Renungan

Kutu Loncat

“Pengen bahas kutu loncat aja lama banget sih mbak…” Goda seseorang yang menunggu tulisan saya.

Saya tertawa. Iya, saya memang tidak mau bahas tentang hal ini secara sembarangan, tidak fair kalau saya hanya bahas dari satu sisi saja. Memang sih, paling enak bahas dari sisi kandidat, yang ngelike pasti banyak.

Tapi menurut saya, itu tidak mendidik, hanya membuat orang senang, tapi tidak membuat orang bertumbuh, tidak membantu orang untuk berubah menjadi lebih baik, tidak membantu orang mendapatkan pekerjaan yang seharusnya…

“Wait… rewind sedikit: … Tidak membantu orang mendapatkan pekerjaan yang seharusnya?

Berarti ada yang mendapatkan pekerjaan yang tidak seharusnya?”

Saya tersenyum. Ada! Banyak malah!

Kadang-kadang kita begitu cepat merombak CV kita, memodif performa kita sesuai dengan apa yang dituliskan oleh para influencer di LinkedIn, tanpa kita mengubah apa yang ada di dalam, yaitu diri kita sendiri.

Akibatnya apa? Kita cepat mendapat pekerjaan, tapi dalam hitungan bulan sudah tidak betah lagi, entah kitanya yang bosan, atau tekanannya yang terlalu tinggi, karena perusahaan overexpectation terhadap kita, sebagai akibat dari keberhasilan kita mempermak CV.

Kita lupa, bahwa tujuan akhir kita, bukanlah mendapat pekerjaan itu sendiri, tapi bagaimana kita dapat menghasilkan performa kerja yang prima, sehingga kita dapat memberi kontribusi yang tinggi.

“Ah buat apa kasih kontribusi tinggi mbak, dari perusahaan gajinya segitu-gitu aja”

Nah, inilah mindset yang harus kita ubah. Kita sering berpikir bahwa kita bekerja untuk mendapatkan gaji, sehingga jika kita merasa gaji kita cukup besar, maka kita mau berupaya cukup besar, sebaliknya jika kita merasa gaji kita kecil, kita maunya memberikan upaya yang kecil saja.

Kita lupa bahwa kerja itu adalah ibadah, suatu hal yang kita pertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jika performa kita baik, yang mendapat keuntungan paling besar bukanlah perusahaan, tapi diri kita sendiri. Jangan terkecoh dengan besarnya gaji, bonus atau hadiah jalan-jalan keluar negri.

Itu hanya Gimmick nya saja, yang utama adalah pengembangan diri sendiri, menjadi pribadi yang terbaik sebagaimana seharusnya kita menjadi.

“Bagaimana kalau di perusahaan itu, kita gak bisa berkembang? Gak bisa perform karena masalah internal perusahaan? Atasannya lah, HRDnya lah, Managementnya lah?”

Pertanyaannya: Sudah berapa lama kita berusaha berkembang di perusahaan itu? Setahun? Dua tahun? Jika baru dalam hitungan bulan kita sudah menyerah, berarti kita bukan seorang pembuat sejarah. But it’s okay, kemampuan orang kan beda-beda, saya tidak akan me-reject lamaran kandidat-kandidat yang seperti itu. Tapi saya juga tidak akan bisa merekomendasikan mereka ke perusahaan-perusahaan besar yang saya tahu, akan butuh ketekunan dan kekuatan besar untuk mendobraknya.

Ujungnya adalah kans. Apakah ada perusahaan yang mau meng-hire Kandidat yang sering pindah-pindah perusahaan? Ada! Banyak! Tapi umumnya mereka juga perusahaan yang turn over rate nya tinggi. Dan jumlah perusahaan yang seperti ini, tentu tidak sebanyak perusahaan yang enggan meng-hire kandidat yang sering pindah-pindah perusahaan.

Jika Anda ingin Kans Anda lebih tinggi, cobalah bertahan di perusahaan Anda, minimal 1-2 tahun. Push diri Anda melakukan yang lebih baik dari yang pernah Anda lakukan. Tidak mudah? Pasti!

Tapi pasti manis akhirnya. Jika Anda sudah punya perform experience yang mumpuni, sudah punya Legacy yang tercatat, jangan ragu untuk mengirimkan Update CV Anda kepada kami.

Have a Great Day Great People

Let’s Rock

By Milka Santoso – https://www.linkedin.com/in/milkasantoso


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Cita-cita memang bisa berubah-ubah

Waktu Eitel, anak Saya masih berumur 3-4 tahun, ia ingin jadi dokter, masih melekat di ingatan Saya jawaban nya ke setiap orang saat itu “Eitel nanti kalau sudah besar, mau jadi apa?” “Jadi Doktel” “Dokter Apa?” “Doktel Anyak!”

Waktu berlalu….

Di usia 5-6 tahun, ia berpindah ingin jadi Pramugari.

“Mah, nanti aku kalau sudah besar jadi Pramugari ya”

Lapornya pada suatu hari. Saya mengangkat alis. Lho kok berubah?

“Aku ngobrol sama sahabatku di sekolah, dia juga mau jadi Pramugari” Ceritanya.

Saya mengangguk-angguk. Ooooh.

Mulai tahun 2016 ini, Saya melepas pekerjaan tetap Saya sebagai karyawan, dan memulai profesi baru saya, sebagai seorang HR Konsultan. Bulan puasa yang lalu, di sebuah acara buka puasa bersama. Pak Andes Wardy, salah satu Senior Saya bertanya: “Eitel kalau besar mau jadi apa?”

“Mau jadi Konsultan” Jawabnya mantap.

Saya menoleh sambil tertawa.

“Kenapa mau jadi konsultan?” Kejar Pak Andes. Eitel menjawab, dengan jawaban yang membuat Saya ingin segera menyembunyikan wajah Saya di balik tumpukan piring Takjil.

“Supaya bisa kerja di Cafe”

Saya rasa di usia semuda Eitel, adalah wajar kalau ia berganti-ganti cita-cita. Fokus kami (orangtuanya) memang bukan apa cita-citanya, tapi apa yang menjadi Passion dan Kompetensi yang Tuhan berikan secara khusus buat dia.

Ada banyak profesi yang ada sekarang, tapi tidak ada, dan tidak terbayangkan ada di 10-15 tahun yang lalu. Dan sebaliknya, ada profesi yang ada 10-15 tahun yang lalu, tapi sudah tidak ada lagi sekarang. Saya tidak mau anak Saya mengejar cita-cita yang mungkin sudah tidak eksis lagi ketika ia dewasa. Sebaliknya, Saya mau dia memiliki kemampuan yang unggul di suatu bidang tertentu yang dia sukai, dan kemudian keunggulannya itu dapat dia gunakan untuk membantu banyak orang.

Dapat banyak uang? Sudah pasti! Kalau keunggulannya dapat memenuhi kebutuhan banyak orang, ia pasti akan dicari orang, dan sesuai dengan hukum Supply and Demand, jika jumlah permintaan banyak sedangkan penawaran sedikit, maka Senin harga naik.

Oke, Kita bahas detail sedikit ya:

1. Biarlah anak-anak unggul di bidang yang ia sukai

Om Saya, Steve Jobs pernah bilang gini : “The Only Way To Do Great Work is to Love What You Do. If You haven’t find it yet. Keep Looking. Don’t Settle”

Jika kita, parents, memaksa anak kita masuk ke jurusan tertentu, sekolah tertentu, les tertentu, demi cita-cita yang menurut kita fantastis, tapi mereka gak suka…. Parents… yang kita lakukan itu, jahat!

Kita akan membuat mereka terperangkap di sebuah pekerjaan yang mereka tidak sukai, dan sebesar apapun penghasilannya, mereka tetap tidak akan mencapai potensi terbaik yang mereka miliki. Kenapa? Karena mereka tidak benar-benar menyukainya.

2. Biarlah anak-anak unggul di bidang yang sesuai dengan kompetensi mereka. Pintar itu, bukan cuma pintar matematika.

Om Saya yang lain, Albert Einstein, pernah bilang “Everyone is a Genius. But if you judge a fish from it’s ability to climb a tree, it will lives it whole life, believing it is stupid.”

Setiap orang itu jenius, termasuk kamu…. Iyaaaaa… Kamuuuu!

Termasuk juga anak-anak kita. Jadi jika Om Albert Einstein, yang dibilang orang paling jenius itu aja bilang anak kita jenius, kenapa kita bilang anak kita bodoh? Mereka semua pintar, tapi dalam bentuk yang berbeda-beda.

Tugas kita, Parents, membantu mereka menemukan potensi terbesar apa yang ada dalam kehidupan mereka. Tadi pagi hati Saya tersentuh membaca sebuah kisah tentang Nathan Ramsey, a Gifted Photografer. You wouldn’t know it but he’s colour blind yet is able to capture beauty behind that lens of his.

Tuhan itu maha besar dan maha adil, di balik keterbatasan-keterbatasan kita dan anak-anak kita, Ia menyediakan potensi-potensi yang sangat besar dan sangat berguna, baik untuk diri sendiri dan orang lain.

3. Biarlah anak-anak unggul di bidangnya masing-masing, dan keunggulan mereka dapat mereka gunakan untuk membantu banyak orang.

Dear Parents, Pastikan anak-anak kita memiliki skill dan knowledge yang dibutuhkan untuk pekerjaannya nanti. Soal pekerjaan, profesi dan jabatannya apa itu belakangan. Anda bisa saja menurunkan jabatan Anda sebagai direktur perusahaan kepada anak Anda, tapi jika ia tidak memiliki skill dan knowledge yang dibutuhkan untuk jabatan itu, apakah Anda tidak akan membuat karyawan-karyawan Anda sengsara?

Biarlah mereka berkembang sesuai dengan passion dan kompetensi mereka, nah sesudah mereka punya ‘sesuatu’ yang bisa ‘dijual’ barulah akan lebih jelas, profesi atau pekerjaan apa yang nanti bisa mereka kerjakan.

Tidak tertutup kemungkinan mereka akan punya lebih dari satu profesi, lebih dari satu pekerjaan. Tidak tertutup kemungkinan mereka akan menciptakan produk baru, jasa baru, pekerjaan baru, menjadi orang pertama yang mengerjakan sebuah profesi baru, membuka bidang industry yang baru, jenis lapangan pekerjaan yang baru.

Mereka… anak-anak kecil itu…. dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang BESAAAAR.

Wow… don’t you exciting with what they can do in the future? Mari kita siapkan mereka

* Tulisan ini merupakan Repost dari tulisan saya di Facebook 23 September 2016

Saya me-Repost nya dalam rangka menyambut hari pendidikan nasional, hari yang mengingatkan saya akan pentingnya peran para pendidik, bukan hanya para guru, tetapi terutama kita, para orangtua.

Have a Great Day Great Parents

Let’s Rock

Milka Santoso – https://www.linkedin.com/in/milkasantoso


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Curhat Rekruiter

Akhir-akhir ini saya sering sekali menemukan posting atau curhatan tentang sulitnya mencari pekerjaan. Padahal, vacant position itu banyak sekali, berbagai posisi, lokasi, jabatan, dan skill.

Recruiter juga sekarang seringkali kesulitan menemukan kandidat yang match dengan kebutuhannya, (yok! Recruiters curhat juga!!). Either, technical skills-nya cocok, tapi attitude-nya belum match, otherwise kandidatnya sangat self motivated tapi technical skill-nya jauh dari kebutuhan, or else yang paling sedih adalah ketika sudah menemukan kandidat dengan technical skill yang memadai, dan potensi kandidat yang baik, attitude yang sesuai.. Eh! Harganya kemahalan atau sudah di hire lebih dulu oleh company lain.. Judulnya sih, memang belum jodoh.

But, i remember years ago di salah satu kelas Psiopin yang digelar, memang salah satu recruiter challenge saat ini adalah menemukan talent yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Kita sepakat bahwa tidak akan ada kandidat yang 100% sudah ready dan match dengan pekerjaan yang tersedia, tetapi pengukuran Skill, Knowledge, dan Attitude pastinya tetap harus memenuhi standard minimal dari kebutuhan pekerjaan di company kita.

Menurut saya, dari sisi applicant dengan adanya kebutuhan tenaga kerja yang skilled, knowledgeable, dan attitude yang baik maka applicants harus mau invest lebih kepada dirinya, misalnya dengan baca buku self improvement, atau join dengan community, doing extra miles yang bisa “mempercantik” portfolios applicant. Lebih kece jika memang sesuai dengan expertise yang dimiliki (even more for professionals and mid high position).

Dari sisi recruiter, pendekatan one on one sepertinya sudah harus menjadi cara dalam menemukan “jodoh”-nya. Bangun relasi yang cukup baik dengan banyak qualified people melalui LinkedIn, memperbanyak komunitas-komunitas yang bisa memberikan rekomendasi talents terbaik.

Menurut anda bagaimana? Mari diskusi yuk 🙂

by Nanda Marifani Sani – https://www.linkedin.com/in/nanda-marifani-sani-9b892023


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Mengukur Diri Sendiri

Lebih baik mana: menyesuaikan penampilan diri dengan posisi yang akan dilamar atau tetap menjadi diri sendiri?

Dear Great People

Menjadi diri sendiri itu penting, tapi dapat menyesuaikan diri adalah hal yang tidak kalah pentingnya. Tinggal kita melihat batasannya: seberapa jauh kita harus menyesuaikan diri/penampilan kita tanpa kehilangan jati diri kita.

Beberapa bulan lalu saya sempat berdiskusi dengan salah satu client saya, membahas kandidat saya yang datang Psikotes dengan celana jins dan kaos oblong.

Apakah itu salah? Tidak

Apakah itu mempengaruhi penilaian user? Ya

“Ayolah Pak, we can’t judge a book from it’s cover” Bela saya

“Bob Sadino, Mark Zuckerberg, juga hampir tidak pernah terlihat pakai baju rapi” Desak saya lagi.

Client saya menggeleng “Bob Sadino is Bob Sadino Milka, People know who exactly Bob Sadino. Orang akan tetap mau berbisnis dengannya meskipun kemana-mana ia pakai celana pendek.”

“Demikian juga dengan Mark, orang tetap berlomba-lomba ingin bekerja di perusahaannya, walaupun dia selalu pakai oblong abu-abu.” Sambung client saya lagi.

“But this guy…” Client saya memegang CV kandidat saya di tangannya “I don’t think he’s a right person for me” Saya menghela nafas, menganggukkan kepala, akhirnya menyerah.

Client saya berdiri, namun sebelum ia meninggalkan ruang meeting ia berkata : “Oh ya Milka, kandidat u gak lolos bukan karena dia pakai oblong…”

Saya mengangkat kepala saya “lalu kenapa pak?”

“Karena ia belum bisa mengukur diri sendiri.”

Tandas klien saya, lalu meninggalkan saya, sendiri di dalam ruangan.

Saya terpekur… Merenungkan kata-kata klien saya, lalu menuliskannya.

Dan hari ini saya membagikannya untuk Anda, biarlah jadi pelajaran berharga untuk kita bersama

Have a Great Day Great People

by Milka Santoso > https://www.linkedin.com/in/milkasantoso/


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Minta rekomendasi kerja

Suatu malam, masuklah pesan di Inbox LinkedIn saya, dari seorang JobSeeker (JS) yang memang sudah cukup lama mencari kerja, belom kunjung ada yg berjodoh…

JS: Halo met malem Om Pete… apa kabar…

Me: Halo juga Pak, met malem… kabar baekkk…

JS: Om, bolehkah minta rekomendasinya?

Me: Maksudnya rekomendasi apa neh Pak?

JS: Rekomendasi pekerjaan Om… Om Pete kan koneksinya super-duper luas. Bolehkah Om Pete merekomendasikan saya ke penggede2 perusahaan, supaya saya diterima kerja?

Me: (Lagi narik napas, belom sempet buang napas, pas mau ngetik jawaban…)

JS: Om Pete ini CV saya, jangan lupa yaaa tolong kabarin saya Om, kalo udah ada yg nyangkut…

Me: (Akhirnya bisa buang napas dan mengetik…)

Me: Pak, saya ini juga lagi ngos-ngosan nyari kerjaan loh. Logiskah saya ketambahan CV Bapak lagi buat nyariin kerjaan, sementara saya belom dapet kerjaan? Saya jelas bukan pemilik pekerjaan dan bukan Head Hunter.

JS: Om Pete sori banget, saya gak maksud ngerepotin Om. Saya pikir kan gampang aja Om Pete kalo mau minta kerjaan ke koneksi Om.

Me: Hidup gak segampang itu Pak. Jodoh gak segampang itu. Pekerjaan & karir gak segampang itu. Kalo memang segampang itu, gak perlu ada LinkedIn Pak, pasti beres semua perkara kerjaan & karir.

JS: Maksudnya gimana Om? Keberatan gak ngasih pencerahan ke saya?

Me: Begini Pak… Saya cerita dikit ya…

Me: Jaman dulu saya belom aktif di LinkedIn, aktifnya di sosmed sebelah… (ternyata) saya berkenalan dengan 3 orang pemilik usaha.

Me: Kepada 3 orang itu saya sapa baik2 awalnya. Setelah mereka merespon pesan saya dan mulai nyaman ngobrol lebih jauh, akhirnya saya mengetahui bahwa mereka pemilik usaha. Saya utarakan keinginan saya untuk bekerja di perusahaan mereka, karena lagi butuh kerja.

Me: Hasilnya? 2 orang membaca pesan terakhir saya tanpa membalasnya. 1 orang lagi melakukan Unfriend terhadap saya.

Me: Terakhir saya mengetahui kabar bisnis yg mereka jalankan, grup bisnisnya membesar, buka perusahaan baru di mana2.

Me: Saya kalkukasi dengan intuisi & nurani saya, betapa mahalnya harga yg harus saya bayar dari sebuah hubungan yg rusak dengan mereka, hanya gara2 saya terlalu bernafsu meminta pekerjaan ke mereka.

Me: Maka saya putuskan buat mengubah cara berpikir saya… bahwa ketika saya masih susah mendapatkan rejeki, itu tandanya ada yg belum saya lakukan dengan baik, karena saya kurang berkompeten, atau karena banyak orang gak bisa melihat apa manfaat & kontribusi saya bagi mereka.

JS: Nah tunggu Om… terus gimana caranya kita bisa ngasih kontribusi buat mereka, kalo belom diterima kerja di tempatnya?

Me: Pak, saya membangun LinkedIn saya dari 300 Followers menjadi 30.000+ Followers dalam waktu lebih dari 1 tahun sambil terseok-seok mencari kerja, keuangan babak-belur, pagi-siang-malam-subuh keliatannya kaya kurang kerjaan ngeladenin banyak orang tanpa pamrih… apakah itu bukan kontribusi & karya sosial Pak?

Me: Saya hanya ingin menekankan, bahwa di era teknologi ini, kita sungguh teramat beruntung, karena bisa berkarya tanpa batas melalui teknologi, dan bisa berkontribusi tanpa otoritas kantor, melalui media sosial.

Me: Jangan nunggu dikasih kartu nama kantor & jabatan dulu, baru berbuat sesuatu. Right here right now, kita bisa berbuat sesuatu bagi orang lain. Jangan pernah membatasi ruang & waktu bagi kita buat membawa kebaikan & perubahan bagi masyarakat.

JS: Om, tapi setelah Om Pete membangun itu semua, apakah lebih gampang dapet kerjaan?

Me: Dari 50K+ Followers saya, saya hitung kasar, ada sekitar 1%-nya yg merupakan Decision Maker. Dari mulai pemilik perusahaan, investor, CEO, Founder, Direksi, penggede komunitas, aktivis sosial-kemanusiaan, petinggi pemerintahan, hingga pengusaha.

Me: Bagaimanakah caranya saya bisa terkoneksi & berhubungan baik dengan 1% itu? Ya dengan terlebih dahulu membangun hubungan baik & menghasilkan karya sosial bersama 99% lainnya.

Me: Setelah ditolak ratusan rekruter, saya bangun jati diri… saya bangun (dan jaga) hubungan baik dengan 1% Followers itu, setelah saya membawa transformasi & perubahan bagi 99% Followers saya lainnya…

Me: Bukankah setelahnya lantas ratusan penolakan dari rekruter itu menjadi sekecil butiran pasir dan gak berarti apa2 lagi?

Me: Jangan lupa Pak… Saya lakukan ini semua dalam kondisi sambil nyari kerja, sambil babak-belur, dan sambil cari sampingan serabutan sana-sini…

Me: Tuhan & alam ini kurang berkenan memberikan kita akses menuju 1% itu, sebelum membangun yg 99% terlebih dahulu dengan kasih, fokus, ketekunan, pengharapan baik, disiplin, dan konsistensi jati diri.

Me: Lebih terhormatnya lagi… mayoritas dari 1% itu yg add akun LinkedIn saya duluan. Kenapa bukan saya yg add mereka duluan? Karena kejadian dulu di mana hubungan saya rusak dengan 3 orang itu, membuat saya trauma dan memilih buat gak secara membabi-buta mengajak seseorang terkoneksi tanpa mereka terlebih dulu melihat kontribusi nyata saya bagi masyarakat.

Me: Berkat saya menahan diri & gak baperan, justru saya mulai dapetin lebih dari sekedar kesempatan karir. Malah dapet tawaran bikin PT bareng, bikin yayasan bareng, ngerjain project bareng, minta perusahaannya dikonsultanin, diundang di berbagai acara komunitas, diminta buat mengisi sejumlah acara seminar dan sejenisnya… yah pokoknya melebihi ekspektasi awal saya lah yg tadinya cuman pengen dapet kerjaan kantoran sebagai karyawan…

Me: Itu semua dateng dari 1% Followers saya itu; karena mereka punya power, sumber daya, dan jaringan koneksi bisnis buat menawarkan itu pada saya.

Me: Jadi, kebayang kan Pak, betapa amat sangat fatalnya kalo saya grasa-grusu baperan minta pekerjaan ke 1% itu, tanpa terlebih dahulu berbuat sesuatu apa pun bagi 99% lainnya?

Me: Terus gimana kalo mayoritas dari mereka melakukan Remove Connection terhadap saya? Kalo dulu saya kehilangan 3 koneksi pengusaha saja berasa fatal, lah apalagi kalo kehilangan ratusan. Nyungsep dah hidup saya…

Me: Intinya Pak… LinkedIn memang bukan buat cari kerja semata, tapi buat membangun hubungan baik. Kalo dari hubungan baik lantas dapet kerjaan atau benefit lainnya, itu adalah imbalannya kemudian.

JS: Om Pete… saya speechless… Benar2 Tuhan memberkati Om Pete dengan kekuatan & kesabaran luar biasa, masih mau ngeladenin saya yg cupu ini, sampe akhirnya saya ngerti…

Me: Saya cuman pengen Bapak bersyukur, bahwa ketika Bapak nyosor minta rekomendasi & ngejejelin saya dengan CV tadi, gak langsung saya Remove Connection, malah masih saya kasih pencerahan panjang-lebar…

Me: Karena bukankah itu sama aja dengan para penjual yg memaksa terkoneksi dengan kita, lalu tiba2 ngirim pesan penjualan produknya di Inbox kita, bahkan tanpa perkenalan diri yg sepantasnya?

Me: Setelah Bapak memahami ini semua, apakah siap berubah & bertransformasi?

Me: Can you sustain all the process Pak?

JS: Saya siap berubah Pak!!! Terima kasih buat waktu & pengorbanan Om Pete hanya buat bikin saya ngerti ini semua… Tuhan memberkati Om Pete sekeluarga ya…

Me: Salam sejahtera Pak… Tetaplah berpengharapan baik ya… Met malem…

Kabar terakhir, 2 bulan lebih dari percakapan terakhir, sang JS sudah diterima bekerja di perusahaan luar kota.

Tanpa rekomendasi dari siapa pun…

Dan tanpa baper…

Ditulis oleh Peter Febian > https://www.linkedin.com/in/peter-febian-183a6b52


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”


Berapa harga hidup kamu?

Kalo kalian follow instagram saya di @keisavourie, kalian tahu bahwa saya punya dua anjing corgi betina. Tempo hari salah satu anjing saya sakit dan harus dibawa ke dokter. Total biaya yang harus saya keluarkan, 1,5 juta rupiah. Sakitnya apa?

Hanya diare saja.

Apakah saya merasa rugi mengeluarkan uang yang tidak sedikit tersebut? Tentu saja tidak, karena buat saya nilai anjing saya jauh di atas biaya pengobatan tersebut. Saya rela mengeluarkan begitu banyak uang, karena bagi saya anjing saya sangat bernilai.

Kalo kamu punya mobil seharga 4 Milyar, kamu tentu tidak sungkan mengeluarkan biaya ratusan juta untuk perawatan. Karena nilai mobil tersebut kamu anggap PANTAS menerima pengeluaran tersebut. Tapi kalo nilai mobil kamu cuma 100 juta, lalu kamu diminta mengeluarkan 100 juta untuk perbaikan, kamu mungkin mikir mendingan buang dan beli baru.

Nah hidup kita juga sama. Kalo kamu memandang diri kamu bernilai rendah, maka kamu akan merasa ogah mengeluarkan uang untuk kehidupan kamu. Kamu merasa rugi keluar uang untuk beli baju, keluar uang untuk belajar sesuatu yang baru, keluar uang untuk bergaul di tempat yang baik, dan keluar uang untuk berbagai peningkatan diri lainnya. Akibatnya, kamu makin bernilai rendah dan makin tidak diminati lawan jenis.

Sementara orang yang bernilai tinggi, tidak akan merasa sungkan mengeluarkan uang untuk merawat dirinya dan meningkatkan kualitas dirinya. Karena biaya tersebut kecil dibanding nilai dirinya. Akibatnya, orang yang bernilai tinggi ini MAKIN BERNILAI TINGGI.

Jadi hari ini saya mau minta kamu merenungkan, berapa harga hidup kamu? Berapa harga diri kamu? Berapa nilai diri kamu?

Sahabatmu,

Kei Savourie


By the way, kalau perlu kursus untuk upgrade skill, bisa ke Coursera atau eTraining Indonesia. Keduanya memberi sertifikat yang recognized di dunia industri.


DAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI

Perbesar Peluang Karir dan Kerja

“Seseorang itu diterima kerja / dipromosikan karena skills, dan disukai atau tidak disukai lingkungan kerja karena attitude.”