eTraining Indonesia

Keluar dari Zona Nyaman III

Krisis ekonomi yang dahsyat di tahun 1998 telah berlalu satu generasi. Mungkin tidak banyak generasi baru yang mampu membayangkan betapa mengerikannya perubahan dan gejolak ekonomi politik kala itu. Mereka tahunya gadget, kartu kredit, liburan ke luar negeri, mall, AirAsia, dan sekolah sampai S-2. Tetapi tidak bagi sebagian generasi yang lain.

Hamid, teman kuliah saya dulu di FEUI, termasuk salah satunya. Ijazah dari FEUI yang sangat laku sebelum krismon tiba-tiba kehilangan daya ungkit dalam mencari pekerjaan. Kantor konsultannya yang dulu dibangun bersama ekonom terkemuka dari luar negeri kehilangan seluruh kliennya. Ribuan pegawai terkena PHK.

Dasinya kini tergantung kumal di depan lemari kayu. Minggu lalu sepulang dari acara pelantikan Sekda Banten atas undangan teman sebangku saya di SMP dulu, Rano Karno, saya memutuskan untuk mengunjungi daerah binaan Hamid di sekitar Banten. Ia menjemput saya di Pasar Baros, Serang.

Berkaus oblong, ditemani seorang eksportir ikan, kami lalu menuju bengkelnya yang tak jauh dari pasar itu. Di kaki gunung yang sejuk dan dikelilingi persawahan yang luas, saya menyaksikan hasil sebuah kerja keras, wujud dari upaya keluar dari zona nyamannya. Saya berharap refleksi ini hendaknya menjadi perhatian bagi para eksekutif muda.

Dua Dunia yang Berbeda
Keluar dari zona nyaman, ibarat berenang di lautan yang berbeda. Dari lautan tenang yang dihuni jutaan manusia, Hamid melipir, berenang dengan gaya yang berbeda mengarungi samudera luas. Dan ini butuh keahlian baru yang dalam bahasa bisnis disebut ekspansi kapabilitas. Dari kapabilitas seorang konsultan menjadi penebang kayu. Jangan salah, ia seorang pecinta alam.

Dari alam dia belajar tentang macam-macam jenis kayu. Ia menjadi tahu bahwa kayu yang bagus hanyalah yang batangnya sudah tua dan mati di pohon. Kelak pohon itu akan roboh. Lalu tunas-tunas muda bermunculan.

Hamid menjadi pemasok kayu-kayu langka dari pohon yang sudah mati dan tumbang. Maka, ia pun meninggalkan Jakarta, tinggal bersama orang-orang kampung. Begitu mendengar ada pohon tumbang, ia pun mendatanginya dan melakukan negosiasi. Lama-lama penduduk kampung jadi tahu siapa yang harus dihubungi.

Tak jarang, penduduk menawarkan pohon-pohon yang masih hidup karena butuh uang. Tetapi, Hamid pantang menebang pohon-pohon hidup itu, ia pun membayar pohon-pohon itu, dengan syarat tak boleh ditebang sebelum ajal menjemputnya. Ia jadi punya stok hidup di mana-mana. Sampai-sampai koleksinya menjadi rebutan para seniman kayu. Jangan heran, furnitur dari kayu tua miliknya dihargai jutaan dollar AS setelah diolah oleh desainer terkenal.

Lantas apa yang ia lakukan? Pohon-pohon berdiameter besar yang masih hidup itu ia biakkan. Ia lakukan berbagai teknik agar pohon bergenetika baik itu memberikan ribuan keturunan. Dari stek pucuk sampai kultur jaringan.

Maka, dalam pemasarannya ia selalu mengatakan: kalau Anda membeli meja kayu ukuran besar dari saya, ada ribuan pohon yang kembali kita tanam.

Hamid punya beragam kayu yang dipanen dari budidaya milik penduduk yang dijual kepadanya. Volumenya memang tidak masif, tetapi ia punya beragam jenis kayu dari kayu besi sampai sengon, dari kayu nangka tua hingga kayu sawo.

Waktu saya tengok workshop-nya, seorang pengusaha sedang memilih jenis-jenis kayu yang akan dipakai untuk galeri yang akan dibangun di daerah Jakarta Selatan. Saya tertegun menyaksikan kehebatannya menjelaskan karakter macam-macam jenis kayu. Saya sendiri mengoleksi beberapa meja ukuran besar. Salah satunya memiliki panjang 9 meter dengan lebar 1,5 meter. Bentuknya saya biarkan alami.

Memang kayu telah menjadi barang langka yang amat dilindungi. Kita tentu perlu menjaga kelestarian alam agar bumi ini tetap terjaga keseimbangannya. Maka, diperlukan pengusaha-pengusaha baru yang tahu cara menjaga keseimbangan itu.

Ekspansi Kapabilitas
Menjadi pengusaha adalah salah satunya. Namun, tentu tak semua orang bisa, mau melakukannya atau memiliki panggilan ke sana. Anda tentu tak harus menjadi pengusaha untuk keluar dari zona nyaman. Saya harus katakan, sebagai karyawan pun kita perlu terus-menerus melakukan ekspansi dari kapabilitas yang kita miliki.

Kalau Anda menjadi wartawan, kalau mau survive dalam karier, Anda pun perlu melakukan ekspansi keahlian dari wartawan seni dan gaya hidup menjadi reporter ekonomi, politik, atau olahraga. Dari sekadar membuat reportase dengan keahlian menembus narasumber dan melakukan investigasi, menjadi editor perumus kebijakan editorial, bahkan menjadi praktisi manajemen yang mengurus logistik dan keuangan. Dari wartawan harian ke wartawan online yang ritmenya berbeda dan seterusnya. Itulah yang saya namakan sebagai learning zone.

Demikian juga kalau Anda menjadi seorang insinyur. Industri yang dijelajahi perusahaan tempat Anda bekerja pun berevolusi. Dari sekadar usaha konstruksi menjadi EPC (Enginering Procurement dan Construction), bahkan belakangan banyak construction company yang berevolusi menjadi investment company. Kapabilitas Anda menjadi ujian Anda, sehingga Anda bisa terus berkarier di sana atau menjadi obsolete (usang) dan tersingkir.

Semua usaha dan industri berevolusi, tak ada lagi yang bertahan kalau mereka sekadar transit. SDM pun berevolusi. Bukan hanya hard skill-nya, melainkan juga life skill-nya. Dulu Anda melayani atasan, kini kita wajib memimpin 360 derajat.

Dulu sebagai dosen kita mengajar serba teori, kini harus lebih banyak memberikan ilmu dengan praktik. Dulu membaca saja cukup. Kini kita harus aktif melakukan ekplorasi. Dulu Anda bisa memimpin dengan perintah, kini dengan contoh. Dulu siapa yang mencuri bisa menjadi komandan asal dekat dengan penguasa, kini mereka terganjal.

Semua itu mengajarkan pada kita pentingnya melakukan ekspansi kapabilitas, yang artinya kita harus terlatih keluar-masuk dari zona nyaman. Kapabilitas itu menyangkut keterampilan, sikap, cara, sistem, dan pengetahuan.

Sahabat saya, Hamid, terlihat begitu agile (tangkas). Ia tak merasakan beban untuk keluar dari zona nyaman karena sejak kecil biasa hidup di lapangan, padahal tak sedikit dari teman kami yang kini hidup dalam beragam kesulitan atau kepura-puraan. Mereka menyangkal terhadap perubahan, bahkan mengutuknya dengan amat sinikal.

Ketika kita mendapatkan skill di usia muda, kita sering berpikir dan keahlian atau pengetahuan itu sudah final dan bisa kita bawa untuk memberi nafkah bagi hidup sampai pensiun. Padahal, keahlian dan pengetahuan itu berubah, berkembang terus, sementara fisik kita menua dan otot-otot mulai melemah. Kita tak akan bisa menggunakan kenyamanan itu sebagai SIM hidup selamanya. Maka, saya lebih senang menyebut pensiun dini sebagai karier kedua.

Jadi keahlian atau sekolah kita yang “tamat” itu bisa memerangkap kita. Itulah zona nyaman. Dan mukjizat tidak ada di zona itu.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Keluar dari Zona Nyaman III Read More »

Keluar dari Zona Nyaman II

Awal tahun ini saya mengunjungi dua orang sahabat lama saya. Yang satunya, Jodi, pengepul manggis di Cibadak-Sukabumi dan satunya lagi, Hamid, tukang kayu di Banten. Keduanya memilih hidup jauh dari keramaian: di tengah-tengah kampung di kaki gunung yang sepi, memulai kembali kehidupan dari bawah.

Tetapi jangan salah, 20 tahun lalu keduanya dikenal sebagai yuppie (young-urban professional atau young upwardly-mobile professional). Muda, berdasi, bersedan mewah, dan mudah mendapatkan kedudukan. Kata yuppie sendiri saat itu begitu lekat dengan lulusan universitas terkemuka atau MBA yang bergaji mahal karena bergerak di sektor keuangan.

Krisis moneter 1998 menghancurkan ekonomi keluarga mereka. Ijazah sarjana dari perguruan tinggi (satunya lulusan MBA dari Dallas Texas, satunya lagi sarjana ekonomi UI), tak menjamin kemudahan apa-apa.

Saya khawatir banyak kaum muda berusia 30-40an yang tengah menghadapi perubahan dewasa ini tak menyadari hidupnya pun sesungguhnya sama-sama fragile. Bedanya dengan yang lain, keduanya memilih keluar dari zona nyaman mencari “kesaktian” dan mukjizat dari zona-zona tidak nyaman.

Saya mulai dulu dengan si pengepul manggis. Minggu depan kita obroli si tukang kayu. Ini sekalian penjelasan bagi mas-mas, oom-oom dan adik-adik yang tak mau naik angkot karena sudah biasa naik mobil Audi. Ya, kalau mau naik Audi terus monggo saja, meski suatu ketika uangnya untuk merawat Audi sudah tidak ada lagi dan otot sudah kadung tua. Hehe.

Kalah judi
Hidup ini ibarat berjudi. Kalau sudah kecanduan, manusia sulit keluar dari perangkap itu. Otak Anda akan memerintahkan kaki, tangan dan hati melakukan hal yang sama berulang-ulang karena sudah familiar.

Itulah zona nyaman. Kita hanya ingin melakukan hal-hal yang sudah menjadi kompetensi kita, kendati kini telah dimiliki banyak orang dimana-mana. Membuat kita kehilangan daya jual, substitutable (mudah diigantikan), lalu menjadi obsolete (usang), ketinggalan zaman karena umur.

Realistis saja, kelak kalangan terpelajar, akan menjadi tenaga yang kemahalan bagi industri. Hanya sebagian kecil dari para senior yang didapuk menjadi direksi. Selebihnya bisa dianggap menjadi “beban” (liability) ketimbang “aset”. Apalagi kalau terperangkap dalam zona nyaman penuh keluhan dan kegalauan. Nah sebelum merasa disia-siakan, kita tentu perlu keluar dari zona itu, masuk ke zona belajar.

Kita menjadi buta kala kita diberi banyak kemudahan dan kenikmatan. Seperti yang dialami Jodi. Ketika banknya bangkrut, ia banting setir menjadi agen asuransi. Karena hebat jualan, setiap 3 bulan dia bisa membeli mobil mewah baru.

Kawan-kawannya sering dibuat heran. Betapa mudahnya kehidupan yang ia jalani. Semua berpikir ia akan bisa menikmati hari tua dengan tabungan besar dan pensiun di usia muda. Tetapi kenyataan berubah di tahun 1998, aliran uang masuk terhenti: pekerjaannya pun lenyap. Tetapi hobinya untuk menikmati hiburan malam tak pernah lenyap.

Persis seperti ratusan eksekutif ibukota yang saat itu terkena PHK. Meski nilai pesangonnya besar-besar, mereka tetap memakai dasi di pagi hari dan meminta sopirnya membawa dirinya ke “kantor” (yang bukan tempat kerjanya), mengunjungi teman, menghibur diri dari satu kafe ke kafe lainnya.

Didorong rasa kasihan, saya pernah memberikan orang-orang ini pekerjaan, tetapi banyak yang tidak tahan bertarung melawan kesulitan pada tahap entrepreneurial, dengan pegawai yang belum berpengalaman, apalagi gajinya tak besar.

Jodi menjalani zona nyaman itu dengan penuh kepura-puraan (bahwa everything’s gonna be OKAY) selama 5 tahun sampai semua teman-temannya sudah tak mau membantu lagi. Dia masih ingat nasehat saya ketika menerima buku Change. “Sebelum rasa sakitmu melebihi rasa takutmu, kau belum akan berubah.”

Maka sahabat-sahabatnya pun menjauhi demi menyakiti dirinya. Ketika itulah, pemain band yang mempunyai suara rock dan jagoan sepakbola ini pun pergi ke Cibadak, menempati sepetak tanah milik orangtuanya yang lama tak diurus. Di situ ia memulai hidup baru menjadi pengepul manggis.

Waktu ia menelepon dari lokasi persembunyiannya, saya merasa ia belum berubah. Ia meyakinkan saya tentang hidup barunya. Kami abaikan. Sampai suatu ketika saya ada urusan di Sukabumi dan meluangkan waktu mengunjunginya.

Pinggang saya hampir copot rasanya. Jalan rusak berkilo-kilo meter saya tempuh untuk menemuinya. Kemarin, tukang kebun yang mau saya tempatkan untuk mengurus kebun manggis milik Rumah Perubahan di sana saja terlihat ketakutan dan minta agar tak ditempatkan di sana. Di gubuk sederhana, Jodi tinggal bersama para tukang kebun.

Di kampung itu ia dipanggil opa, dan sejak opa ikut berbisnis manggis, petani-petani mulai bisa membangun rumah karena ia tak memainkan harga seperti para tengkulak.

Waktu pulang saya dioleh-olehi dua peti manggis yang waktu saya baca di Google, ternyata disebutkan kampung itu terkenal sebagai penghasil manggis ter-enak di seluruh Indonesia.

Zona Belajar
Kalau manusia gigih untuk keluar dari zona nyamannya, maka ia tidak otomatis akan sukses. Selama 6 tahun lebih, Jodi bergelut dalam zona baru yang saya sebut sebagai zona belajar (learning zone). Ia benar-benar jungkir balik, berkeringat, dan bersepeda motor melewati jalan-jalan berlumpur yang licin.

Di situ ia belajar hidup efisien, berbagi perasaan dengan orang desa, mempelajari perilaku petani dan eksportir. Dari biasa mengeluh kini rumahnya mulai didatangi kalangan berdasi yang sebentar lagi akan pensiun.

Mereka semua adalah rekan-rekan kerja Jodi yang “berhasil selamat” dari krisis moneter tahun 1998, tetap hidup dalam zona nyaman, namun kini justru merasa hidupnya penuh ancaman. Makanya dalam tulisan yang lalu saya katakan zona nyaman itu cuma sebuah ilusi. Ia malah justru tidak aman dan samasekali tidak nyaman. (baca: Keluar dari Zona Nyaman )

Setahun yang lalu ia memulai usaha penggergajian kayu dengan satu mesin menyusul banyaknya orang yang menanam sengon. Kemarin, saya lihat mesinnya sudah empat buah, ditambah mesin-mesin canggih lainnya.

Asetnya sudah di atas Rp 2 miliar lebih. Bulan depan ia akan mengambil alih bangunan pabrik milik nasabah sebuah bank. Rumah Perubahan berencana memindahkan lokasi pembuatan alat-alat permainan edukatif ke lokasi ini. Jodi membuka lapangan kerja bagi 200an orang karyawan unskill yang masih prasejahtera.

Dengan menjelajahi zona belajar, Jodi bukan memperdalam kompetensinya. Ia mengeksplorasi kapabilitas baru. Apa bedanya dengan Fuji yang mengekspansi kapabilitasnya dalam dunia digital, atau Modern Group yang mengekspansi kapabilitasnya ke dalam dunia retail? Sementara mereka yang tak belajar lagi, apa bedanya dengan Kodak dan Nokia?

Renungan bagi kaum muda
Dari Jodi, kita belajar bagaimana manusia keluar dari zona nyaman. Padahal di banyak kantor-kantor di Jakarta saya sering bertemu dengan para owner dan CEO perusahaan yang mengeluh bagaimana menangani pegawai-pegawainya yang terbelenggu dalam zona nyaman.

Tentu bukan maksudnya agar mereka berhenti atau di pensiun-dinikan, melainkan bagaimana agar mereka mau belajar tentang cara-cara baru dalam bekerja, menjadi manusia yang selalu produktif, ngeh terhadap perubahan, dan tetap dinamis.

Masalahnya, kompetisi menghadapi MEA ini semakin keras. Bukan dari pendatang-pendatang dari negeri seberang, melainkan dari sesama pemain-pemain lokal yang semakin kreatif.

Sejalan dengan itu tekanan pada sisi cost structure di sini makin terasa. Depresiasi rupiah, kongesti di pelabuhan, kenaikan biaya upah dan harga BBM, semuanya sungguh menekan.

Sementara itu, melewati usia 33, semua eksekutif mulai ingin menikmati hidup enak, mulai banyak minta cuti, dengan biaya entertainment dan asuransi kesehatan yang makin mahal.

Menurut hemat saya, para pegawai pun harus belajar menangani perasaan-perasaannya, juga menjadi lebih adaptif dalam mempelajari masa depan. Kami di Rumah Perubahan sudah setahun ini aktif diminta banyak kementerian, BUMN dan perusahaan swasta untuk melatih para karyawan agar terlatih keluar dari zona nyaman.

Akhirnya perlu saya sampaikan bahwa berselancar dalam Zona belajar itu meletihkan, kadang itu memang pahit. Anda juga boleh bilang hidup dalam kepahitan ini unethical. Boleh saja. But this your life, your family life, and remember those you love.

Kalau kita mau hidup enak, ya kita harus belajar terus, tak boleh ada tamatnya, meski tak ada ijazahnya. Artinya, ya kerja keras, kerja lebih gigih, lebih bertanggungjawab dan memberi lebih.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Keluar dari Zona Nyaman II Read More »

Optimalisasi dan Kesenjangan Ekonomi

Ada seorang ekonom muda dari Perancis yang tak terlalu terdengar namanya sebelumnya. Ia menulis buku tentang kesenjangan ekonomi setebal 700 halaman—lengkap dengan sejarah, referensi literatur, dan data yang sangat padat. Menariknya, buku yang sangat serius tersebut malah menjadi bestseller di mana-mana, bersaing dengan Fifty Shades of Grey.

Ekonom tersebut bukanlah Joseph Stiglitz, Paul Krugman, ataupun Robert Solow. Ekonom tersebut “hanyalah” seorang Thomas Piketty. Buku yang ditulisnya berjudul Capital in the Twenty-First Century. Argumen utama dari buku itu juga sangat sederhana: modal yang diinvestasikan dalam pasar saham dan real estate akan bertumbuh lebih cepat daripada pendapatan.

Walau demikian, argumen yang terlihat sederhana tersebut implikasinya panjang. Kemakmuran akan bertumbuh lebih cepat daripada ekspansi yang terjadi dalam sistem perekonomian. Mereka yang “kapitalis” akan cepat melipatgandakan kekayaan mereka, sedangkan mereka yang berpenghasilan rendah dan “tidak kapitalis” menjadi kelompok yang paling dirugikan. Tak pelak, kesenjangan ekonomi (inequality) menjadi makin lebar.

Menggunakan bahasa yang lebih gamblang, setidaknya ada dua hal yang bisa ditarik lebih dalam lagi. Pertama: Anda tidak akan pernah kaya kalau hanya mengandalkan uang hasil pendapatan atau pekerjaan semata. Kedua: Untuk mempunyai modal yang bisa diinvestasikan, Anda harus punya uang terlebih dahulu. Kedua hal tersebut adalah “hukum alam” yang mutlak berlaku dalam dunia kapitalis kita sekarang ini.

Dalam konteks suatu negara, kesenjangan ini dapat diatasi dengan mekanisme redistribusi. Misalnya, pajak tinggi dikenakan kepada orang-orang kaya, sementara subsidi dan insentif diberikan kepada orang-orang yang kurang mampu. Solusi lainnya dapat juga dilakukan dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan agar orang-orang yang kurang mampu bisa menjadi lebih produktif hingga terangkat derajatnya. Ya kira-kira kurang lebih seperti itulah.

Tapi dalam konteks individu atau rumah tangga, terlihat jelas bahwa sebenarnya yang perlu dilakukan untuk bisa hidup sejahtera adalah spending much less than you earn, then invest it. Kuncinya adalah fokus pada happiness, bukan pada image dan convenience. Mengendarai mobil memang keren dan nyaman, tapi sesekali naik angkutan umum juga tidak berdosa. Makan di restoran mewah lalu diunggah di media sosial mungkin terlihat cool, tapi memasak di rumah juga menyenangkan.

Maka celakalah kalau kita tidak punya modal (investasi) sementara penghasilan (income) dari pekerjaan pas-pasan. Dan makin celaka lagi kalau dalam kondisi begitu, kita masih saja mementingkan image dan convenience, bukannya hidup frugal dan bekerja keras. Dan makin tambah celaka lagi kalau yang kita lakukan cuma sibuk hura-hura dan update status di media sosial.

Pada akhirnya, semakin sedikit biaya yang diperlukan untuk me-maintain standar hidup kita, maka semakin lama pula kita bisa bertahan hidup tanpa membutuhkan income tambahan. Ini bukanlah anjuran untuk hidup miskin. Sebaliknya, ini adalah tentang optimalisasi. Once you find what works, you can remove everything else.

Appreciate the little things around us. Learn to mock convenience. Practice optimalism.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Optimalisasi dan Kesenjangan Ekonomi Read More »

Melawan Lupa!

Satu bulan setelah mengikuti sebuah training, berapa persen dari materi training yang masih anda ingat? Tiga bulan setelah training, berapa persen materi training yang masih Anda ingat? Kami berani bertaruh, bahwa setiap peserta training, seiring waktu berjalan, semakin melupakan materi pelajaran dalam training yang telah diajarkan kepadanya.

Inilah sebabnya, banyak perusahaan training provider yang menyarankan untuk mengikuti kembali sebuah topik training secara berkala. Sebagai refreshment training. Untuk menyegarkan ingatan kita akan materi yang telah kita pelajari.

Sebagai peserta, tentu kita sangat mengapresiasi saran tersebut. Tapi, berapa banyak peserta training yang benar-benar melaksanakan saran tersebut? Hampir tidak ada. Terlebih bila kepesertaanya dibayari oleh perusahaan.

Kenapa bisa begitu?

Pertama, karena para alumni training tak mau repot lagi menyesuaikan jadwal kerjanya dengan jadwal public training. Kedua, alumni tak mau repot minta ijin atasan, hrd, atau person in charge lain yang menangani urusan training (dan belum tentu pula di ijinkan).

Sedangkan yang ketiga (ini yang paling penting), alumni enggan membayar lagi. Biaya mengikuti training sungguh tidaklah murah. Sekarang, biaya public training di Jakarta, dengan durasi 2 hari, telah mencapai harga Rp 3,75 juta / orang.

Problem seperti inilah yang membuat kami menciptakan Integra eTraining. Layanan training online yang pertama di Indonesia.

Setiap member yang mengikuti sebuah pelajaran eTraining, memiliki waktu aktif selama 2 tahun dalam pelajaran tersebut. Sehingga, dalam jangka waktu tersebut, Anda bebas “memutar” kembali pelajaran yang telah dijalani.

Contohnya begini :

Tanggal 10 oktober 2014, Anda membeli eTraining berjudul “Change Management“. Setelah melakukan pembayaran, maka Anda pun mulai mengikuti pelajarannya. Salah satu pembahasan dalam eTraining ini adalah metode dan tahapan untuk mengidentifikasi key player dalam organisasi.

Setiap pelajaran eTraining tersebut memiliki masa aktif 2 tahun. Jadi, bila Anda melakukan pembelian tanggal 10 Oktober 2014, maka pelajaran tersebut akan kadaluarsa (tidak aktif) tanggal 10 oktober 2016.

Singkat cerita, karena Anda sangat rajin, ulet, dan tekun, maka Anda berhasil menyelesaikan seluruh rangkaian pelajaran “Change Management” pada tanggal 12 Oktober 2014.

Ternyata 3 bulan kemudian, Anda mendapat tugas untuk mengidentifikasi para key player dalam organisasi. Untuk melakukan identifikasi ini, diperlukan metode dan tahapan tertentu. Sayangnya, meski sudah dibahas dalam eTraining, Anda lupa detail tiap tahapannya.

Supaya bisa ingat, Anda hanya perlu login lalu “memutar” kembali topik pelajaran yang Anda inginkan. Tidak perlu membayar hanya untuk me-refresh ingatan Anda. Bahkan selama masih berada pada masa aktif, Anda bisa “memutar” kembali topik pelajaran tersebut kapan pun Anda mau.

Dengan eTraining, maka kita tak perlu khawatir lupa akan materi yang telah dipelajari. Karena kita bisa mengaksesnya sewaktu-waktu.

Enaknya lagi, kita tak perlu mengajukan ijin, mengatur jadwal, atau bahkan membayar biaya tertentu, hanya untuk mempertahankan sebuah pengetahuan dalam ingatan kita.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Melawan Lupa! Read More »

Masih Pesimis?

Awal 2014 kami mengadakan survey kecil-kecilan di Linkedin, sebuah situs jejaring sosial yang diperuntukkan bagi para profesional. Inti dari survey tersebut sangat sederhana, kami ingin tahu pendapat para member di Linkedin mengenai masa depan metode pembelajaran secara online di Indonesia dalam 5 tahun mendatang. Apakah akan menjadi massive? Ataukah hanya jalan di tempat, tanpa prospek yang cerah?

Sekitar 42% dari para responden tersebut mengatakan bahwa pembelajaran secara online, tak akan memiliki prospek cerah. Banyak alasan yang diungkapkan, mulai dari koneksi internet yang lambat, hingga mentalitas bangsa kita yang belum siap untuk melakukan pembelajaran secara mandiri.

Menariknya, 83% dari 42% responden tersebut, berada pada rentang usia 50 tahun keatas.

Sedangkan mereka yang optimis terhadap pembelajaran secara online (sebanyak 58%), didominasi oleh responden dengan rentang usia 20-30 tahun (49%) dan 30-40 tahun (26%).

Cukup mengenai survey, kami yakin Anda bisa menyimpulkan sendiri hasil survey tersebut. Sekarang kita lihat situasi saat ini (1 Oktober 2014) mengenai pembelajaran secara online.

Belum setahun sejak survey tersebut kami lakukan, telah ada setidaknya 4 penyedia layanan pembelajaran secara online yang beroperasi di Indonesia (sebenarnya ada 5, bila kami juga dihitung). Ke empat provider tersebut beroperasi pada ceruk pasar yang berbeda-beda.

Ada kelaskita.com, yang membuat pembelajaran online dari siapa saja, oleh siapa saja, dengan topik apa saja. Mulai dari belajar supaya bisa lulus ujian SIM A, hingga belajar bahasa Inggris.

Kemudian, ada utakatikotak.com yang menyediakan sarana berbagi pengetahuan antar membernya, dengan metode tanya jawab.

Lalu, ada juga wikasa.com, sebuah situs pembelajaran online yang berpusat di singapura. Direncanakan untuk menjadi sarana pembelajaran bagi para mahasiswa. Harapannya, nanti para mahasiswa yang menjadi member, bisa mengakses kursus dari berbagai universitas terkemuka di dunia, seperti Yale, MIT, Tufts, Oxford, atau UC Berkeley.

Yang terakhir, ada quipperschool.com sebuah situs pembelajaran online dari Inggris. Baru beberapa bulan mereka beroperasi di Indonesia. Format platformnya bisa dibilang cukup menyerupai www.etraining.space yang kami miliki. Bedanya, mereka menyasar guru dan siswa SMA. Sedangkan kami, berfokus melayani para pekerja dan profesional. Telah puluhan sekolah dan ribuan siswa SMA di Indonesia yang menggunakan layanan mereka tiap harinya. Mungkin, anak Anda juga termasuk salah satu diantaranya.

Jadi, secara garis besar, sudah ada quipperschool.com (Inggris) yang melayani tingkat SMA, ada wikasa.com (Singapore) yang melayani tingkat mahasiswa, dan kami Integra eTraining (Indonesia) yang melayani pekerja dan profesional.

Sekarang, kita lihat kembali ke hasil survey. Menurut Anda, apakah hasil survey tersebut tetap valid? Kami yakin tidak.

Kami yakin, bila 42% responden yang pesimis tersebut mengetahui informasi diatas, mengetahui bagaimana terbukanya adaptasi masyarakat kita terhadap pembelajaran secara online, mengetahui bagaimana cepatnya perubahan platform dalam pembelajaran online, maka mereka pasti akan mengubah opininya.

Sekarang, bagaimana opini Anda? Masih pesimis? Kami harap tidak, karena mereka yang tidak mampu merangkul perubahan, pasti akan tergilas oleh perubahan.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Masih Pesimis? Read More »

Visual Management

Visual Management adalah manajemen untuk membuat segala sesuatu di tempat kerja kita menjadi jelas. Dengan Visual management, kita hanya perlu berjalan ke area kerja dan hanya dengan melihat sekilas, akan diketahui apakah semuanya sudah bekerja sebagaimana mestinya ataukah tidak.

Dengan visual management pula, tidak ada kebutuhan untuk bertanya secara detail mengenai catatan maupun grafik yang (seringkali tampak rumit dan banyak), atau berbicara dengan supervisor ataupun manajer (yang biasanya saling tunjuk hidung ketika ditanya pertanyaan sederhana).

Visual Management membuat kita mampu mengetahui kesehatan bisnis kita dalam sekejap.

Teknik lean manufacturing berdasarkan Toyota management System berlandaskan (dan sangat membutuhkan) Visual Management untuk mencegah adanya waste (pemborosan). Seluruh tingkatan manajemen dan semua yang terlibat dalam proses produksi tidak perlu membuang waktu mereka untuk mencari tahu apa yang terjadi.

Jika informasi mengenai keadaan produksi, pencapaian jadwal, kualitas, maintenance, standar kerja, dll tidak terlihat dengan mudah dan jelas, maka yakinlah bahwa Lean process di perusahaan Anda masih belum tercapai. Dalam arti lain, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mengimplementasikan Lean process tersebut. Serta masih banyak waste yang terjadi di tempat kerja Anda.

Banyak tools lean manufacturing yang membutuhkan implementasi Visual Management. Untuk mudahnya, sebut saja 5S dan TPM yang berdasarkan paradigma “membuat tempat kerja disekitar kita sangat visual”.

Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun sering kita jumpai penerapan Visual Management. Rambu-rambu lalu lintas adalah contoh yang paling sederhana. Namun dalam artikel kali ini, kami akan membahas Visual management pada organisasi bisnis, khususnya industri manufaktur.

Contoh Visual Management

Dibawah ini beberapa contoh dari Visual Management yang harus terlihat dalam setiap aspek bisnis yang telah menerapkan Lean Management.

Contoh-contoh dibawah ini juga dapat dipergunakan sebagai panduan sederhana atau bisa juga diadopsi dalam lembar audit sederhana untuk mengontrol serta memantau kesehatan organisasi berdasarkan prinsip-prinsip Lean management.

  • Visual Management untuk Aliran Produksi

Yang paling mudah terlihat dalam arus produksi adalah Floor Markings (penandaan pada lantai) yang jelas untuk menunjukkan lokasi produk dan secara spesifik membagi lokasi secara jelas untuk semua komponen dalam tiap work cell.

Dengan cara ini, maka akan mudah terlihat bila ada persediaan, work-in-process (WIP), dsb yang mengalami kelebihan produksi ataupun terjadinya breakdown, hingga adanya bottle neck. Demikian juga bila ada WIP yang terletak di tempat yang tidak semestinya atau diletakkan di tempat tanpa Floor Markings. Hal tersebut sudah menunjukkan adanya pemborosan (waste) berupa ruang kosong yang tidak termanfaatkan.

Selain itu, kartu Kanban juga harus jelas dan mudah dipahami seperti halnya floor markings diatas. Jadwal produksi dan pencapaiannya juga harus ditampilkan dalam area kerja. Sehingga dengan mudah diketahui apa yang harus dikerjakan, dan sampai tahap apa pengerjaannya. Umumnya digunakan papan penjadwalan sederhana yang mudah dimengerti.

Hindari menggunakan cetakan komputer yang terlalu rumit.

  • Visual Management untuk Continuous Improvement dan Problem Solving

Visual Management juga bisa dipergunakan untuk memantau Kaizen / Continuous Improvement yang sedang dilakukan.

Umumnya dipergunakan grafik untuk menunjukkan pencapaian kualitas, defect, reject, maupun re-work level untuk setiap work cell. Grafik tersebut harus ditampilkan dengan jelas dan selalu diperbarui (up to date).

Lembar problem solving berukuran A3 juga harus ada pada area kerja atau ruangan team. Bisa juga menggunakan bentuk lain, semisal whiteboard, flipchart, dsb yang berfungsi untuk menunjukkan bahwa ada action/tindakan yang diambil terkait persoalan yang dihadapi, jadi worksheet tersebut bukan hanya untuk merekam data dan grafik. Kami sarankan untuk setidaknya ada flip chart (worksheet) yang tersedia di setiap area team untuk merekam persoalan yang muncul dan sekaligus sebagai pencatat saran untuk improvement.

Tak kalah pentingya adalah adanya Standar Visual yang harus tersedia di tempat kerja. Standar tersebut haruslah jelas dan selalu up to date.

  • Visual management untuk Komunikasi antar level jabatan

Daily Management Boards harus terus terupdate, ini adalah papan yang biasanya menunjukkan hasil produksi (output), kinerja kualitas dan data lainnya yang dicatat oleh pemimpin work cell (Mandor, Foreman, Supervisor, dsb yang selevel) diperbarui tiap jam (tergantung pada jenis industrinya).

Dengan cara seperti ini, maka akan diketahui secara persis apa yang terjadi di tiap work cell. Dalam papan tersebut juga ditampilkan langkah-langkah pekerjaan dan grafik untuk kualitas, OEE, performance, dll secara up to date dalam tiap wilayah kerja team.

Jangan lupa untuk selalu mencantumkan tindakan yang diambil untuk memenuhi target maupun untuk mengatasi persoalan pada papan tersebut.

Kebijakan dan tujuan perusahaan juga ditampilkan sehingga akan mudah dipahami oleh orang-orang dalam perusahaan. Hal ini akan sangat membantu karyawan untuk mengetahui bahwa apa yang mereka kerjakan telah sesuai dengan kebijakan perusahaan.

Briefing perusahaan juga harus ditampilkan dan di update sehingga akan dipahami oleh setiap orang. Selain briefing perusahaan, catatan kehadiran saat pertemuan briefing juga ikut ditampilkan. Hal ini tentu saja untuk menjamin bahwa semua yang hadir pada briefing tersebut telah mengetahui secara detail tugas dan rencana yang akan dilaksanakan.

  • Visual Management untuk Personel (karyawan)

Training Boards digunakan untuk menunjukkan siapa saja yang telah mengikuti training dan training dalam disiplin ilmu apa yang sesuai untuk area kerjanya. Lean Manufacturing pada umumnya memerlukan training lintas personil, sehingga diharapkan ada fleksibilitas dalam penggunaan staff. Dengan kata lain, supervisor maintenance tidak hanya boleh mengikuti training terkait maintenance, namun juga bisa mengikuti training tentang PPIC misalnya.

Cara paling mudah dan sederhana untuk menyusun Training Boards, adalah menggunakan ILUO Chart (disebut juga Training Matrix atau Training Charts). Penggunaan ILUO Charts mampu dengan cepat menunjukkan tingkat keahlian dari semua karyawan. Selain merinci keahlian semua orang, Training Boards ini juga merinci tanggung jawab mereka di area tertentu.

Team Boards juga perlu untuk diletakkan di area kerja masing-masing team. Team Boards ini sama dengan Training Boards, hanya saja isinya lebih spesifik pada personel team tertentu di area kerja tertentu. Dengan adanya team boards ini, Ketua Team akan lebih mudah memantau serta mereferensikan anggota teamnya untuk mengikuti training yang dibutuhkan.

Selain itu, perlu digunakan juga kode warna pada kaos / topi / jaket untuk membedakan jenis pekerja di tiap area kerja. Sehingga Anda tahu siapa yang sedang berada di area apa, dan apa pekerjaan mereka. Kami sarankan menggunakan kaos daripada topi, karena topi seringkali dilepas oleh karyawan saat bekerja. Kami sarankan memakai warna yang berbeda, serta mencolok, dan berukuran besar. Hindari menggunakan badge seperti kapten tim sepak bola, karena terlalu kecil ukurannya sehingga sulit dilihat dari kejauhan.

Sedangkan Story Boards digunakan untuk menunjukkan setiap progress yang dilakukan oleh tim kaizen atau 5S untuk menyoroti setiap persoalan yang muncul dan persoalan yang sedang ditangani pada tiap area. Sesuai namanya, story boards akan menceritakan detail setiap proses yang sedang dilakukan di suatu area tertentu. Apakah persoalan tersebut sudah diselesaikan, belum tuntas, atau malah semakin bertambah parah. Semuanya terangkum dalam story boards.

Jangan lupa untuk memberikan perhargaan (medali, sertifikat, piagam, dsb) untuk merayakan setiap keberhasilan tim maupun individu di area kerja tertentu. Pampang keberhasilan mereka sehingga bisa dilihat dan diketahui semua orang. Buat siapapun yang mendapatkan penghargaan tersebut benar-benar bangga. Transparansi penilaian juga harus ikut diperhatikan, dan pastikan juga informasi mengenai hal tersebut selalu terupdate secara regular. Contoh pemberian penghargaan adalah “karyawan teladan bulan ini”, “sales dengan revenue terbanyak”, “team operator paling produktif”, dsb.

  • Visual Management untuk Maintenance

Tentu kita semua tahu, bahwa wajib (harus) ada catatan pemeliharaan (maintenance records) untuk setiap mesin atau proses. Maintenance Records tersebut juga sebaiknya berisi instruksi yang jelas untuk melakukan pemeliharaan yang merinci secara detail mengenai apa, kapan, siapa, dan bagaimana.

Perlu digunakan juga tag / label berwarna merah (sebenarnya untuk warna terserah saja, namun kebanyakan menggunakan merah yang identik dengan bahaya). Tag ini digunakan untuk menyoroti persoalan mesin yang membutuhkan perhatian lebih dari pihak maintenance. Tag berwarna merah ini harus digantung atau ditempelkan atau disegelkan pada mesin maupun papan tag yang disediakan khusus di area kerja team.

Kebanyakan manufaktur hanya menggantungkan tag pada mesin saja, namun tidak memberikan papan khusus untuk menginformasikan adanya tag pada mesin tersebut pada rekan/anggota team lainnya. Tag ini, selain sangat berguna bagi team maintenance, juga dapat digunakan oleh team safety.

Selanjutnya, bila memungkinkan dapat digunakan pelindung mesin yang transparan. Hal ini untuk memantau secara visual kinerja mesin. Dengan cara ini maka kita akan tahu, apakah mesin berjalan dengan lancar ataukah tidak.

Jangan lupa juga untuk membuat papan khusus berisi OEE Charts plus faktor-faktor kontributornya, Fishbone Diagram untuk menunjukkan penyebab potensial, serta Action Charts untuk menunjukkan tindakan apa yang diambil. Khusus untuk action charts, letakkan bersebelahan dengan grafik Changeover Time dan instruksi untuk melakukan changeover secara detail.

Hal ini penting sehingga team maintenance maupun team produksi dapat sama-sama mengetahui waktu yang terbuang untuk pemeliharaan maupun changeover.

Team maintenance dan team produksi dapat juga menggunakan lampu Andon untuk menunjukkan adanya kerusakan atau berhentinya suatu line. Sebagai informasi, Toyota juga menggunakan musik (lagu) yang khusus digunakan untuk setiap mesin.

  • Visual Management untuk Kepuasan Pelanggan (customer satisfaction)

Banyak yang beranggapan bahwa customer satisfaction (kepuasan konsumen/pelanggan) hanya untuk dipergunakan oleh Departemen Marketing maupun Public Relations. Padahal informasi customer satisfaction juga sangatlah penting bagi mereka yang berjibaku di lantai produksi untuk membuat produk terbaik. Bukankah sangat menyenangkan dan membanggakan bagi pembuat produk, bila produk yang dibuatnya diakui dan dihargai oleh penggunanya?

Oleh karena itu, haruslah ditampilkan juga ukuran dari customer satisfaction secara keseluruhan. Harus secara detail menampilkan kepuasan pelanggan pada tiap bidang, serta juga harus dapat dipahami oleh semua orang/karyawan. Customer satisfaction ini mencakup ukuran mengenai kualitas, ketepatan pengiriman, maupun biaya (bila dimungkinkan) dsb.

  • Lampu dan Papan Andon

Prinsip Jidoka (berhentinya lini produksi jika sesuatu yang luar biasa terjadi) dilaksanakan oleh Toyota dan perusahaan lain yang menggunakan prinsip Lean Manufacturing. Jidoka ini menggunakan Andon boards atau lampu Andon.

Lampu Andon ini sangat mudah terlihat dan digunakan untuk memberitahu semua orang tentang status dari mesin atau suatu proses. Lampu Andon dapat menjadi lampu individu yang dipasang pada setiap mesin atau dapat juga diletakkan pada central boards untuk menunjukkan kesehatan suatu area kerja.

Contoh dari Andon misalnya: Karena raw material tidak sesuai standard, maka mesin berhenti secara otomatis, atau lampu yang berkelip-kelip seperti sirene mobil ambulans (yang bisa juga disertai lagu tertentu, bosen kan kalau tiap hari mendengar sirine melulu. Hehehe.. ). Dengan adanya Andon ini, maka pengawas atau karyawan terkait akan segera datang untuk mengatasi setiap persoalan yang terjadi.

Jadi dengan adanya Andon, sesungguhnya tidak diperlukan pengisian formulir untuk meminta dilakukan perbaikan oleh departemen maintenance di ruangan sebelah. Dengan menggunakan Andon, maka tiap personel akan segera bergegas menuju setiap tempat yang memerlukannya, dan mengadakan perbaikan. Sehingga proses produksi dapat berjalan lancar sesegera mungkin.

Penutup

Merupakan hal yang sangat buruk untuk menerapkan visual management, jika karyawan tidak mampu berdisiplin dan datang ketika diperlukan. Sesering mungkin para engineer, supervisor dan bahkan manajemen haruslah ada di lokasi kerja. Bilamana perlu dapat dibuat layout dimana mereka (supervisor, engineer, dan manajemen) harus berjalan melalui area produksi untuk menuju ruangan kerjanya.

Hal ini penting, sehingga mereka dapat mengetahui setiap hal yang terjadi di lantai produksi. Banyak perusahaan yang memiliki budaya me-rolling lokasi meeting pada area kerja yang berbeda. Hal ini akan membuat manajemen dari berbagai departemen untuk berjalan dan mengetahui kondisi serta situasi di tiap area kerja yang dilaluinya.

Pertemuan semacam ini sangat penting untuk dilakukan tiap hari (atau tiap shift) secara berkesinambungan. Pertemuan ini merupakan cara yang baik untuk memastikan manajemen dan para karyawan berfokus serta peduli pada lingkungan kerjanya.

Bagi Anda yang ingin lebih memahami Visual Management, kami telah menyiapkan eTraining dengan judul “Visual Management based 5S“. Silahkan registrasi sebagai member, supaya bisa mengakses info lebih lanjut.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Visual Management Read More »

Menularkan Optimisme

Dalam berbagai literatur, atau bahkan dalam kelas-kelas motivasi, sangat sering diperdengarkan mengenai kekuatan pikiran. Terutama pikiran positif. Contohnya begini : Bila kita mendapatkan suatu tugas yang sangat sulit, kemudian kita berpikir bahwa kita bisa menyelesaikan tugas tersebut, maka akan jauh lebih besar kemungkinan kita untuk berhasil menyelesaikan tugas, daripada mereka yang berpikir bahwa mustahil untuk menyelesaikan tugas.

Orang yang berpikir positif, seringkali memposisikan sebuah tugas yang sulit menjadi sebuah tantangan.

Secara pribadi, saya juga menganut paradigma ini. Saya percaya, bahwa tidak ada masalah yang tidak bisa terpecahkan bila kita mau bekerja keras dan menggunakan mindset (pola pikir) yang positif. Pola pikir ini, seringkali dimanifestasikan dalam bentuk yel-yel seperti : Saya pasti bisa, yes I can, dan lain sebagainya.

Jika dipikir-pikir, pola pikir seperti ini sebenarnya membangkitkan rasa optimisme kita. Orang yang optimis, jauh lebih berhasil daripada orang yang pesimis. Sampai detik ini, tidak ada satu orang pun yang berpandangan sebaliknya.

Sebagai manusia, kita selalu membutuhkan alasan untuk bisa percaya atau yakin terhadap sesuatu. Bahkan kita juga butuh alasan untuk bisa yakin dengan pikiran kita sendiri. Oleh karenanya, tidak jarang pikiran kita menambahkan sebuah alasan penguat dibelakang yel-yel optimisme. Sehingga, pikiran kita kemudian mengatakan seperti ini “OK, saya pasti bisa. Apa sulitnya melakukan itu?”

Kata-kata seperti “Apa sulitnya melakukan itu?” bukanlah sebuah bentuk peremehan. Kata ini lebih kepada penegasan kepada diri sendiri. Sebuah penegasan, bahwa diri kita lebih besar, lebih kuat, lebih hebat dari masalah atau tugas yang sedang kita hadapi. Namun, apakah hal ini juga berlaku dalam konteks kerja secara berkelompok (teamwork)?

Ketika kita memimpin sebuah tim, kita harus menularkan rasa optimisme kita kepada seluruh anggota tim. Cara yang paling sering kita lakukan adalah dengan mengatakan kalimat optimisme kita kepada para anggota tim. Hal ini biasanya kita lakukan di akhir meeting, menutup meeting dengan “..kita pasti bisa melakukan tugas ini. Apa sulitnya melakukan ini?”. Kita berharap bahwa anggota tim akan ikut optimis dengan kata-kata optimisme yang kita miliki.

Namun, tanpa disadari, alasan penguat optimisme seseorang belum tentu sama dengan alasan penguat optimisme bagi orang lain. Pada contoh ini, alasan penguat seperti “apa sulitnya melakukan ini?” bisa dianggap meremehkan hasil kerja anggota tim. Meski anggota tim tersebut sadar, bahwa kita bermaksud baik dengan mengatakan hal tersebut.

Oleh karena itu, simpanlah kalimat optimisme kita, hanya untuk diri kita sendiri. Tak perlu dibagikan dengan orang lain.

Bila memang harus menularkan optimisme, gunakan alasan penguat optimisme yang mampu merangkul seluruh anggota tim dalam satu kesatuan yang sama. Misalnya “..kita pasti bisa. Bukankah kita perusahaan terbesar di Indonesia?” atau bisa juga dengan kata-kata “..tim ini berisi orang-orang pilihan, kita pasti bisa menyelesaikan tugas ini.”


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Menularkan Optimisme Read More »

Syndrome “Bahasa Dewa”

Kisah ini terjadi saat saya masih berstatus mahasiswa. Waktu itu ada semacam “kuliah tamu” yang dilaksanakan di gedung rektorat ITS Surabaya lantai 2. Formatnya seminar-dialog dengan 2 narasumber yang berlatar belakang dunia hukum.

Agak aneh memang, kuliah tamu di kampus yang identik dengan teknologi menghadirkan ahli hukum sebagai narasumber. Tapi biarlah, lha wong tujuan pertama saya ikut kuliah umum, karena di utus sebagai perwakilan organisasi mahasiswa.

Sedangkan tujuan utama-nya adalah, karena setelah acara berakhir, peserta mendapatkan makan prasmanan. Sebagai salah satu mahasiswa berkantong cekak, ini adalah kesempatan emas yang tak boleh disia-siakan.

Terus terang, saya lupa nama kedua narasumber tersebut. Namun saya masih ingat bahwa salah seorang diantaranya merupakan mantan anggota dewan yang telah menjabat selama 2 periode.

Sedangkan satunya lagi adalah calon ketua MA. Setidaknya isu-nya begitu, mengingat kedekatannya dengan “pemilik” parpol berlogo “moncong putih”. (Sekarang beliau jadi menteri di kabinet kerja Jokowi)

Acara tersebut di moderatori oleh Prof Daniel M. Rosyid. Salah satu pakar kelautan dan perkapalan terkemuka di Indonesia. Singkat cerita, dimulailah kuliah tamu tersebut dengan presentasi pertama oleh calon ketua MA.

Dari sekitar 30 menit waktu yang diberikan, sang calon ketua MA hanya menghabiskan setengahnya. Penjelasannya runtut, singkat, padat, dan jelas. Tak ada istilah hukum aneh-aneh yang terlontar dari mulutnya.

Peserta kuliah umum, yang kebanyakan adalah dosen dengan gelar berderet maupun aktivis mahasiswa (yang kuliahnya tidak kunjung lulus), nampak manggut-manggut. Pertanda mengerti isi presentasi.

Prof Daniel sebagai moderator pun memberikan kesempatan pada pembicara kedua, si mantan anggota dewan, untuk memulai presentasinya. Tak disangka, pembicara tersebut mengeluarkan berlembar-lembar naskah presentasi dari balik jas-nya. Ini pertanda buruk! Kalau presentasinya lama, makan siang saya bakal tertunda.

Namun yang terjadi justru lebih buruk lagi. Presentasinya banyak menggunakan istilah hukum yang tak umum. Ada juga kutipan dalam bahasa inggris dan belanda. Yang lebih parah, tata bahasanya itu lho. Rumit bin njelimet. Mirip teks terjemahan hasil Google Translate!

Nampaknya pembicara satu ini ingin menunjukkan keahlian dan kepakarannya. Atau mungkin juga ingin memberitahu kami, bahwa ilmu yang dimilikinya itu sangat sulit dipelajari. Atau jangan-jangan, dia memang tidak mampu menjelaskan secara sederhana?

Saya menyebut hal ini sebagai syndrome “bahasa dewa”. Dimana gejala utamanya berupa penyampaian informasi secara rumit dan bertele-tele untuk menunjukkan kepintaran atau menyembunyikan ketidak-mengertian.

Prof Daniel, sebagai moderator, tetap mendengarkan presentasi tersebut dengan seksama. Namun, saya lihat dahinya semakin lama semakin berkerut. Hingga akhirnya beliau pun tidak tahan, lalu nyelutuk “Pak, saya sama sekali tidak paham apa yang Anda bicarakan”.

Kejadian seperti ini bukan yang terakhir saya alami. Juga tidak hanya sekali-duakali. Sering sekali saya mendapatkan presentasi atau penjelasan yang menggunakan “bahasa dewa” seperti ini.

Menariknya, mayoritas pengguna “bahasa dewa” yang saya temui, bukan berasal dari golongan berpendidikan rendah. Mereka yang memiliki titel berderet justru lebih sering terpergok menggunakannya. Entah mengapa..?

Padahal, Albert Einstein, yang konon disebut sebagai manusia paling pintar se-jagad pernah berkata: “If you can’t explain it simply, you don’t understand it well enough” (jika Anda tidak mampu menjelaskannya secara sederhana, maka Anda masih belum memahaminya).


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Syndrome “Bahasa Dewa” Read More »

Hubungan Iron Man dan 5S

Swiss, perayaan tahun baru 1999. Saat itu, Tony Stark masih belum menjelma menjadi Iron Man. Ketika beranjak pulang dari perayaan, bertemulah dia dengan Aldrich Killian, seorang pendiri lembaga riset bernama AIM. Spontan, Aldrich menawari Tony untuk ikut bergabung dalam tim risetnya.

Namun, apa mau dikata, Tony sama sekali tak tertarik dengan tawaran Aldrich. Alih-alih menolaknya secara gentle. Tony justru menyuruh Aldrich menunggu di atas gedung untuk membahas penawaran tersebut.

“Tunggu aku di atas gedung, 5 menit lagi aku kesana menemuimu.” ucap Tony. Aldrich menurut, dan menunggu di atas gedung. 1 jam, 2 jam, hingga pergantian tahun terlewati, namun batang hidung Tony tak nampak juga. Aldrich kecewa.

Kekecewaan yang mungkin pernah (atau malah sering) dirasakan juga oleh rekan-rekan yang berprofesi sebagai Sales. Jenis kekecewaan yang mungkin pernah juga Anda rasakan. Kekecewaan yang seringkali dianggap “sepele” serta sering kita temui di cerita hidup sehari-hari.

Namun, bertahun-tahun kemudian, justru hal “sepele” itulah sumber malapetaka bagi Tony Stark. Bahkan dalam film ini, dikisahkan pula berbagai surat kabar memuat headline: IRON MAN DIED!

IRON MAN MATI! Mati karena bertempur melawan musuhnya! Bertempur melawan The Mandarin! Teroris kelas wahid yang mengancam kedamaian dunia.

Sama halnya dengan kisah Tony Stark alias Iron Man. Petaka yang terjadi di berbagai perusahaan, seringkali justu disebabkan oleh hal-hal sepele (atau dianggap sepele).

Di Jepang, pernah dilakukan penarikan produk secara massal, karena ditemukan bungkus sisa makanan di dalam kemasan produk perusahaan tersebut. Karuan saja, hal ini membuat Direktur Utama mencak-mencak. Para eksekutif senior lah yang pertama kali kena damprat. Dan sudah pasti, dampratan selanjutnya ditujukan pada level dibawahnya. Belum lagi, dibutuhkan biaya yang tak sedikit untuk mengatasi petaka tersebut.

Setelah ditelusuri, ternyata ujung pangkalnya disebabkan oleh obrolan bagian HRD yang tak sengaja terdengar oleh OB. Sebuah kalimat pendek yang diteruskan sambung-menyambung hingga menjadi isu intern kalangan operator packaging.

“Yang bagian packaging gak kita perpanjang.” Itulah sepenggal kalimat yang terdengar oleh si OB. Kalimat yang membuat salah seorang operator berani menyelipkan bungkus sisa makanan dalam kemasan produk perusahaan. Kalimat yang menjadi awal sebuah petaka.

Disadari atau tidak, Lean Manufacturing juga telah mengakomodir “ancaman-ancaman petaka” dari hal-hal sepele. Sebagai contoh, sebut saja 5S atau 5R.

Kurang “sepele” apa coba kegiatan 5S itu? Saking “sepele”-nya, hingga tak heran bila masih ada yang beranggapan bahwa 5S tak ubahnya kegiatan bersih-bersih atau kerja bakti yang di titahkan oleh Big Boss.

Padahal, 5S itulah pondasi dari berbagai improvement selanjutnya. Saking pentingnya 5S ini, bahkan JARVIS (robot asisten Tony Stark) pun menerapkan 5S di bengkel kerja Tony Stark.

Lihat saja betapa rapi dan tertatanya bengkel tersebut, sehingga mempermudah kerja Tony Stark mengotak-atik dan meng-improve baju zirahnya. Maka wajarlah bila kemudian Tony Stark mampu menciptakan berbagai macam versi zirah Iron Man. Tak lain dan tak bukan, karena 5S yang telah berjalan stabil.

Bayangkan bila JARVIS tidak menerapkan 5S. Bengkel berantakan, tools berserakan, dan oli berceceran.

Bisa-bisa dalam film ini, zirah-zirah Iron Man tak bisa diselesaikan karena Tony tak menemukan obeng dan kunci inggris. Atau bisa jadi, Tony terpeleset saat bekerja, lalu kepalanya terantuk meja. Esoknya, ditengah kepanikan atas aksi teror The Mandarin, surat kabar di seluruh dunia memuat headline:

IRON MAN MATI, TERPELESET OLI!

Inikah Akhir Dunia?

=)


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Hubungan Iron Man dan 5S Read More »

Transformasi Brutal a la Kodak

Ada yang masih ingat dengan Kodak? Bagi Anda yang lahir sebelum tahun 1990, pasti tahu dengan merek ini. Perusahaan fotografi ini merupakan salah satu yang terbesar dan paling menguntungkan di jamannya.

Pada abad ke 20, Kodak merupakan salah satu kekuatan utama dalam industri fotografi. Kesuksesannya dimulai dari meledaknya permintaan pasar untuk kamera Brownie di tahun 1900. Saat itu, kamera masih merupakan barang mewah. Namun Kodak, dengan kamera Brownie-nya menawarkan harga yang jauh lebih terjangkau. Lalu membuka gerai cuci-cetak dimana-mana.

Pada dekade berikutnya, posisi Kodak sudah jauh melampaui para pesaingnya. Mereka membuat slogan pemasaran “you push a button, we do the rest”. Untuk menunjukkan komitmen mereka, bahwa fotografi dapat digunakan oleh siapapun.

Namun, dunia selalu berubah. Teknologi digital saat ini sudah sedemikian majunya. Orang, saat ini tak perlu lagi melakukan cuci-cetak foto. Tinggal pencet tombol, lalu share di Facebook. Bahkan handphone saja, sudah lazim berkamera. Rasanya sudah tidak ada handphone keluaran terbaru yang tanpa dilengkapi kamera. Sudah lazim pula mengkoleksi foto keluarga, sahabat, atau bahkan tetangga di handphone yang kita tenteng sehari-hari.

Apakah Kodak tidak menyadari adanya pergeseran teknologi ini?

Kodak sangat sadar dengan pergeseran ini. Buktinya, di tahun 1975 mereka telah memiliki prototype kamera digital. Bayangkan, tahun 1975 sudah memiliki kamera digital! Akan tetapi, manajemen tidak melihat urgensi dari kamera digital.

Steve Sasson, salah seorang insinyur yang menangani kamera digital tersebut pernah mengungkapkan kepada New York Times di tahun 2008, bahwa saat itu manajemen Kodak menganggap temuannya sebagai sesuatu yang lucu. Lalu, berakhirlah pengembangan kamera digital tersebut.

Tahun 2001, saat dunia digital sudah mulai menampakkan taringnya, Kodak mengakuisisi situs berbagi foto, Ofoto. Mereka juga membuat produk kamera digital yang disebut EasyShare. Dinamakan demikian, karena pada kamera tersebut ada tombol untuk berbagi foto melalui internet. Namun, siapa yang butuh berbagi foto, bila foto tersebut tidak bisa dikomentari?

Padahal, antara tahun 1994-1999, saat Kodak masih dipimpin oleh George Fisher. R&D Kodak sudah membuat aplikasi berbagi foto melalui internet, dan bisa dikomentari. Mirip Facebook sekarang ini. Saat itu, para insinyur R&D menyebutnya sebagai Photo Chat. Bahkan, pada tahun tersebut, R&D Kodak sudah berhasil menggabungkan kamera kedalam handphone (bayangkan handphone sebesar batu bata dengan kamera di dalamnya). Namun, kita semua tahu bagaimana nasib prototype-prototype tersebut. Mati sebelum lahir.

Perjuangan Kodak dalam bertransformasi mengikuti perubahan teknologi menunjukkan, betapa brutal dan sulitnya bertransformasi secara tepat. Kodak sebenarnya telah mampu melihat arah perubahan yang terjadi. Namun, melihat saja tidak cukup.

Dibutuhkan keberanian untuk memulai perubahan, dan memasarkan produk baru. Meskipun saat itu, produk tersebut tidak nampak urgent. Dengan laba menggunung yang dahulu dimiliki Kodak, seharusnya cukup mudah bagi mereka untuk mendahului perubahan pasar dengan bertaruh pada beberapa produk temuan divisi R&D mereka. Namun toh, mereka tidak melakukannya.

Semoga kisah Kodak dan transformasi brutalnya jadi pengingat bagi kita semua untuk berani terjun dalam pusaran perubahan, sebelum pusaran itu terlalu besar dan melumat kita.


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Transformasi Brutal a la Kodak Read More »