabe dan bawang. Prihatin tidak tampil di depan. Prihatin hanya menjadi pelengkap. Sebuah bekal yang menyempurnakan. Seorang Ibu yang sepuh, namun sangat kaya raya, pernah mendatangi Mpu Peniti. Uangnya berlimpah. Anak-anaknya tidak berambisi. Ia bertanya seakan hidupnya kosong. Tidak memiliki kebahagiaan sama sekali. Ia sudah mencoba dengan berbuat amal kemana-mana. Menolong banyak orang. Kenapa ia masih juga belum berbahagia?

Sederhana kata Mpu Peniti, ia itu ibarat tumis kangkung dengan cabe dan bawang tapi tidak ada garamnya. Ia menolong orang bukan karena ingin menolong orang itu. Ia ingin menolong orang semata karena ia ingin punya perasaan bisa, dan berkuasa menolong orang. Ia mengejar pujian dan ucapan terima kasih. Ia ingin punya reputasi bahwa ia orang baik hati yang menolong orang kemana-mana. Ia tidak menolong orang karena prihatin. Maka ia tidak akan pernah berbahagia.

Ketika saya bertemu pertama kali dengan Mpu Peniti, saya berpikir ia mirip dukun ramal. Maka pertama yang saya tanya adalah nasib saya di masa mendatang. Apakah saya bisa menjadi “seseorang” dan “sukses besar”. Apakah saya bakal punya segalanya ? Lalu beliau menjawab dengan cerita tentang Buddha.

Konon ketika Buddha selesai meditasi beliau ditanya apa yang didapat dari meditasi? Buddha hanya menggeleng. Tersenyum dan berkata, “Tidak ada”. Lalu mengapa Buddha melakukan meditasi bila ia tidak mendapat apa-apa?

Buddha tersenyum, “Aku melakukan meditasi, bukan untuk mendapatkan apa-apa, melainkan justru untuk menghilangkan semua hal-hal yang negatif. Untuk menghilangkan rasa marah, kegelisahan, cemburu, dengki, rasa takut pada usia tua dan kematian”.

Dan barangkali dengan pemikiran revolusioner seperti itu, Mpu Peniti mengajarkan saya untuk hidup prihatin. Semata agar kebahagiaan hidup yang kita kejar adalah kebahagiaan hakiki yang datang dari kehidupan kita yang sesungguhnya. Bukan dari sesuatu yang semu karena harta. Tetapi kebahagiaan yang bisa memberikan nilai dan martabat hidup.

Sejak itu saya melakukan sejumlah kegiatan usaha, untuk mencoba sikap prihatin itu. Di Djogdjakarta saya dan beberapa teman melakukan Gerakan Pelan Indonesia, memberdayakan budaya Jawa – “Alon Alon Maton Kelakon”. Agar kita prihatin dengan kehidupan yang serba cepat. Dan berusaha pelan. Untuk membuat hidup kita lebih bahagia.

Mpu Peniti pernah menasehati saya, kata beliau, andaikata kita naik mobil dengan sangat cepat, kita tidak akan pernah menikmati pemandangan di sepanjang jalan. Beda apabila kita menempuhnya dengan berjalan kaki. Maka semua pemandangan akan kita nikmati dengan luar biasa.

Bersama dengan seorang teman karib, saya membuka sebuah pusat penyembuhan di Jalan Senopati di Jakarta. Juga karena prihatin bahwa biaya kesehatan di negara ini sangat tinggi, dan orang harus keluar negeri untuk sembuh. Berbagai penyakit modern dalam kehidupan kita yang serba cepat, kebanyakan disebabkan karena gaya hidup yang serba menuntut. Kita kehilangan panca indera kita yang paling penting. Yaitu prihatin pada sekeliling alam semesta dan manusia di sekeliling kita.

Dan keprihatinan saya yang paling besar, adalah fenomena cacat sastra yang diderita oleh anak-anak kita. Dimana anak-anak kita mampu dan bisa menggunakan bahasa Indonesia tetapi cacat untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai sebuah keindahan.

Kita tidak lagi menulis surat. Kita tidak lagi menulis puisi. Cerpen semakin menjadi seni yang hampir punah. Dengan keprihatinan yang sangat dalam, maka saya mendirikan sebuah penerbitan “AKOER”, yang berjuang untuk menerbitkan buku-buku berkualitas, dan mendermakan buku-buku itu ke sejumlah perpustakaan di seluruh Indonesia.

Semua usaha ini dilakukan dengan satu sikap. Prihatin. Saya merugi banyak secara finansial. Namun secara batin, saya merasa sangat kaya. Prihatin telah menjadi bola kehidupan saya. Yang membuat saya melambung kemana-mana karena berbenturan dengan berbagai dinding dan lantai yang keras.

Semoga dengan sikap prihatin yang sama. Bangsa dan negara kita dihantarkan ke gerbang kejayaan oleh Tuhan Yang Maha Esa.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Arloji Swiss, Kodak, dan Nokia

Pada tahun 1960-an dipergelangan tangan manusia nyaris hanya ada arloji “made in Switzerland.” Jam tangan buatan Swiss itu menguasai market share di atas 60 persen. Tetapi tahun 1980-an market share-nya tinggal 15 persen.

Pada tahun 1970-an , dunia hanya mengenal film roll merek Kodak dan Fuji. Kini Kodak sudah tiada, sedangkan Fuji berevolusi ke dunia digital (lab, health, dan lain-lain). Beberapa tahun lalu, kita juga menyebut Nokia sebagai “HP sejuta umat”, tetapi tahun 2013 lalu kita mendengar divisi handset Nokia diakusisi Microsoft.

Apa yang tengah terjadi dengan Strong Brand itu? Bukankah di Indonesia juga ada ribuan strong brand yang tinggal kenangan?

Ketika berhadapan dengan menurunnya Revenue from Sales, biasanya eksekutif mempersoalkan marketing. Yang satu mengutak-atik branding, yang lain membongkar sales, komisi penjualan, packaging dan seterusnya. Padahal masalahnya bisa jadi bukan di situ. Masalahnya bukan inside the “odds”, melainkan sesuatu yang telah berubah.

Nokia

Siapa yang tak kenal Nokia? Selain pernah menjadi sahabat banyak orang di sini, Nokia adalah Harvard business case study yang sangat menarik. Ia beralih dari merek sepatu menjadi ponsel dengan pendekatan “human touch” dan “connecting people.” Bentuknya jauh lebih fashionable daripada pesaing-pesaingnya: Motorola atau Ericsson.

Dari Nokialah, di Harvard, para eksekutif belajar cara membangun keunggulan daya saing. Ya daya saing perusahaan, daya saing negara (Finland), hingga bagaimana policy makers membangun cluster, industri-industri pelengkap dan kebijakan yang pro-business sehingga menciptakan lapangan kerja yang produktif dan kreatif. Kita berpikir, sekali daya saing didapat maka dengan prinsip itu akan di dapat sustainability. Dan itu artinya kesejahteraan.

Tetapi, ketika Microsoft mengakusisi divisi handset Nokia dengan nilai 7,2 miliar dollar AS. Para investor bereaksi negatif, karena keduanya, baik Microsoft maupun Nokia, sama-sama sedang berada dalam kubangan kesakitan. Semua orang tahu, penjualan PC dunia sedang drop, sehingga Microsoft perlu beralih ke bisnis mobile devices. Artinya industrinya sendiri tengah berubah.

Namun Nokia sendiri seperti juga tengah berada dalam kubangan kesulitan yang sama. Global market share-nya mengerucut, tinggal 15 persen. Ketika kesulitan terjadi, eksekutif Nokia melakukan hal serupa seperti perusahaan-perusahaan lainnya: mengutak-atik keunggulan brand-nya.

Mereka lalu menjalin hubungan dengan Microsoft, yang tertarik menggunakan software windows phone. Tetapi solusi ini keliru. Brand Microsoft tak mampu membuat Nokia lebih baik. Pasar telah beralih ke Android dan Nokia selalu terlambat menanggapinya. Bagi sebagian besar analis, akuisisi ini juga tak mampu menjadikan Microsoft seperti Apple yang telah terlanjur memiliki loyalis dalam kategori mobile devices.

Kekacauan seperti di Nokia juga pernah terjadi di Kodak beberapa tahun yang lalu, tak lama setelah masa-masa sulit industri roll film di 1970-1980 an yang terjadi akibat kenaikan harga perak (bahan baku processing lab photography yang penting). Kendati di tahun 1980-an harga perak telah kembali stabil, eksekutif Kodak memilih duduk manis. Padahal pada tahun 1980-an Sony mulai menjelajahi kamera digital, dan Fuji segera menangkap peluang itu.

Di bawah Minoru Onishi, Fuji menambah dana riset untuk teknologi digital. Pada tahun 1999, total investasi risetnya di area ini mencapai 2 miliar dollar AS. Sehingga pada tahun 2003, mereka telah memiliki lebih dari 5.000 digital processing labs. Mereka juga menjelajahi dunia kesehatan (rontgent), office automation, dan manufaktur untuk floppy disk.

Bagaimana reaksi Kodak? Kodak masih berkutat di seputar marketing: branding, location, pricing, packaging, advertising dan seterusnya. Ketika Fuji telah menguasai digital lab processing, Kodak baru memiliki beberapa puluh unit saja. Inilah awal kemunduran Kodak, dengan resiko brand yang kuat pun bisa mati kalau hanya menjalankan marketing strategy saja. Sales drop bukanlah melulu akibat marketing salah, melainkan sesuatu telah berubah.

Reaksi serupa juga terjadi di Modern Group, distributor tunggal roll film Fuji di sini. Modern Group juga mengalami kesulitan ketika bisnis roll film tak lagi digemari pasar. Sales revenue nya dalam bisnis ini drop dari Rp 2 triliun (2002) tinggal menjadi hanya Rp 212 miliar (2010) dan terus merosot. Beruntung mereka segera berubah.

Di bawah Henry Honoris, Modern Grup menjelajahi dunia baru dengan bussines model 7 Eleven yang sama sekali baru, yang dilengkapi dengan fasilitas nongkrong anak muda. Bisnis inilah yang kini menyelamatkan Modern Group.

Analisis Industri

Kebanyakan kita umumnya belajar marketing dari tokoh-tokoh lama yang mengedepankan pentingnya mengeksploitasi keunggulan-keunggulan dan keunikan-keunikan diri. Dengan analisis industri model Five-forces, kita menjadi yakin bahwa competitive advantage perlu terus diperkuat dengan hal-hal strategis di dalam brand itu.

Tetapi di awal abad 21, business landscape telah berubah total. Analisis industri yang dulu kita lakukan dalam masing-masing industri telah berubah. Para pelaku perubahan tak lagi bermain dalam area yang sama, sehingga persaingan sudah berubah menjadi antar industri, bahkan antar business model. Dalam buku Cracking Zone, saya memperkenalkan kategori baru dalam industri yang saya sebut sebagai Cracker, yang artinya orang-orang yang memperbaharui industri.

Nah bila, wabah crackership sudah melebar kemana-mana, competitive advantages jelas menjadi persoalan baru dan marketing tidak bisa lagi berjalan sendiri. Bahkan strong brand bisa saja tiba-tiba beralih menjadi problematic brand. Apalagi bila eksekutif puncaknya sudah terlalu dimanjakan oleh berbagai fasilitas yang membuat mereka merasa nyaman.

Mereka akan sangat mudah digoyang para business-modelist baru yang tiba-tiba merampok keunggulan mereka. Itulah yang tengah terjadi di hampir semua industri dan melahirkan teori transient dalam analisis industri baru.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Baru yang Baru

Semua yang baru adalah obsesi kita. Dan sesuatu yang baru seringkali menjadi bagian dari ritual kehidupan kita. Baru seringkali di-kedepan-kan. Baru adalah prioritas bagi kebanyakan orang. Karena baru ibarat jamu yang manjur, maka baru seringkali dijadikan jampi-jampi ilmu pemasaran.

Ketika saya kuliah ilmu pemasaran-pun, topik “BARU” menjadi sebuah kuliah yang super menarik. Malah dosen saya mengatakan bahwa inilah salah satu jurus pemasaran yang mesti dikuasai tuntas. Beliau punya teori yang menarik bahwa sebuah strategi pemasaran harus dimulai dari sesuatu yang baru, dan diakhiri dengan sesuatu yang baru pula. Begitu nasehat beliau.

Konsumen memang selalu tertarik kepada yang baru. Kita selalu mencari restoran baru. Cafe baru. Dan tempat hiburan yang selalu baru. Kalau kita mengunjungi sebuah boutique, kita juga mencari produk terbaru. Fenomena ini begitu mendarah daging, sampai misalnya membuat para produsen mobil, ikut menampilkan model terbaru setiap tahun.

Seorang wartawan pernah bercerita bahwa ia juga tertarik sama seorang artis kalau dia punya sesuatu yang baru. Entah itu lagu baru ataupun pacar yang terbaru. Kelihatan konyol, tetapi itulah yang terjadi. Kita hanya tertarik kepada sesuatu yang baru.

Konon diperlukan rata-rata hampir 3 tahun lamanya , untuk sebuah produsen produk konsumen menciptakan sesuatu yang baru. Tetapi statistik keberhasilan-nya sangat rendah. Kemungkinan hanya mendekati 10%. Padahal jumlah produk baru yang dilempar ke pasar bisa mendekati diatas puluhan ribu tiap tahun-nya.

Dengan statistik ini anda mungkin mengira dan menebak bahwa jurus baru ini, sama dengan inovasi. Menurut dosen saya memang sebagian ditentukan oleh inovasi. Tetapi sisanya sama sekali tidak ditentukan oleh inovasi.

Dalam salah satu kasus klasik yang melibatkan Nokia barangkali benar juga. Nokia meluncurkan ke pasar Nokia Communicator 9000 pada tahun 1996. Saat itu langsung sukses besar. Karena konsumen langsung merespon positif. Nokia memulai sebuah era baru. Era telepon seluler yang pintar. Alias SmartPhone. Nokia Communicator langsung menjadi simbol status. Dan juga mainan baru bagi para sosialita.

Sayangnya setelah itu Nokia gagal menerapkan jurus baru berikutnya. Terutama ketika konsumen dunia mulai malas berbicara di telepon.

Bicara di telepon cenderung bertele-tele. Juga menguras emosi. Maka konsumen mengirim SMS alias texting.

Pada tahun 2003, Blackberry meluncurkan RIM 850 and 857, yang memulai era ngobrol ala “chatting” di telepon seluler. Dan cara komunikasi baru ini ternyata populer di seluruh dunia. Anak muda di Amerika yang berusia 18-29 tahun cenderung hanya berbicara di telepon seluler sebanyak 17 kali sehari dibanding dengan 88 SMS yang dikirimnya tiap hari.

Telepon seluler secara emosional menjadi selimut dan sekaligus kepompong yang melindungi kita. Kita cenderung berlindung didalamnya dan menjadi kurang vokal tetapi lebih visual.

Lalu tahun 2000, telepon seluler pertama dengan kamera di jual di Jepang. Dan tahun 2004, Facebook lahir. Maka muncul-lah gelombang fenomena yang sangat baru.

Begitu baru dan hebatnya boleh dikatakan sebagai sebuah revolusi. Yaitu munculnya budaya “share”. Dimana setiap orang membagi pengalaman-nya, dengan memotret apapun yang dilihatnya, mulai dari makanan, pemandangan, hingga kemacetan lalu lintas. Lalu di-”upload” ke internet dan “social media”.

Revolusi baru yang kedua adalah era baru “selfie”. Semua orang tergila-gila untuk memotret dirinya sendiri. Budaya narsis yang melanda dunia bagaikan banjir bandang. Peristiwa yang terjadi dalam 2 tahun itu, mengubah segalanya.

Dan tahun 2007, akhirnya Apple sebuah perusahaan komputer meluncurkan iPhone. Hanya satu model, namun membuat konsumen tergila-gila. Nokia dalam hitungan 10 tahun pudar sinarnya karena gagal menyerap pembaharuan yang melanda dunia.

Apple sendiri saat ini dihantui oleh kompetitor Samsung yang sudah menguasai pasar lebih dari 40%. Pertempuran belum selesai dan konsumen menunggu yang terbaru.

Kesimpulan pertama, adu baru itu sama dengan sebuah perlombaan. Siapa terdepan dia yang akan menang. Resep utamanya barangkali inovasi. Bukan sembarang inovasi, melainkan sesuatu yang bisa mempengaruhi konsumen. Sesuatu yang revolusioner menggugah konsumen untuk ikut berpartisipasi membeli dan mempromosikan produk anda.

Baru memang menarik. Kalau sudah tidak baru, maka konsumen akan memberikan label bermacam-macam, mulai dari kuno hingga ketinggalan jaman. Kalau sudah demikian, kita bagaikan barang rongsokan yang tidak lagi menarik dan punya pesona. Kita terancam ditinggalkan konsumen.

Tapi apa jadinya kalau produk kita tidak memungkinkan untuk berinovasi. Misalnya, karena produk kita unik dan satu-satunya yang sangat istimewa?

Contoh paling mudah adalah celana jeans Levi’s atau Coca Cola. Maka kata dosen saya, ada jurus kedua yaitu menjadi pilihan klasik atau baru yang selalu abadi!

Itu sebabnya Levi’s dengan produk klasiknya 501 memilih slogan – “The Original”. Alias yang asli. Dan Coca Cola juga punya strategi yang rada mirip, ketika menggunakan slogan – “The Real Thing”.

Strategi sederhana ini diadopsi pedagang soto kaki kambing, yang melabeli mereknya dengan sebutan ”Pak Kumis”. Bakpia di Djogdjakarta juga menggunakan merek yang berupa nomer. Karena kalau bukan nomer dianggap tidak asli.

Pedagang Durian dari kota Medan juga menggunakan merek dan label “Ucok” untuk menunjukkan keaslian-nya. Kalau produk anda dianggap yang asli, maka anda akan memiliki baru yang abadi.

Kalau anda tidak sanggup melakukan dan membuat yang baru sama sekali, maka anda bisa mendaur ulang yang ada, dan membuatnya baru atau melakukan yang ekstrim, dan justru memilih yang lama.

Tidak semua konsumen tergila-gila dengan yang paling baru. Ada juga konsumen yang tertarik dengan yang sangat lama. Konsumen yang mau ber-nostalgia.

Maka sesuatu yang sudah lama sekali, malah bakal menjadi menarik. Apalagi kalau hampir punah. Langka. Dan sudah sangat jarang sekali.

Kesimpulannya, langka adalah sesuatu yang baru juga. Ketika konsumen sudah bosan dengan musik digital, dan CD, maka mereka balik menyukai piringan hitam.

Kini banyak penggemar musik yang balik membeli piringan hitam. Musik dengan piringan hitam yang langka adalah musik baru. Hal yang sama dengan dunia fotografi digital. Ketika semuanya sudah digital, sebagian mahasiswa di Vienna, pada tahun 1992 menemukan kamera LOMO buatan Rusia, dan memulai gerakan baru yaitu foto analog yang disebut Lomography.

Kini Lomography sudah menjadi komunitas dunia. Sesuatu yang lama dan tidak sempurna adalah sesuatu yang baru juga sebenarnya. Terutama ketika kita bosan dengan semuanya yang serba sempurna.

Yang harus kita mengerti bahwa baru adalah sebuah ikatan emosi dengan konsumen. Produknya bisa saja tidak baru dalam pengertian yang sesungguhnya. Tetapi cara kita berkomunikasi, cara kita menyampaikan, dan cara kita menghadirkan persepi, bisa saja memang baru.

Rumusnya: baru yang baru !


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”