Keluar dari Zona Nyaman III
Krisis ekonomi yang dahsyat di tahun 1998 telah berlalu satu generasi. Mungkin tidak banyak generasi baru yang mampu membayangkan betapa mengerikannya perubahan dan gejolak ekonomi politik kala itu. Mereka tahunya gadget, kartu kredit, liburan ke luar negeri, mall, AirAsia, dan sekolah sampai S-2. Tetapi tidak bagi sebagian generasi yang lain.
Hamid, teman kuliah saya dulu di FEUI, termasuk salah satunya. Ijazah dari FEUI yang sangat laku sebelum krismon tiba-tiba kehilangan daya ungkit dalam mencari pekerjaan. Kantor konsultannya yang dulu dibangun bersama ekonom terkemuka dari luar negeri kehilangan seluruh kliennya. Ribuan pegawai terkena PHK.
Dasinya kini tergantung kumal di depan lemari kayu. Minggu lalu sepulang dari acara pelantikan Sekda Banten atas undangan teman sebangku saya di SMP dulu, Rano Karno, saya memutuskan untuk mengunjungi daerah binaan Hamid di sekitar Banten. Ia menjemput saya di Pasar Baros, Serang.
Berkaus oblong, ditemani seorang eksportir ikan, kami lalu menuju bengkelnya yang tak jauh dari pasar itu. Di kaki gunung yang sejuk dan dikelilingi persawahan yang luas, saya menyaksikan hasil sebuah kerja keras, wujud dari upaya keluar dari zona nyamannya. Saya berharap refleksi ini hendaknya menjadi perhatian bagi para eksekutif muda.
Dua Dunia yang Berbeda
Keluar dari zona nyaman, ibarat berenang di lautan yang berbeda. Dari lautan tenang yang dihuni jutaan manusia, Hamid melipir, berenang dengan gaya yang berbeda mengarungi samudera luas. Dan ini butuh keahlian baru yang dalam bahasa bisnis disebut ekspansi kapabilitas. Dari kapabilitas seorang konsultan menjadi penebang kayu. Jangan salah, ia seorang pecinta alam.
Dari alam dia belajar tentang macam-macam jenis kayu. Ia menjadi tahu bahwa kayu yang bagus hanyalah yang batangnya sudah tua dan mati di pohon. Kelak pohon itu akan roboh. Lalu tunas-tunas muda bermunculan.
Hamid menjadi pemasok kayu-kayu langka dari pohon yang sudah mati dan tumbang. Maka, ia pun meninggalkan Jakarta, tinggal bersama orang-orang kampung. Begitu mendengar ada pohon tumbang, ia pun mendatanginya dan melakukan negosiasi. Lama-lama penduduk kampung jadi tahu siapa yang harus dihubungi.
Tak jarang, penduduk menawarkan pohon-pohon yang masih hidup karena butuh uang. Tetapi, Hamid pantang menebang pohon-pohon hidup itu, ia pun membayar pohon-pohon itu, dengan syarat tak boleh ditebang sebelum ajal menjemputnya. Ia jadi punya stok hidup di mana-mana. Sampai-sampai koleksinya menjadi rebutan para seniman kayu. Jangan heran, furnitur dari kayu tua miliknya dihargai jutaan dollar AS setelah diolah oleh desainer terkenal.
Lantas apa yang ia lakukan? Pohon-pohon berdiameter besar yang masih hidup itu ia biakkan. Ia lakukan berbagai teknik agar pohon bergenetika baik itu memberikan ribuan keturunan. Dari stek pucuk sampai kultur jaringan.
Maka, dalam pemasarannya ia selalu mengatakan: kalau Anda membeli meja kayu ukuran besar dari saya, ada ribuan pohon yang kembali kita tanam.
Hamid punya beragam kayu yang dipanen dari budidaya milik penduduk yang dijual kepadanya. Volumenya memang tidak masif, tetapi ia punya beragam jenis kayu dari kayu besi sampai sengon, dari kayu nangka tua hingga kayu sawo.
Waktu saya tengok workshop-nya, seorang pengusaha sedang memilih jenis-jenis kayu yang akan dipakai untuk galeri yang akan dibangun di daerah Jakarta Selatan. Saya tertegun menyaksikan kehebatannya menjelaskan karakter macam-macam jenis kayu. Saya sendiri mengoleksi beberapa meja ukuran besar. Salah satunya memiliki panjang 9 meter dengan lebar 1,5 meter. Bentuknya saya biarkan alami.
Memang kayu telah menjadi barang langka yang amat dilindungi. Kita tentu perlu menjaga kelestarian alam agar bumi ini tetap terjaga keseimbangannya. Maka, diperlukan pengusaha-pengusaha baru yang tahu cara menjaga keseimbangan itu.
Ekspansi Kapabilitas
Menjadi pengusaha adalah salah satunya. Namun, tentu tak semua orang bisa, mau melakukannya atau memiliki panggilan ke sana. Anda tentu tak harus menjadi pengusaha untuk keluar dari zona nyaman. Saya harus katakan, sebagai karyawan pun kita perlu terus-menerus melakukan ekspansi dari kapabilitas yang kita miliki.
Kalau Anda menjadi wartawan, kalau mau survive dalam karier, Anda pun perlu melakukan ekspansi keahlian dari wartawan seni dan gaya hidup menjadi reporter ekonomi, politik, atau olahraga. Dari sekadar membuat reportase dengan keahlian menembus narasumber dan melakukan investigasi, menjadi editor perumus kebijakan editorial, bahkan menjadi praktisi manajemen yang mengurus logistik dan keuangan. Dari wartawan harian ke wartawan online yang ritmenya berbeda dan seterusnya. Itulah yang saya namakan sebagai learning zone.
Demikian juga kalau Anda menjadi seorang insinyur. Industri yang dijelajahi perusahaan tempat Anda bekerja pun berevolusi. Dari sekadar usaha konstruksi menjadi EPC (Enginering Procurement dan Construction), bahkan belakangan banyak construction company yang berevolusi menjadi investment company. Kapabilitas Anda menjadi ujian Anda, sehingga Anda bisa terus berkarier di sana atau menjadi obsolete (usang) dan tersingkir.
Semua usaha dan industri berevolusi, tak ada lagi yang bertahan kalau mereka sekadar transit. SDM pun berevolusi. Bukan hanya hard skill-nya, melainkan juga life skill-nya. Dulu Anda melayani atasan, kini kita wajib memimpin 360 derajat.
Dulu sebagai dosen kita mengajar serba teori, kini harus lebih banyak memberikan ilmu dengan praktik. Dulu membaca saja cukup. Kini kita harus aktif melakukan ekplorasi. Dulu Anda bisa memimpin dengan perintah, kini dengan contoh. Dulu siapa yang mencuri bisa menjadi komandan asal dekat dengan penguasa, kini mereka terganjal.
Semua itu mengajarkan pada kita pentingnya melakukan ekspansi kapabilitas, yang artinya kita harus terlatih keluar-masuk dari zona nyaman. Kapabilitas itu menyangkut keterampilan, sikap, cara, sistem, dan pengetahuan.
Sahabat saya, Hamid, terlihat begitu agile (tangkas). Ia tak merasakan beban untuk keluar dari zona nyaman karena sejak kecil biasa hidup di lapangan, padahal tak sedikit dari teman kami yang kini hidup dalam beragam kesulitan atau kepura-puraan. Mereka menyangkal terhadap perubahan, bahkan mengutuknya dengan amat sinikal.
Ketika kita mendapatkan skill di usia muda, kita sering berpikir dan keahlian atau pengetahuan itu sudah final dan bisa kita bawa untuk memberi nafkah bagi hidup sampai pensiun. Padahal, keahlian dan pengetahuan itu berubah, berkembang terus, sementara fisik kita menua dan otot-otot mulai melemah. Kita tak akan bisa menggunakan kenyamanan itu sebagai SIM hidup selamanya. Maka, saya lebih senang menyebut pensiun dini sebagai karier kedua.
Jadi keahlian atau sekolah kita yang “tamat” itu bisa memerangkap kita. Itulah zona nyaman. Dan mukjizat tidak ada di zona itu.
By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.
DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI
Perbesar Peluang Karir dan Kerja
“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”